teknologi

Bosan Jadi PNS, Taliban: Kami Rindu Jihad

Ada mantan pejuang Taliban yang mengeluh gaji PNS kecil, ada juga yang ketagihan main Twitter karena gabut di kantor.
E_lv-FTWEAQO17P
Taliban

Sudah hampir dua tahun sejak Taliban merebut kekuasaan dari pemerintahan Afghanistan yang didukung Amerika Serikat. Berbagai aspek kehidupan masyarakat pun berubah drastis di rezim Taliban, terutama setelah hukum syariat kembali ditegakkan. Namun, ada satu perubahan yang tidak disangka-sangka juga akan dirasakan para pejuang Taliban. Hari-hari mereka membela agama dengan gagah perkasa kini tinggal kenangan. Sekarang, mereka mau tak mau harus beradaptasi pada dunia PNS yang membosankan. Bahkan tak sedikit pejuang merasa gajinya tidak cukup buat bayar kontrakan.

Iklan

Keluh kesah mantan pejuang yang bekerja di sektor pemerintahan terangkum dalam artikel panjang yang disusun oleh Afghanistan Analytics Network, lembaga riset nirlaba yang berbasis di Kabul. Pada saat diwawancarai oleh peneliti Sabawoon Samin, lima anggota Taliban blak-blakan mengaku jenuh dengan pola hidup mereka yang monoton.

“Mereka berusia antara 24-32 dengan pengalaman sekitar enam hingga 11 tahun sebagai anggota Taliban. Mereka dulu berpangkat komandan Taliban, penembak jitu dan wakil komandan. Dua sisanya adalah pejuang,” tulis Samin dalam artikelnya. Setelah Taliban mengambil alih kendali pemerintahan, dua di antaranya menjadi PNS dan tiga orang bertugas menjaga keamanan negara.

Mantan sniper bernama Huzaifa menyebut melaksanakan tugas jihad jauh lebih gampang daripada mengurus negara. “Kami dulu cuma memikirkan strategi ta’aruz [serangan] untuk mengalahkan musuh dan mundur,” kenangnya. “Tidak ada kewajiban untuk memenuhi tuntutan apa pun. Tapi sekarang, kami akan disalahkan kalau rakyat sengsara atau kelaparan [...] Kerjaan kami juga cuma duduk sepanjang hari di depan laptop seminggu penuh. Saya bosan mengerjakan itu-itu saja. Hari-hari terasa semakin berat karena jauh dari keluarga.”

Iklan

Rutinitas kerja yang membosankan juga disampaikan oleh Abdul Nafi, yang terkadang merindukan masa-masa jihadnya di masa lalu. “Sejak diterima bekerja di kementerian, saya sering ngecek Twitter karena kebanyakan waktu kosong,” tutur lelaki berusia 25 itu. “Jaringan WiFi di kantor kami sangat cepat, makanya banyak mujahidin seperti saya yang kecanduan main internet, khususnya Twitter.”

Huzaifa bukan satu-satunya mantan pejuang yang meninggalkan keluarganya di kampung halaman. Faktanya, mereka semua merantau ke ibu kota setelah pasukan AS meninggalkan Afghanistan. “Uang saya tidak cukup untuk mengajak keluarga tinggal di Kabul,” ujar Omar Mansur saat diwawancarai Samin. “Biaya kontrakan sangat tinggi, tapi gaji yang kami terima kurang dari 15.000 afghani [setara Rp2,5 juta]. Insyaallah saya mau memboyong keluarga ke sini kalau gajinya naik.”

Tak hanya itu saja, Omar muak terjebak macet. “Tahun lalu masih mendingan. Tapi belakangan ini, macetnya tambah parah,” keluhnya. Ia juga merasa kebebasannya telah direnggut.

“Kami dulu bisa pergi ke mana saja sesuka hati kami,” terang Omar. “Tapi sekarang, kami harus sudah ada di kantor sebelum pukul 8 pagi. Kami baru boleh meninggalkan meja kerja setelah pukul 4 sore. Kamu akan dianggap absen dan gajinya dipotong kalau tidak datang ke kantor tanpa alasan.”

Kamran mengutarakan, dirinya begitu menderita sejak kerja kantoran. “Saya senang mendapat pekerjaan ini, tapi saya tidak bisa bohong kalau saya amat merindukan masa-masa jihad. Segala hal yang kami lakukan dulu termasuk ibadah,” ucapnya. “Sekarang, banyak di antara kami yang terkungkung di ruang kerja. Inilah tantangan terbesar bagi kami.”

Menurutnya, mantan mujahidin seperti dirinya harus kuat menahan ujian, seperti jalanan macet, godaan perempuan, jabatan dan kekayaan.

Rupanya, bukan cuma budak korporat di kota-kota besar yang merana karena setiap harinya mesti berangkat kerja sebelum matahari terbit, dan baru pulang setelah matahari terbenam. Akan tetapi, bagi orang-orang yang separuh hidupnya habis untuk berperang, bukanlah hal mudah menyesuaikan diri dengan zaman yang semakin modern.

Yang terakhir ada Abdul Salam (26), mantan pejuang yang bergabung enam tahun lalu. Ia tersadar betapa beratnya memenuhi kebutuhan keluarga usai perang berakhir. Di masa lalu, saat ia masih menjalani tugas jihad, keperluan sehari-hari anak istrinya ditanggung keluarga besar. Tapi sekarang, ia wajib memikul tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.

Ia juga baru tahu kalau tak ada atasan yang peduli dengan bawahannya. Posisinya bisa digantikan orang lain jika ia tidak rajin bekerja. “Seperti kata pepatah, uang adalah belenggu,” katanya. “Gaji kami bisa dipotong kalau suka mengeluh, tidak datang ke kantor, atau tidak menaati peraturan. [Pemerintahan] Imarah bisa mencari penggantimu.”