Hubungan

Menurut Psikolog Sulit Berbahagia Melihat Kesuksesan Teman Ternyata Wajar Belaka

Iri dengan pencapaian teman tak serta-merta menjadikanmu punya sifat yang buruk.
Kolase perempuan tampak murung saat menelepon dengan stiker emoji sedih
Kolase oleh Staf VICE | Foto via Getty Images

Sahabat kalian baru saja mengabarkan kalau dia diterima bekerja di perusahaan impian. Kalian senang mendengarnya, yakin dia pantas mendapatkan itu. Tapi jauh di dalam hati, kamu juga cemburu. Di satu sisi, kalian ingin berbahagia bersama mereka. Di sisi lain, keberhasilan sahabat membuatmu minder dan patah semangat karena tidak bisa sehebat mereka.

Kalian mungkin malu sudah dengki dengan sahabat sendiri, dan merasa bukan teman yang baik karena berpikiran seperti itu. Tapi yang mungkin belum kalian tahu, sangatlah normal jika kalian bimbang ketika mengetahui kabar baik teman.

Iklan

“Wajar kok kalau kalian bahagia tapi juga iri mendengarnya; bangga sama pencapaian mereka, tapi di saat bersamaan mencemaskan masa depan sendiri,” psikolog klinis dan pakar pertemanan Miriam Kirmayer memberi tahu VICE.

Menurutnya, kalian baru bisa sepenuhnya merayakan kesuksesan teman jika kalian sendiri sudah merangkul kerentanan yang dimiliki. “Kalian tidak boleh mengabaikan perasaan pribadi, termasuk kebutuhan akan kenyamanan, validasi dan dukungan dari orang lain. Dengan melakukan ini, kalian bisa merasakan kebahagiaan mereka seutuhnya,” lanjut Miriam. Kalian harus jujur dan terbuka satu sama lain untuk menciptakan persahabatan yang sehat.

Kalian bukan teman yang jahat jika tidak mampu menyambut kesuksesan mereka dengan antusias. Mengakui perasaan pribadi memang perlu, tapi semuanya balik lagi kepada diri kalian sendiri. Sama sekali tak masalah apabila kalian ingin menghindari perasaan negatif itu.

Yang terpenting adalah kalian harus terlebih dulu memahami alasan kenapa kesuksesan teman membuatmu murung, baru setelah itu memikirkan cara terbaik menyikapinya.

Kalian mengira kesuksesan sifatnya terbatas.

Kalian salah besar jika beranggapan takkan bisa sesukses teman karena mereka telah memperolehnya duluan. Psikolog Ayanna Abrams menekankan bahwa keberhasilan seseorang tidak dapat memengaruhi peluang kalian untuk meraih kesuksesan.

Setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing. Teman kalian mungkin bisa meraih gelar magister di usia muda, tapi bukan berarti kamu tidak bisa melakukan hal yang sama di masa mendatang.

Iklan

Kalian merasa berhak memiliki apa yang dimiliki teman.

“Berhubungan akrab dengan seseorang membuat kalian merasa kebahagiaan dan kesedihan mereka adalah kebahagiaan dan kesedihan kalian juga,” tutur psikolog dan pakar pertemanan Marisa G. Franco.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ini, karena artinya kalian memahami perasaan sahabat. Namun, adakalanya berbagi kebahagiaan disalahartikan. Kalian merasa berhak memperoleh apa yang diraih sahabat. Jika teman sukses jadi selebgram, maka kalian juga harus bisa sepopuler mereka.

“Sayangnya, kita terlalu sibuk mendambakan apa yang dimiliki orang lain seolah-olah kita berhak merasakannya juga. Padahal kenyataannya, tak ada yang bisa menjamin itu,” terang Ayanna.

Hidup kalian terlalu terpaku pada “deadline”.

Merencanakan masa depan dengan matang jelas diperlukan, tapi Miriam menganjurkan supaya kita berhati-hati saat menentukan waktu untuk mencapai sesuatu yang ada di luar kendali kita. Contohnya seperti ini:

“Aku ingin menikah di usia 25

Aku ingin punya anak di usia 30

Aku ingin naik jabatan di usia 35”

Menetapkan tenggat waktu hanya akan membuat kalian marah ketika ada teman yang berhasil meraih pencapaian semacam ini, sedangkan kalian gagal mewujudkannya. “Kalian akan membandingkan diri sendiri dengan orang lain apabila terlalu terpaku pada garis waktu,” katanya.

Membicarakan kesuksesan teman menjadi hal yang sulit jika perbedaan ini terjadi, karena menurut Miriam, “kita melihat kesuksesan sebagai sesuatu yang wajib diukur”. Kita akhirnya merasa ada yang salah dengan kemampuan pribadi jika tidak dapat merealisasikannya sesuai rencana awal.

Iklan

Kalian meremehkan pencapaian pribadi.

Kalian mungkin terlalu fokus sama keberhasilan teman sampai-sampai kalian lupa dengan prestasi diri sendiri.

Semakin kita mengabaikan dan meremehkan pencapaian yang dimiliki, “semakin besar pula perasaan iri dan cemburu yang muncul saat teman menceritakan kesuksesannya. Pada akhirnya, kita kesulitan menjadi teman yang suportif buat mereka,” ungkap Miriam.

Dia menyarankan untuk mencatat semua pencapaian kalian setiap harinya, serta merenungkan hal apa saja yang paling kalian sukai dari diri sendiri dan ruang atau orang seperti apa yang dapat membantu kalian menjadi yang terbaik. Harapannya kalian bisa lebih memahami hidup kalian sendiri, dan melihatnya dari sisi positif. “Kurangi memikirkan apa yang tidak kalian miliki,” Miriam menegaskan.

Jujurlah pada diri sendiri (dan mungkin pada teman).

Kalian harus lebih legawa dalam menjalani hidup yang telah digariskan. Haram hukumnya membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Ayanna berujar kalian dapat mempraktikkan pola pikir ini setiap kali perasaan iri mulai menyerang. Katakan dengan lantang, “Kita punya jalan hidup masing-masing” kalau memang perlu. Keberhasilan teman di suatu bidang tidak akan menghambat kalian dalam menggapai impian di bidang serupa.

Tidak ada salahnya apabila kalian ingin jujur soal perasaan cemburu ini ke teman. “Selain tidak bagus bagi kesehatan mental, memendam perasaan bisa membuat pikiran iri makin sering muncul,” ujar Marisa.

Iklan

Kalian bisa mengungkapkannya dengan cara halus seperti, “Aku senang dan bangga mendengarnya, tapi maaf ya aku lagi buntu banget nih sama pekerjaan.”

Begitu teman mengetahui perasaan kalian sesungguhnya, mereka mungkin akan menceritakan kalau kenyataannya di balik layar tidak seindah itu. Dia mungkin habis naik jabatan, tapi lingkungan kerjanya toxic abis. Atau bisa jadi, mereka butuh waktu memenangkan hati calon mertua sebelum akhirnya bisa diizinkan menikah.

Jika perasaan kalian tak kunjung membaik, kalian dapat berkonsultasi dengan psikolog. Menurut Ayanna, terapis yang baik seharusnya bisa membimbing klien untuk menoleransi keadaan sukar dengan cara yang tepat. Dengan begitu, kalian bisa “menjadi pribadi yang mendukung penuh sahabatnya.”

Follow Anna Goldfarb di Twitter.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.