Jalan Kaki

Jalan Kaki Seharusnya Jadi Kegiatan Favorit Siapapun Selama Pandemi

Aku belajar menerima kenyataan dengan berjalan kaki. Aku menyadarkan diri sendiri, apa pun yang aku lakukan tak melulu harus punya tujuan.
Penulis berjalan kaki, foto dedaunan gugur
Foto: Philipp Sipos 

Jika ada pelajaran yang bisa diambil dari 2020, mungkin jadi pensiunan tampaknya enggak seburuk itu.

Berhubung sekarang dilarang berkumpul lagi, aku sering menghabiskan waktu dengan berjalan kaki. Aku akan beristirahat sebentar di alun-alun dekat apartemen sebelum pulang. Aku duduk termenung di sana, menyaksikan sekelompok lelaki tua yang mengusap hand sanitizer di tangan mereka saat mau tos. Mereka lalu pulang ke rumah masing-masing.

Iklan

Ada pabrik alat keselamatan tak jauh dari apartemen. Di depan gedungnya, terpampang papan bertuliskan “Kami tak pernah mengalami kecelakaan kerja sejak X hari” (594 saat artikel ini ditulis). Enggak jarang aku berkunjung ke sana hanya untuk melihat sudah hari keberapa.

Lockdown bukanlah sesuatu yang kusukai. Aku merasa seperti bukan diriku sendiri di hari-hari monoton yang seakan tak ada ujungnya. Aku ingin mengusir rasa bersalah enggak punya rencana apa-apa selama lockdown jilid 2. Jika aku sibuk mengembangkan diri pada lockdown tahap pertama, sekarang aku mau melakukan sesuatu yang sama sekali tak berarti.

Aku belajar menerima kenyataan dengan berjalan kaki. Aku menyadarkan diriku sendiri bahwa apa pun yang aku lakukan setiap harinya tak melulu harus punya tujuan. Terkadang yang aku pedulikan hanyalah menjalani hari saja. Berjalan kaki, menelepon kantor pajak cuma buat mendengarkan lagunya, dan kepikiran ingin olahraga tapi malas.

Kadang-kadang aku menelepon nenek dan dia menceritakan habis masak apa saja hari itu. Nenek suka mengirimkan kue dan aku meminta resepnya, meski akhirnya lupa juga.

Perasaanku jadi lebih baik dengan berjalan kaki. Puluhan ribu langkah melawan ketidakberdayaan. Dengan angka penularan yang naik turun, aku bersyukur masih ada angka yang bisa aku kendalikan. Setiap langkahku menenangkan hati sama seperti prospek vaksin yang sudah ada di depan mata.

Ketika malam tiba, aku menatap ke arah rumah tetangga yang memiliki balkoni dan membayangkan seperti apa rasanya tinggal di sana. Dan jika rumahnya diselimuti kegelapan, aku kesal karena pemiliknya enggak meninggali rumah-rumah bagus ini.

Musim dingin mulai merasuki Berlin. Aku menarik masker untuk menghangatkan wajah, padahal di sini, kalian tak perlu mengenakannya saat keluar rumah. Tapi, enggak ada salahnya pakai masker. Banyak manfaat yang diberikan, contohnya orang-orang enggak akan tahu kamu lagi lip-sync.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Germany.