Hiburan

Bisakah 'Layangan Putus' Jadi Pakem Baru Sinetron Gantikan Format Kejar Tayang?

‘Layangan Putus’ dianggap menaikkan standar sinetron Indonesia. VICE ngobrol dengan pelaku industri TV dan pengamat, mencari tahu apakah viralnya serial itu bisa menggoyang hegemoni rating.
Layangan Putus Sukses Berpotensi Jadi Pakem Baru Sinetron TV Indonesia Gantikan Format Kejar Tayang
Cuplikan adegan ikonik miniseri sinetron 'Layangan Putus' dari arsip MD Entertainment/WeTV

Pemerintah Turki berutang terima kasih kepada kreator Layangan Putus. Tiga bulan lalu, saya berani taruhan kalau mayoritas masyarakat Indonesia akan mengernyitkan dahi saat mendengar kata “Cappadocia”. Kini, usai sinetron pendek itu meledak, bahkan keponakan saya udah nyeletuk ngajakin liburan ke tempat wisata balon udara di Turki itu. Tentu saja keponakan saya bercanda, dia paham lah kemampuan finansial milenial kayak saya.

Iklan

Lumayan kan, Kementerian Pariwisata Turki udah dapat sarana pemasaran luas. Gara-gara Layangan Putus, obrolan seputar Cappadocia enggak lagi eksklusif di gelembung para turis berduit dan agen perjalanan, tapi juga emak-emak muda di grup WA. Kalau enggak percaya, coba deh random datengin pertemuan orang tua murid di SD terdekat, lalu lontarkan pertanyaan apa hal yang paling diingat kalau mendengar kata “Turki”. Saya jamin, Cappadocia jelas ada di ranking satu, Kebab Baba Rafi harus minggir dulu.

Itu cuma satu aspek dampak popularitas Layangan Putus. Di tataran media sosial, meme “It’s my dream, Mas! Not her[s]!” menjamur jadi materi lelucon menghibur. Walau maaf, ketika tulisan ini dibuat, meme tersebut sudah overused karena dikopi sebagai gimmick pemasaran. Belum lagi potongan video adegan tersebut yang banyak dipakai pengguna TikTok untuk bikin konten. Di tataran tongkrongan, saya sampai mendengar curhatan teman yang berantem dengan pasangannya gara-gara mendiskusikan sinetron ini.

WeTV, platform layanan streaming yang menayangkan Layangan Putus, mengklaim sinetron ini sempat ditonton lebih dari 15 juta kali dalam sehari dan pernah trending di 25 negara.

Respons positif penonton Indonesia langsung menumbuhkan optimisme akan meningkatnya kualitas sinetron Indonesia yang, sejarah literasi meme mencatat, seringnya bikin emosi. Meski premis cerita Layangan Putus klise, keterlibatan aktor kelas atas sukses membuat Layangan Putus dianggap naik level. Reza Rahadian membuat peran Aris seakan layak dikeroyok warga. Sementara, Putri Marino membuat peran Kinan kebanjiran empati dari penonton sampai pada titik mampu menggerakkan warga untuk mengeroyok Aris apabila ada komando. Reza-Putri punya chemistry pas menjalani peran suami-istri Aris-Kinan. Mimik detail keduanya mengagumkan, menandakan pengalaman dan kemampuan akting mumpuni. Top.

Iklan

Kekuatan dua aktor-aktris berpengalaman ini lantas didukung dialog alami, sinematografi dan tata busana enak dilihat, serta episode terbatas sehingga tidak bertele-tele. Semuanya menjadi formula yang membuat Layangan Putus digemari dan diharapkan memberi embusan angin segar di dunia sinetron yang makin ditinggalkan generasi muda perkotaan.

“Aku suka akting Putri [Marino] sama Anya [Geraldine]. Terus, detail-detailnya udah enggak kayak sinetron pada umumnya: wardrobe bagus-bagus, enggak berlebihan. Make-up-nya juga,” kata Intan Zalanda, perempuan 35 tahun asal Bekasi, saat dihubungi VICE. “Yang perlu ditiru sinetron lain mungkin episodenya kali ya. Udah pas banget tuh, enggak panjang-panjang ceritanya, padet, enggak bertele-tele.”

Shangrila Djehadut, perempuan 28 tahun di Pontianak, menyebut skenario Layangan Putus terasa lebih alami dan relatable dibanding sinetron kebanyakan. “Cukup relate menggambarkan sifat pria dan wanita ‘berada’ dan pintar yang selingkuh dan diselingkuhi. Awalnya, penonton dibawa rasa kesal karena respons Kinan yang kurang tegas. Tapi di akhir, penonton, terutama perempuan kayak aku, jadi kagum. Ternyata jujur dan cerdas si Kinan. Tetap santai, baik, tapi ada strategi untuk dirinya sendiri. Enggak seperti pemeran di sinetron lain yang merana terus dan terkesan jadi korban yang enggak bisa ngapa-ngapain,” ujar Shangrila.

Iklan

Wajar dong kemudian muncul ekspektasi kebangkitan kualitas sinetron Indonesia saat RCTI membeli hak siar Layangan Putus. Wah, berarti TV konvensional sudah mengakui daya tarik sinetron itu terlampau besar untuk tidak dimanfaatkan. Segudang pertanyaan muncul: Apakah formula Layangan Putus akan menjadi pakem baru industri sinetron Indonesia? Apakah pergeseran konsumsi masyarakat dari TV konvensional ke layanan streaming akan menciptakan disrupsi konten sehingga isinya “dipaksa” jadi lebih “berkualitas”?

Dan pertanyaan terpenting: Apakah ini saatnya mengucapkan selamat tinggal pada sinetron kejar tayang berisi adegan placement product supercanggung dan suara hati tokoh antagonis yang ikonik? 

“Masih terlalu dini untuk merasa sinetron bermodel mini-series macam Layangan Putus akan menggeser sinetron kejar tayang,” ucap penulis skenario Ratih Kumala, sukses menjatuhkan harapan saya kembali ke tanah. Ratih pernah bekerja untuk Trans TV selama delapan tahun, sejak 2007. Sekarang ia menjabat Head Writer untuk rumah produksi Base Entertainment.

“Semua tayangan hiburan itu punya penonton masing-masing. Film kelas A kayak Marvel, kelas B, ada audience-nya. Begitu juga sinetron. Ada penonton sinetron yang tayang tiap hari, ada penonton FTV, ada penonton sinetron mini-series kayak Layangan Putus, ada juga penonton sinetron Ramadan,” jelas perempuan 42 tahun itu.

Iklan

“Kenyataan bahwa ada sinetron berepisode ratusan dan kejar tayang menunjukkan bahwa ada penontonnya. Kalau ratingnya [sinetron kejar tayang itu] masih bagus, enggak akan di-drop, paling digeser jam tayang. Tapi kalau sudah digeser jam tayang, rating share masih jatuh, baru akan di-drop.”



Ratih menjelaskan, sinetron kejar tayang masih akan jadi anak emas TV penyiaran. Ia dipercaya sebagai pengikat yang mempertahankan penonton untuk tidak pindah channel. Apabila hilang, maka akan ada kekosongan dalam industri hiburan penyiaran, dan ini harus tetap diisi. Suplai episode konsisten dari sinetron kejar tayang tentu sulit digantikan mini-series macam Layangan Putus yang “cuma” punya 10 episode.

“Menurut aku, [kehadiran Layangan Putus] enggak mengganggu [posisi sinetron di televisi]. Ya udah, mereka emang lagi viral dan populer aja, dan ini hal bagus untuk kreator,” tambah Ratih. Yang patut diperhatikan, menurutnya, justru ada pergeseran kebiasaan mengonsumsi tayangan yang semakin terlihat di masyarakat. “Layangan Putus sukses padahal ditayangkan di platform streaming, di mana penonton harus bayar, seenggaknya bayar kuota. Ini jadi semacam ada pergeseran status ekonomi-sosial di masyarakat kita.”

Pergeseran cara menikmati tayangan ini juga diamini dan diantisipasi oleh Kamil Wahyudi, produser sinetron di MNC Group. Kepada VICE, Kamil mengaku pihaknya memang sudah mempersiapkan migrasi TV penyiaran ke digital setidaknya pada November 2022. Secara angka, penonton TV konvensional disebutnya sudah tidak segemuk 5-10 tahun lalu. Perlahan, stasiun TV juga ikut pindah ke mana penonton berada, terlihat dari migrasi RCTI ke RCTI+ atau SCTV ke Vidio.

Iklan

Namun, kalau ngomongin pakem pembuatan sinetron yang berubah, Kamil menganggap posisi sinetron kejar tayang masih cukup kuat karena penonton yang loyal dan perputaran ekonomi yang besar.

“Karena ada iklan yang harus dipasang, sinetron [kejar tayang] masih punya posisi kuat dibanding acara-acara TV lain seperti reality show dan infotainment yang kalah jauh pendapatannya [kalau dibandingkan] kala menayangkan sinetron,” ucap pria yang sudah malang melintang di industri media penyiaran selama 25 tahun itu.

Dari penjelasan Kamil, tayangan yang hadir setiap hari akan menciptakan stabilitas, membuat pendapatan dari sisi iklan menjadi stabil pula. Data rating dengan penonton stabil ini membuat pengiklan yakin pula untuk membeli slot iklan.

“Pemasang iklan yang masuk ke sinetron berperforma tinggi seperti Ikatan Cinta akan menjadi data bagi para pemasang iklan [lain]. Data ini kemudian digunakan juga kepada para rumah produksi [lain] untuk menghadirkan cerita-cerita yang mirip-mirip,” tutup produser yang ada di balik sinetron panjang Dunia Terbalik (2.636 episode), Amanah Wali (802 episode), dan Tukang Ojek Pengkolan (3.110 episode).

Situasi ini tentu membuat kita paham mengapa kualitas bukan prioritas utama para pelaku industri sinetron di TV penyiaran. Pengamat media Andi Andrianto mengatakan, riset Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama 12 perguruan tinggi di Indonesia menyebut indeks kualitas sinetron selama enam tahun terakhir tidak pernah mencapai angka 3. Untuk memahami konteks, indeks kualitas sinetron memiliki nilai maksimal 5, di mana angka 4 adalah batas minimal yang dipasang KPI untuk menyebut sebuah tayangan berkualitas.

Iklan

“[Sinetron kejar tayang] terkesan tidak digarap secara serius. Hari ini ditulis skenarionya, hari ini syuting, besok kalau bisa sudah tayang,” ujar Andi. 

Kalau gitu, bagaimana jika penontonnya saja yang mengubah selera? Bukankah platform streaming kini sudah menawarkan konten tak terbatas untuk ditonton? Apabila penonton sudah menolak mengonsumsi, bukankah industri akan mengikuti?

Saat ditanyai, Andi termasuk yang percaya bahwa memang akan terjadi pergeseran selera konsumen akibat konsumsi masyarakat yang sudah merasakan kualitas tayangan di platform streaming. Apabila publik sudah menuntut perbaikan kualitas tayangan, mau enggak mau penyedia konten harus mengikuti. 

“Kalau mereka [TV konvensional] mau bertahan dan diterima pasar para penonton platform berbasis internet, mereka harus menyesuaikan juga kontennya. Saya yakin mereka akan bergeser ke sana. Platform bergeser, selera menonton masyarakat ikut bergeser, konten juga pasti ikut bergeser,” tutup Andi.

Selain menunggu penonton, pengamat media Diani Citra menyebut ada satu hal lain yang bisa mempercepat pergeseran kualitas konten TV Indonesia, yakni mekanisme baru perhitungan rating di televisi Indonesia.

“Metode rating saat ini sudah kedaluwarsa. [Mekanisme rating] tidak mengikutsertakan penonton-penonton yang nonton [layanan streaming macam] Netflix atau TV kabel berbayar. Kalau kamu menonton layanan selain TV penyiaran, kamu otomatis berada di luar angka survei, dan itu problematik,” kata Diani kepada VICE.

Diani menyayangkan sistem yang ada tidak bisa membandingkan jumlah serta apa yang ditonton penonton TV penyiaran versus penonton tayangan berbayar. Padahal, rating keseluruhan ini penting melihat kecenderungan penonton bergonta-ganti channel dan device dalam menikmati tayangan. “[Rating TV penyiaran] itu kan enggak representatif sama viewer Indonesia. Ini memengaruhi ekosistem secara lebih luas, salah satunya pendekatan membuat film,” tambahnya.

Menurut Diani, begini lingkaran setannya: meski tidak representatif, survei rating televisi tetap dijadikan rujukan data para rumah produksi untuk bikin tayangan populer. Karena sinetron kejar tayang ada di posisi teratas, sinetron jadi yang paling laris digarap. Data survei ini lantas jadi rujukan para pengiklan. Akhirnya, melihat sinetron jadi yang paling banyak ditonton, mereka selalu menginvestasikan belanja iklan di sinetron-sinetron itu. Begitu terus.

“Jawaban saya, kita perlu sebuah perusahaan swasta besar yang berani go head-to-head sama Nielsen. Sekarang udah ada teknologi baru yang menggabungkan data tontonan penyiaran dengan streaming dan berkabel [oleh masyarakat] sehingga [datanya bisa] lebih representatif. Sehingga ketika orang nontonnya First Media mereka bisa dipantau [nonton apa], dan pas pindah ke RCTI, tetap terpantau. Di AS sama di Korea udah begitu,” kata Diani. Harapannya, ketika survei menunjukkan penonton lebih banyak menonton sinetron berkualitas seperti Layangan Putus, pengiklan bisa yakin buat mengalihkan anggaran promosinya sehingga bentuk konten bisa berubah.

Mendengarnya segala penjelasan para ahli ini, kepala saya langsung pusing. Harapan sederhana agar sinetron bisa jadi lebih berkualitas aja urusannya bisa sepanjang dan serumit ini. Ya udah, buat penyegaran, saya merencanakan liburan ke Cappadocia, tapi yang versi Subang saja.