FYI.

This story is over 5 years old.

Views My Own

Alasanku Membenci Pemuja Gaya Hidup Backpacker

Percayalah, aku besar di Bali. Sebagian penyebar ideologi backpacker itu nyebelin banget. Semoga banyak orang benci mereka juga.
Foto oleh Andy Dibb/ Flickr CC License.

Aku tumbuh besar di Jakarta dan Bali. Di provinsi yang disebut belakangan, kini secara klise dijuluki "Pulau Dewata", aku mengalami langsung betapa doktrin pariwisata mempengaruhi semua orang. Pastinya ada banyak sisi dari Bali, tapi ketemu dan bersinggungan sama budaya backpacker adalah makanan sehari-hari buat penduduk Bali sepertiku.

Jadi, apa rasanya hidup di lingkungan yang penuh turis (kebanyakan kulit putih) yang punya tujuan "mencari jati diri" atau "merasakan hidup yang lebih sederhana"? Rasanya nyebelin abis. Motif pencarian jati diri lewat travelling itu sekarang bahkan dipercaya tak cuma oleh anak-anak kaya yang baru kelar kuliah dari negara-negara Barat sana. Turis lokal (mayoritas anak-anak Jakarta) ga kalah banyak yang mengadopsi ideologi semacam itu.

Iklan

Bagi para backpacker, hidup konon engga pantes dihabiskan buat bekerja habis-habisan di hari kerja dan mabuk-mabukan pas akhir pekan. Kamu sepatutnya merencanakan jalan-jalan dan berusaha menemukan "jati diri", sesekali ikut kelas yoga, jalan bareng orang yang engga kamu kenal, lalu hura-hura di dive bar pinggiran Bangkok atau Bali.

FYI, aku juga suka jalan-jalan kok. Kamu pasti bilang, nyinyirin turis (lokal maupun asing) yang saban hari berjemur di pantai atau menenggak berbotol-botol bir Bintang itu sekadar perilaku orang kurang kerjaan. Tapi, percayalah Bung dan Nona, tinggal di surga tropis yang perlahan-lahan berubah jadi latar belakang foto instagram turis tuh pedih banget. Dengan mata kepala sendiri, aku menyaksikan identitas budaya tetangga dan keluarga besarku di Bali dikikis habis-habisan demi konsumsi turis. Sambal di warung-warung kami harus dikurangi rasa pedasnya, supaya remaja Rusia atau rombongan bocah yang ngomong "lu-gue" lebih enak menyantap makan malam mereka.

Coba deh telurusi blog rutin membahas perjalanan lewat google. Kamu bakal sadar bahwa sebagian besar situs tadi membosankan dan dibuat khusus untuk menarik minat orang asing. Tren itu secara langsung menguak stereotipe orang-orang yang menjadi mesin budaya travelling di berbagai negara. Siapa mereka? Tentu saja, sekelompok anak kuliahan yang baru lulus, yang datang dengan latar belakang ekonomi (orang tuanya) yang kuat, dan sudah bosan sama hiburan monoton biasa mereka nikmati sehari-hari.

Iklan

Aku sampai sekarang belum paham dengan narasi ga jelas yang mengesankan kalian harus backpacking setelah lulus dan mulai kerja. Memangnya apa sih pentingnya menemukan diri sendiri? Salah satu blog yang kubaca mengklaim backpacking adalah latihan untuk berpikiran terbuka. Kok bisa? Sebab katanya kita akan ketemu orang dengan latar belakang budaya yang berbeda, turut serta dalam kegiatan dan mengalami tantangan baru. Pertanyaanku: memangnya hal-hal seperti ini engga akan kamu alamin kalau kamu punya kerjaan tetap? Kamu juga toh enggak harus ngelayap ke Nepal menjinjing satu ransel doang kalau cuma mau ikut yoga, pacaran sama orang asing, dan mabuk-mabukan di Bar. Kalau cuma begituan doang mah, di Jakarta juga bisa.

Lalu, apa yang sudah diberikan kultur backpacking pada anak-anak muda? Coba tanyakan hal pada diri kamu deh dan jawab dengan jujur, tanpa mentalitas pelaku bisnis pariwisata yang cuma pengen meres duit turis. Yang jelas, dari pengamatanku, budaya backpacker tak memberi sumbangsih pada tempat wisata yang mereka datangi, kecuali menghasilkan gentrifikasi.

Kawasan semacam Canggu, di Bali, sudah padat banget sama bar-bar jualan smoothie bowl. Lalu harus ada berapa bar lagi yang didirikan untuk memuaskan turis? Ini belum termasuk turis-turis tajir yang menghabiskan lebih dari Rp300 ribu sehari saat keliling Bali. Kultur backpacking sejatinya cuma pepesan kosong yang menjanjikan sebuah "pariwisata etis". Katakanlah, turisme berhasil berkembang di sebuah daerah yang dulunya "terbelakang" berkat para backpacker, maka yang akan muncul nantinya hanya gaya melancong demi pembangkangan, yang langsung redup pamornya ketika tempat wisata itu sudah terlalu rame dan hip.

Hal paling ngeselin dari pola turisme gaya hidup macam ini adalah hilangnya lahan-lahan pertanian, berubah menjadi deretan guest house (di Bali rasanya tiap bulan selalu ada guest house baru di dekat ruma tiap kali aku pulang kampung). Semua demi memuaskan gelombang millenials perkotaan yang datang demi menikmati pengalaman kultural berbeda tapi disajikan dengan kenyamanan ala rumah mereka yang mewah. Tak ayal, uang yang dihamburkan turis milenial ini sebenarnya hanyalah semacam harga yang rela mereka bayar untuk mendapatkan foto keren yang bisa dipamerin di Instragram.

Sejatinya, travelling punya semacam tanggung jawab kultural tersendiri. Kita diharapkan menghormati budaya kawasan yang kita datangi. Menghormati dan mengagumi sebuah budaya adalah dua cara untuk mempelajari sebuah budaya baru. Misalnya, kamu bisa mendatangi perayaan ritual agama lokal, amati benar-benar prosesinya, dan bertanyalah makna ritual tadi kepada warga setempat jika itu membantumu untuk mengpresiasi kepercayaan mereka. Kayak gitu itulah baru namanya mengalami budaya. Bukannya ngambil selfie doang selama agenda padat kalian dua hari full, terus balik ke kota kalian di hari Senin sambil merasa telah menemukan jati diri baru.

Intinya sih, kalau kalian berambisi menjadi "nomad" sejati atau "penduduk global", atau mau menyebarkan ideologi new age baru yang bikin kamu merasa paling ngerti multikulturalisme, datangi kantor imigrasi, urus visa di kedutaan negara yang kalian tuju, cari pekerjaan di sana, dan belajarlah hidup seperti penduduk setempat. Menyebar uang yang nilainya lebih tinggi dari kurs lokal enggak bikin kualitas hidup penduduk setempat meningkat. Demikian pula kalau kalian WNI yang datang ke provinsi atau negara lain, tapi maunya serba cepat, dan akhirnya ngabisin banyak uang buat menjaga kenyamanan. Padahal kalian awalnya berangkat pakai embel-embel backpacking. Tindakan sembrono macam itu cuma akan memaksakan globalisasi dan menciptakan ketimpangan pada penduduk setempat, yang bahkan sebagian tidak terlalu peduli sama pariwisata dan pencarian jati diri kalian.

Jadi, silakan melancong sesukamu. Kalau memang ingin sekalian dapat uang dari travelling, sekalian saja pindah ke negara baru dan tinggalah di tempat yang memberimu budaya berbeda dari kota kelahiran. Cari pekerjaan dan ajarkan keterampilan yang kamu punya pada warga setempat. Kalau tak tertarik melakukannya, saranku sih mari kita berhenti berusaha memberi bobot nilai terhadap backpacking pakai alasan yang terlalu mulia.