FYI.

This story is over 5 years old.

Covering Climate Now

Pada 2050, Jumlah Plastik di Lautan Akan Lebih Banyak Dibanding Ikan

Perkiraan ini sangat suram. Abad yang kita jalani di masa mendatang akan dikenang sebagai era kekuasaan plastik.
Gavin Butler
Melbourne, AU
Pada 2050, Jumlah Plastik di Lautan Akan Lebih Banyak Dibanding Ikan
Ilustrasi via Shutterstock.

Kalian mungkin sudah tahu bila persoalan plastik di berbagai negara cukup gawat. Sedotan plastik membunuh penyu, kantong plastik butuh berabad-abad untuk terurai, dan gelas kopi plastik kemungkinan akan terus ada di permukaan Bumi hingga kiamat kelak. Kita semua sadar sama fakta-fakta menyeramkan tersebut, tetapi terkadang sulit untuk memahami betapa buruknya situasi Bumi kita tanpa bantuan statistik.

Iklan

Nah, laporan dari Credit Suisse bisa membuatmu tambah bergidik ngeri. Begini kesimpulannya: "bobot dan volume plastik di lautan akan melebihi total volume seluruh ikan pada 2050."

Perusahaan konsultan dan analis finansial global ini memperingatkan bahaya "wabah plastisida di masa mendatang." Credit Suisse menamai sampah plastik sebagai salah satu tantangan lingkungan terbesar planet Bumi, menurut laporan SBS. Beberapa negara maju, karenanya, bersiap menerapkan “pajak pemakaian plastik” demi mengatasi masalah ini.

Konsumsi dan pemakaian plastik tanpa kendali, menurut Credit Suisse, sebagian disebabkan keputusan Tiongkok mengetatkan standar kontaminasi dan berhenti mengimpor sampah daur ulang dari beberapa negara. Akhir 2018, Tiongkokmelarang pengimporan 24 jenis limbah dari negara-negara pengekspor sampah, seperti dilaporkan Greenpeace.

Ambil contoh Australia yang terbiasa mengekspor lebih dari 4,2 juta ton sampah daur ulang ke negara lain dari 2016-2017. Lebih dari 1.2 juta ton dari sampah tadi diambil Tiongkok, sisanya disebar termasuk ke Indonesia. Dengan pengetatan aturan tersebut, 99 persen sampah yang biasanya diekspor Australia ke Tiongkok terpengaruh.

"Oleh karena itu sampah daur ulang melimpah di Australia, tanpa pasar untuk daur ulang, lalu apa yang akan dilakukan pemerintah? Itu pertanyaannya," kata Dr. Trevor Thornton, dosen pengelolaan limbah beracun dari Deakin University. "Kita harus mengembangkan pasar untuk sampah daur ulang, agar perusahaan dalam negeri dapat membelinya sebagai bahan baku produk ramah lingkungan. Jangan terus-terusan memakai virgin plastic."

Yang dimaksud Trevor sebagai “virgin plastic” adalah plastik baru diproduksi dan belum dijadikan produk akhir. Merujuk laporan Credit Suisse, seperti dikutip Waste Management Review, virgin plastic inilah yang bakal menjadi sasaran pajak di banyak negara. Kebijakan ini kemungkinan akan ngetren pada 2020 mendatang.

"Untuk mengatasi situasi ini pada jangka pendek, hanya masalah waktu sampai langkah kebijakan reaksioner semacam pajak plastik akan diambil banyak pemerintahan."