Keuangan Pribadi

Aku Berutang Ratusan Juta untuk Biaya Liburan, Lalu Kena PHK

Inilah sisi lain perilaku meminjam duit ke bank untuk kegiatan konsumtif. Saat mengajukan pinjaman, tak terpikirkan oleh narsum VICE ini akan muncul nasib sial yang mengguncang hidupnya.
HV
seperti diceritakan pada Hayden Vernon
Ilustrasi lelaki dikelilingi tiket pesawat, maka
Ilustrasi: Kim Cowie

Aku mengambil pinjaman ke bank sebesar £6.000 (setara Rp114 juta) pada 2019. Sepertiga uangnya aku gunakan untuk melunasi overdraft, dan sisanya buat foya-foya. Aku berlibur ke Jepang, lalu menghabiskan uang yang belum terpakai untuk hidup enak. Aku pulang pergi kerja naik taksi, jajan di luar dan top-up game. Yah, pokoknya bukan untuk hal-hal yang penting. Aku cuma malas, depresi dan suka menyusahkan diri sendiri.

Iklan

Tak pernah sekali pun aku membayangkan semuanya akan berakhir seburuk ini. Aku menyepelekan cicilan £270 (Rp5,1 juta) per bulan. Bagiku itu bukan jumlah yang besar. Tapi aku kehilangan pekerjaan tak lama setelah pulang dari Jepang. Pandemi semakin tak terkendali.

Terlilit utang seperti ini sangat tidak seperti diriku. Aku sudah terbiasa hidup hemat sejak kecil. Aku ingin tinggal sendiri begitu beranjak dewasa, yang artinya aku harus hidup pas-pasan. Aku pindah ke lingkungan assisted living (tempat tinggal khusus lansia yang membutuhkan bantuan sehari-hari) sejak umur 16 tahun, dan menyewa rusunawa setelah berulang tahun ke-18. Uang sebesar £80 (Rp1,5 juta) cukup untuk memenuhi kebutuhan selama seminggu.

Aku mulai mencari nafkah dari usia muda karena tidak mau terus-terusan hidup seperti ini. Aku bekerja apa pun yang kubisa sejak putus kuliah 12 tahun lalu — awalnya menjadi pelayan di perusahaan katering, lalu bekerja sebagai koki di tempat lain. Aku bertahan di usaha katering selama beberapa tahun, sebelum akhirnya pindah ke perusahaan asuransi hewan peliharaan — jadi customer service terlebih dulu, lalu pindah ke posisi manajemen. Pada pekerjaan inilah aku kena pemutusan hubungan kerja. Sialnya lagi, aku habis ngutang.

Iklan

Selama beberapa bulan setelah di-PHK, aku hanya bisa meratapi nasib. Tapi aku sadar aku harus segera mencari pemasukan untuk melunasi utang. Aku menyemangati diri dan bertekad akan menerima tawaran pekerjaan apa pun yang datang kepadaku. Aku mencoba posisi sales di perusahaan energi, tapi nyatanya aku tak mampu mengakali taktik penjualan langsung (hard-selling). Rasanya seperti menipu orang. Setelah beberapa waktu bertugas menyusun barang untuk sebuah agensi, aku menemukan lowongan sebagai pekerja sosial. Tugasnya merawat lansia dan penyandang disabilitas, pada saat puncaknya pandemi.

Pekerjaan ini membutuhkan tenaga fisik yang kuat, sehingga awalnya terasa sangat melelahkan. Berhubung tidak bisa menyetir, mau tak mau aku harus mengayuh sepeda sejauh 40 kilo lebih dari satu tempat ke tempat lain. Kayak begitu hampir setiap hari. Memang bagus bisa sekalian olahraga, tapi benar-benar capek. Namun, dilihat dari sisi positifnya, merawat orang yang membutuhkan bantuan jauh lebih memuaskan daripada pekerjaan sebelumnya. Aku senang menjalin hubungan dengan klien.

Meskipun demikian, ada saat-saat aku menghadapi hal yang amat menjijikkan. Contohnya ketika menangani klien yang sedang diare. Setelah membersihkan kotorannya, aku menyuruh dia berdiri dekat toilet selama aku mengganti seprai baru. Dia mulai bersenandung dengan riang. Semuanya berjalan baik… sampai dia mencret-mencret lagi. Aku sontak menadahkan tangan untuk menahan pupnya. Itu satu-satunya cara yang terlintas di pikiranku saat itu. Pupnya keluar tanpa henti, jadi aku menadahkan satu tangan lagi dan membuangnya ke toilet. Tidak ada masalah setelah itu. Hanya saja aku butuh mandi yang sangat lama sesampainya di rumah.

Iklan

Aku menerima upah £11,50 (Rp218 ribu) per jam. Jumlah yang lumayan, tapi shift-nya dibagi sesuai janji. Kalian hanya dibayar sesuai jadwal ketemuan — tidak kurang, tidak lebih. Rata-rata aku bekerja selama 40-50 jam seminggu, mulai dari pukul 7 pagi hingga pukul 9-10 malam. Itu sudah termasuk waktu istirahat di sana-sini. Aku tak pernah dibayar lebih dari 12 jam pada hari-hari seperti itu. Tapi aku diberi upah lebih sedikit — mungkin sekitar 10 jam sehari mulai pukul 7 pagi hingga pukul 10 malam. Upah terbesarku selama seminggu yaitu 65 jam, tapi aslinya mungkin menghabiskan sekitar 90 jam untuk itu.

Selama enam bulan pertama, aku mendapat jatah libur setiap hari Selasa, serta Sabtu dan Minggu pagi. Tapi mulai awal tahun ini, aku bekerja setiap hari untuk mendapatkan penghasilan lebih. Sesekali aku mengambil libur, tapi pernah bekerja enam hingga delapan minggu berturut-turut. Sampai-sampai rasanya seperti sedang libur ketika hanya bekerja tujuh jam per hari. Waktu terasa cepat berlalu.

Aku awalnya tidak mempermasalahkan jam kerja, tapi lama-lama mulai merasakan efeknya setelah bekerja tanpa jeda. Saking sibuknya kerja, aku sampai tidak sempat bertemu teman-teman tahun ini. Sekarang aku sudah pindah kerja ke panti jompo. Waktu istirahat yang tidak dibayar tak sebanyak dulu, yang artinya jam kerjaku berkurang tapi upahnya tetap sama.

Aku berkomitmen untuk bekerja keras tahun ini karena ingin cepat terbebas dari utang. Merasa tidak punya pilihan dalam hidup yang membuatku bertekad seperti ini. Menurut artikel yang kubaca, berutang sama saja seperti mengorbankan masa depan demi kesenangan singkat. Jadi semua kerja keras ini adalah bayaran atas tindakanku dulu.

Gonta-ganti pekerjaan berarti aku harus berutang lebih lama dari yang kuinginkan, karena mesti menyesuaikan tanggal gajian. Seharusnya aku sudah bisa melunasi utang sekarang, tapi terpaksa mengulur waktu karena satu dan lain hal. Cicilan terakhir jatuh tempo pada Februari bulan depan, dan sepertinya aku bisa membayar lebih cepat.

Aku merasa bekerja keras demi melunasi utang cukup bermanfaat, meski membutuhkan banyak pengorbanan. Selain mengajariku agar lebih bijak dalam menggunakan uang, kondisi fisikku sekarang jauh lebih bugar dan pola pikir juga lebih positif dibandingkan beberapa tahun lalu. Aku harus memulai hidup dari nol.