robot

Menilik Kemungkinan Robot Membantu Manusia Atasi Masalah Kejiwaan

Meski sebagian besar orang merasa kinerja robot lebih bagus dari terapis manusia, pakar menganggap robot takkan mampu menyaingi kualitas mereka.
tangan robot
Foto ilustrasi: Photoshobby via Unsplash

Teknologi kecerdasan buatan (AI) semakin canggih seiring berkembangnya zaman. Setelah sempat dihebohkan oleh robot anjing, kini ada robot barista dan pembersih yang dapat mengambil alih pekerjaan manusia. Lebih jauh lagi, teknologi ini mulai merambah sektor kesehatan juga. Bayangkan, bagaimana jadinya kalau suatu saat nanti kalian mesti konsultasi ke psikolog robot?

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh perusahaan teknologi Oracle dan firma penasihat SDM Workplace Intelligence, 82 persen peserta di 11 negara yakin robot dapat mengatasi kesehatan mental mereka lebih baik daripada terapis manusia. Studi menemukan pandemi meningkatkan terjadinya stres akibat kerja, memengaruhi 78 persen tenaga kerja di seluruh dunia.

Iklan

Penelitian terdahulu juga mencatat peningkatan masalah kesehatan mental, khususnya di kalangan anak muda, yang dikaitkan dengan media sosial.

Melihat masih banyak negara belum memiliki tenaga kesehatan mental dan pekerja sosial yang memadai, sejumlah pakar yakin robot dapat meringankan beban tugas psikiater dan psikolog. Mereka jadi memiliki lebih banyak waktu untuk menangani pasien karena tugas mendiagnosis sudah dilakukan oleh robot.

Contohnya seperti Singapura. Sebagai negara yang penduduknya gila kerja, Singapura membutuhkan layanan kesehatan mental yang lebih baik. Pemerintah sekarang berencana mengambil langkah untuk menyelesaikan krisis kesehatan mental di negaranya. Perdana Menteri Lee Hsien Loong belum lama membahas masalah ini dalam pidato.

“AI dapat mengotomatisasi tes psikometri atau IQ, sehingga kami para psikolog dapat melakukan banyak hal lain,” ujar Desmond Soh, psikolog di klinik Annabelle Psychology, Singapura.

Peneliti Massachusetts Institute of Technology telah mengembangkan model jaringan saraf yang bisa mendeteksi depresi dalam pola bicara melalui rekaman teks dan audio percakapan. Di masa depan, model tersebut dapat dipasangkan ke aplikasi HP untuk mendeteksi potensi gangguan kejiwaan seseorang. Teknologi ini akan sangat membantu mereka-mereka yang tidak bisa berkonsultasi langsung, baik karena alasan jarak, biaya maupun ketidaknyamanan berhadapan dengan terapis manusia.

Iklan

Selain untuk mendiagnosis, peneliti dari Australian Centre for Robotic Vision dan Queensland University of Technology menunjukkan robot sosial memiliki potensi yang sangat besar untuk membantu pengidap depresi, pecandu narkoba dan alkohol, dan penderita gangguan makan.

“Robot sosial dapat mengurangi potensi efek negatif dari terapi tatap muka seperti penilaian atau stigma yang dimiliki terapis manusia,” tulis Dr. Nicole Robinson.

Hanya 18 persen peserta survei Oracle yang lebih memilih terapis manusia untuk menangani masalah kejiwaan. Mereka percaya robot terbebas dari penilaian, tidak bias ketika pasien menceritakan keluh kesahnya, dan bisa cepat menjawab pertanyaan seputar kesehatan.

Menurut temuan Technical University of Munich, robot bisa membuka jalan bagi metode pengobatan baru, menjangkau populasi yang tidak memiliki akses ke layanan kesehatan mental, dan menghasilkan respons pasien yang lebih baik.

Masalahnya, teknologi secanggih apa pun masih memiliki keterbatasan.

Peneliti Technical University of Munich mempelajari implikasi etis dari terapis robot dan menemukan manusia lebih mudah dimanipulasi oleh robot dibandingkan dengan terapis manusia.

Robot juga tidak memiliki perasaan dan belum bisa menirukan kemampuan berempati manusia.

Jolin Pan, 20 tahun, berkonsultasi ke terapis untuk mengatasi gangguan kecemasannya. Walaupun dia melihat manfaat robot dalam sektor kesehatan mental, perempuan Singapura ini mengaku masih membutuhkan koneksi atau ikatan dengan sesama manusia.

“Ketika berkonsultasi, saya ingin terapis bisa memahami apa yang saya rasakan,” tuturnya. “Robot atau sistem AI berguna sampai batas tertentu saja. Saya rasa teknologi AI takkan bisa memenuhi kebutuhanku jika sudah berurusan dengan masalah kompleks seperti masalah keluarga atau konflik pertemanan yang rumit.”

Desmond sepakat hubungan antar manusia sangat penting dalam mengatasi masalah kesehatan mental.

“Robot memang bisa diprogram untuk mengatakan hal tertentu, tapi rasanya tak sama ketika datang dari sesama manusia yang berjuang dengan masalahnya masing-masing,” simpulnya.