10 Pertanyaan Bikin Penasaran Buat Maestro Pelukis Spanduk Warung Pecel Lele

Hartono, pelukis spanduk pecel lele Lamongan legendaris

Ada empat jenis kuliner yang bisa diterima dari Sabang hingga Merauke karena citarasanya terjamin: bakso, mi instan, masakan Minang, dan pecel lele Lamongan. Untuk yang disebut terakhir, warungnya punya ciri khas dibanding bisnis kaki lima lainnya, yaitu spanduk bergambar ikan lele, ayam, atau bebek dalam balutan warna mencolok. Spanduk itu segera memberi garansi mutu; semacam penanda bahwa kalian bakal mendapatkan masakan pengganjal lapar yang layak, sekalipun sedang di antah berantah.

Spanduk pecel lele Lamongan amat legendaris di Indonesia. Seakan ada pakem yang mengatur formatnya. Langgam gambarnya pun mirip-mirip. Spanduk warung pecel lele di Samarinda, tak akan jauh berbeda dibanding warung sejenis di Nabire sampai Wonosobo.

Videos by VICE

Gambar spanduk pecel lele menginspirasi banyak kalangan—mulai dari mahasiswa hingga pengamat seni rupa—untuk menelitinya. Duo kreator musik elektronik seperti Gabber Modus Operandi turut meminjam brand image pecel lele yang eksentrik menjadi latar panggung di setiap konser mereka. Julukan buat spanduk ini adalah ‘letter’. Istilah dibuat para pengusaha pecel lele sendiri, sebab spanduk mereka anggap pengganti tulisan daftar menu.

Kendati pecel lele identik dengan Lamongan, rupanya maestro pelukis spanduk pecel lele tidak tinggal di kabupaten pesisir utara Jawa Timur itu. Dia orang Lamongan tulen, namanya Hartono. Tapi sehari-hari Hartono menghabiskan hari dalam studio tempatnya berkarya di Pekayon, Bekasi, Jawa Barat.

Hartono, 48 tahun, sekarang diakui sebagai maestro gaya visual spanduk yang sering kita jumpai terpasang di depan warung pecel lele. Meja besar persegi panjang penuh dengan potongan kain, aroma kimia, dan coretan cat adalah pemandangan yang segera menyambut VICE saat masuk ke ruangan 7 x 3 meter tempat dia berkarya.

Hartono adalah anggota perkumpulan masyarakat PKBN (Paguyuban Keluarga Besar Ngayung) Lamongan, yang tinggal di Jabodetabek. Mayoritas anggota PKBN pengusaha warung pecel lele. Berkat statusnya sebagai pengurus organisasi, permintaan membuat spanduk terus berdatangan sehingga Hartono berhasil hidup hanya dengan melukis spanduk pecel lele. Padahal pelukis lain, termasuk yang tinggal di Lamongan, bertumbangan akibat order sepi. “Sehari pun tidak pernah putus, terus nyambung ngelukis spanduk,” ujarnya.

Kata Hartono, yang memulai karirnya sebagai mengelola warung pecel lele sebelum jadi pelukis spanduk penuh waktu, menggambar lele dan ayam lebih menantang dibanding melukis di atas kanvas. “Teman saya ada yang seniman dan sudah pameran tunggal, jago banget. Tapi kalau disuruh ngelukis di spanduk itu enggak bisa,” kata bapak dua anak ini.

VICE nongkrong bersama Hartono semalam suntuk di studionya, ditemani asap rokok dari bibir Hartono yang tak kunjung berhenti mengepul, membahas seluk beluk profesinya yang unik. Apakah gaya gambar spanduk ini memang lahir di Lamongan? Siapa penciptanya? Lantas mengapa kabarnya sekarang makin susah mencari pelukis spanduk pecel lele?

Ada 10 pertanyaan menggelitik, yang barangkali selama ini terbayang di kepala pembaca sekalian, kami ajukan kepada Hartono; sang maestro lukisan spanduk pecel lele yang masih tersisa.

VICE: Halo Pak Hartono, ceritain dong kenapa memilih profesi sebagai seniman lukis spanduk pecel lele?
Hartono: Awalnya enggak sengaja. Pas 1989 ada teman saya di SMP Pancasila, Lamongan, jago gambar. Dia buka bisnis lukis spanduk pecel lele setelah lulus, sementara saya jualan pecel lele di Jakarta. Karena saya perlu spanduk pecel lele juga, datanglah saya ke teman itu. Eh dia enggak mau bikinin, karena tahu saya bisa menggambar. Saya disuruh bikin sendiri, disuruh beli cat di Pasar Turi, Surabaya. Akhirnya spanduk yang saya gambar sendiri itu saya pasang. Harus diingat, orang-orang pecel lele itu semakin lama semakin bertambah. Misal saya punya warung, pasti punya anak buah. Anak buah lama-lama kan bikin usaha sendiri, enggak jauh dari pecel lele, jadinya spanduk dari bosnya diikutin. Dari situ dia tanya “bikin spanduk di mana?”, dia dapat informasi, lalu info ini berlipat ganda. Istilah jawanya itu ‘getok tular’. Teman sampai saudara minta saya membuatkan spanduk semua.

Saya awalnya tidak langsung jadi pelukis. Saya mulai memberanikan diri mengggambar dari tahun 1992 sambil jualan pecel lele sekalian cari konsumen lukis spanduk. Teman-teman banyak yang tanya “kenapa enggak dijadikan kerjaan utama saja?”, saya sempat enggak berani. Karena spanduk pecel lele awet sampai tahunan, apa iya permintaan melukisnya ada banyak. Akhirnya, setelah dapat klien sekitar 700 orang, baru saya total jadi pelukis spanduk sejak 2008 sampai sekarang. Sehari pun tidak pernah putus, terus nyambung ngelukis spanduk.

Apakah pengalaman di SMP Pancasila ini yang mengajari anda cara melukis spanduk pecel lele?
Iya, teman saya itu namanya Teguh. Dia sejak SD sudah juara lomba lukis tingkat kabupaten. Masuk SMP yang sama dengan saya, si Teguh ini makin jago. Dia saya idolakan, cara dia melukis saya simpan memorinya. Begitu lulus SMP, saya lanjut gali teknik lukisnya, sampai saya ikut lomba lukis juga. Saya mulai ngelukis itu dari enggak pernah pakai cat yang bener, sampai akhirnya tahu bahan untuk ngelukis, tahunya ya dari Teguh itu.

Sampai sekarang Teguh ini masih menjadi pelukis spanduk pecel lele juga, dia termasuk senior. Saya sama Teguh mulai karir agak bareng, dan hampir mirip-mirip karyanya. Sekarang Teguh masih tinggal di Lamongan. Kami tetap menjalin komunikasi, sewajarnya teman SMP, menanyakan kabar, karena seni itu tidak ada persaingan. Jadi bisa dibilang SMP Pancasila adalah sekolah melahirkan seniman lukis spanduk, termasuk saya dan Teguh.

Berarti yang pertama kali menciptakan spanduk khas warung pecel lele itu seniman Lamongan senior anda berdua di SMP?
Bukan, malah daerah Jakarta yang duluan pakai spanduk lukis. Spanduk lukis lahir di kisaran 1978, pemilik warung yang otodidak menggambar, jadi bentuknya belum artistik. Awalnya gaya seni ini lahir karena orang Lamongan yang tinggal di Jakarta banyak jualan soto. Sementara zaman dulu soto Lamongan kan enggak terlalu diminati konsumen ibu kota seperti sekarang. Akhirnya diakali. Ditambahlah menu nasi uduk, sebab nasi uduk itu kan makanan Betawi, pasangannya ayam goreng, sekalian ada belut, ikan gabus, ikan sili. Baru belakangan ada ikan lele, karena budidayanya lebih mudah.


Tonton video 10 pertanyaan VICE untuk orang yang menjalani profesi badut pesta:


Apakah permintaan lukis spanduk pecel lele anjlok setelah muncul teknologi digital print?
Enggak, malah meningkat. Di tahun pertama muncul banner saya sempat down juga. Pikiran saya, “wah ada kompetitor”, ternyata dari konsumen spanduk gambar pun merasakan perbedaannya dan tetap memilih spanduk. Kelemahan banner banyak. Rata-rata warung pecel lele bongkar pasang. Spanduk banner itu kalau sering dipasang-digulung akhirnya gambar pecah. Selain itu rata-rata pedagang pecel lele buka warung malam hari. Banner bahan plastik kalau kena lampu dari dalam cahayanya enggak tembus, jadinya warung itu malah kelihatan gelap. Dihantam lampu mobil dan motor dari depan akan mantul sinarnya. Makanya banyak pengusaha pecel lele bertahan pakai spanduk lukis.

Paling susah itu menggambar hewan apa di spanduk pecel lele?
Enggak ada sulitnya kalau hewan karena sudah feeling, tapi menurut saya yang susah itu teknik gradasinya. Teknik lukis spanduk ini memang beda, enggak kayak lukisan kanvas, hampir mirip sama teknik lukisan kaca. Teman saya yang lain lagi ada seniman lukis juga dan sudah pameran tunggal, dia itu jago banget. Tapi kalau disuruh ngelukis di spanduk enggak bisa.

Bisa melacak spanduk karya anda sudah tersebar ke mana saja?
Yang belum tersentuh sama saya tinggal Papua. Mulai dari Surabaya, Bali, Kalimantan, sampai Sulawesi juga ada yang pesan. Padahal warung pecel lele di Papua itu ada, tapi mungkin spanduk saya belum lari sampai sana.

Kenapa sih gaya gambar spanduk pecel lele seakan-akan seragam di seluruh Indonesia?
Pakem utama adalah pemakaian warna-warna stabilo. Karena tujuannya memanipulasi warna di malam hari, biar spanduk itu kelihatan ngejreng [mencolok-red]. Kalau hanya warna standar, mati. Contoh, kenapa hijau stabilo? Untuk ngakalin warna penerangan jalan. Ingat, warung ini buka malam hari. Lampu jalan itu sinarnya kuning. Sudah tendanya kuning, tulisannya kuning, listnya kuning, warungnya bakal pucat. Makanya saya akali pakai warna hijau stabilo untuk font. Mempertimbangkan estetika juga, karena niat saya menghidupkan warungnya. Biar orang sekali lihat langsung tahu itu warung pecel lele, sehingga dapat bersaing dengan bisnis kuliner lainnya.

Untuk maestro seperti anda, melukis spanduk pecel lele itu butuh waktu berapa lama?
Sesuai aturan di tempat saya harus menunggu dua bulan. [Kalau konsumen mau] syukur, enggak mau ya sudah. Kalau mau lebih cepat paling diakalin cari menu yang sama. Kadang konsumen punya settingan layout menu sendiri, maka enggak bisa cepat. Karena cuma saya sama istri doang yang mengerjakan, enggak pakai karyawan.

1551690968617-DSC05562

Selama tiga puluh tahun terakhir, apa anda merasa ada perbedaan gaya lukis spanduk pecel lele?
Awalnya semua pakai lukisan tangan. Pertama saya bikin satu spanduk gambar itu bisa berbulan-bulan. Bikin font-nya saja saya ukur, garis-garis segala macam. Dianggap kelamaan [sama konsumen]. Akhirnya saya kombinasi antara sablon dengan lukis, jadi untuk font-nya disablon, gambar ayamnya saya lukis. Banyak pelukis spanduk pecel lele lain yang lebih senior dulu masa bodoh sama kebutuhan konsumen. Makanya banyak yang bertumbangan bisnisnya.

Kalau saya mengerjakan font-nya pakai aplikasi Corel Draw. Didesain dulu menunya apa. Hasil desain dikirim ke klien, supaya [pelanggan] mengecek apa ada yang kurang. Kan sudah ada laptop, maka harus dimanfaatkan untuk memudahkan pekerjaan kita.

Jika memang pakemnya mirip dan orang lain pun bisa melakukannya, apa dong keistimewaan gambar spanduk Pak Hartono sehingga klien selalu datang?
Saya juga ngasih bonus resep sambal pecel lele yang enak. Saya tahu, kebanyakan warung pecel lele Lamongan itu sambalnya kurang enak. Kalau sambalnya enak, pasti bisnis jalan lancar. Warung pecel lele sampai bangkrut itu rumusnya karena spanduk kurang bagus, dan sambalmu kurang enak. Pakai jasa saya, konsumen bisa dapat dua ilmu sekaligus. Spanduknya cakep, sambalnya enak. Hahaha….

Wawancara ini telah disunting agar ringkas dan enak dibaca.


10 Pertanyaan Penting adalah kolom VICE mengajak pembaca mendalami wawancara bersama sosok/profesi jarang disorot, padahal sepak terjangnya bikin penasaran. Baca juga wawancara dalam format serupa, dengan topik dan narasumber berbeda, lewat tautan berikut:

10 Pertanyaan Bikin Penasaran yang Ingin Kalian Sampaikan Pada Ahli Kung Fu di Jakarta

10 Pertanyaan Unik yang Ingin Kamu Ajukan Kepada Anggota Freemason

10 Pertanyaan Penting yang Ingin Kamu Ajukan Untuk Pawang Harimau