media sosial

Akun Menfess: Pisau Bermata Dua Kebebasan Berekspresi di Medsos

Auto base yang populer di jagat Twitter Indonesia menarik buat spill dan julid ringan, sampai muncul korban doxxing dan cyberbully. Debatnya berpusat di sini: apa semua hal harus di-spill tanpa konteks?
AN
Jakarta, ID
Sejarah akun twitter menfess auto base di Indonesia dan cyberbullying
Ilustrasi pengguna medsos anonim via Getty Images

Akib* mengenal sisi lain akun menfess kala janjian dengan tiga teman perempuannya pergi bareng ke kondangan kenalan mereka di Yogyakarta. Si empunya hajat meminta para tamu undangan mengenakan busana Nusantara. Melihat ketiga temannya berkebaya dan bersanggul, Akib tertarik berpakaian seperti itu juga.

Penata gaya muda itu terbiasa mengangkat isu feminisme dalam karyanya, dan penasaran seperti apa rasanya bersanggul. Dia juga ingin membuktikan omongan orang, bahwa sanggulan itu tidak gampang dan bikin capek. Akib menceritakan keinginannya kepada tiga temannya, dan mereka bilang tidak ada salahnya. Dia pun langsung menghubungi kenalan dan minta dirias.

Iklan

Akib memamerkan tiga foto dalam balutan blazer formal hitam yang dipasangkan dengan jarik dan selendang ke Twitter pribadinya dengan caption, “Hari ini meruntuhkan patriarki” dan “Puan puan pribumi melawan tatanan sosial”.  Dia sekadar bergurau. Mayoritas follower akun Twitternya juga sudah paham memang begitulah gaya bercanda Akib. Sekilas tak ada masalah. 

Namun, tanpa sepengetahuan Akib, seseorang—tak jelas follower atau bukan —kurang menyukai twit tersebut. Orang itu lalu mengirim tangkapan layar dua foto Akib ke sebuah auto base di Twitter dan menjulukinya crossdresser. Meski nama pengguna dan wajahnya sudah disensor, mereka menyisakan nama profil yang mudah dicari. Akib kaget twit dia sudah viral keesokan harinya.

“Di pagi harinya […] aku cek notifikasi [dan] ternyata sudah viral,” tutur Akib ketika dihubungi VICE melalui aplikasi pesan instan, “[Jumlah] like dan retweet-nya sudah banyak banget, dan ada komen-komen tidak menyenangkan yang masuk. Tetapi sebenarnya, aku tidak tahu masuk ke akun julid.”

Akib mengaku memblokir beberapa akun auto base sejak lama karena tidak menyukai kontennya yang terlalu “sensasional”. Dia baru sadar masuk @AREAJULID setelah diberi tahu beberapa teman. Komentar negatif terbanyak datang dari sana.

“Sampai ada yang DM mengirimkan ujaran kebencian juga, satu hal yang belum pernah aku alami sebelumnya,” kata Akib.

Akun macam itu bukan satu-satunya. Warga Twitter cukup sering melihat auto base berseliweran di TL. Bisa jadi karena teman menyukai dan me-retweet postingannya, atau kalian sendiri mengikuti salah satu akun tersebut. Tapi apa sebenarnya auto base itu?

Iklan

Lebih populer dengan sebutan “menfess”, auto base berperan sebagai perantara pengguna yang ingin menyampaikan gagasan atau pertanyaan secara anonim di Twitter. Segala macam topik atau bidang yang kalian minati kemungkinan besar sudah ada base-base-nya sendiri. Kalian suka kucing? Silakan cek @kochengfess. Pencinta sastra bahkan bisa membahas buku favorit dengan sesama kutu buku di @literarybase.

Jika ingin membicarakan hal-hal umum maupun tidak biasa, ada @tubirfess dan banyak lainnya. Kalau dipikir-pikir, auto base agak mirip Reddit. Cuma bedanya kita harus mengirim DM terlebih dulu ke akun menfess, baru nanti pesan kita ditwit secara otomatis oleh bot. Kalian wajib mencantumkan kata kunci tertentu jika ingin pesannya dijadikan twit pada akun tersebut.

Tak ada yang tahu pasti bagaimana dan kapan awal kemunculan auto base di platform media sosial tersebut. Namun, keberadaannya sudah dirasakan setidaknya sejak dua tahun terakhir. Dan menariknya, auto base hanya ditemukan di Indonesia.

Situs Kreativv mengungkap menfess adalah singkatan dari mention confess yang sudah umum di kalangan roleplayer. Istilah ini biasanya digunakan oleh satu akun parodi untuk menyatakan perasaan mereka kepada akun parodi lain secara rahasia. Cobalah menelusuri kata kunci “mention confess” dan “menfess” di Google. Hasilnya menunjukkan kedua istilah ini sudah ada sejak lima tahun lalu, dan berkaitan dengan komunitas roleplay di Twitter.

Iklan


Menfess lambat laun berevolusi menjadi auto base seperti yang kita ketahui sekarang. Akun-akun menfess bukan hanya untuk mengirim surat cinta rahasia saja, atau bermain peran, melainkan juga menjadi tempat bertukar pendapat dan berkeluh kesah. Tetapi ada kalanya auto base berubah toksik, di mana ranah privat seseorang disebar dan dijadikan konten tanpa izin.

Salbiah tidak ingat momen awal dia mulai mengikuti salah satu akun menfess, tapi perempuan 27 tahun itu melihat auto base bisa memiliki puluhan hingga ratusan ribu pengikut yaitu karena twitnya selalu update dengan kabar terbaru, apa pun itu.

Pengguna Twitter bebas mencurahkan opini dan memberi informasi yang mungkin jarang diketahui orang. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Andina Dwifatma, dosen program studi Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Berkat keberadaan auto base, sekarang kita tak perlu kenal dengan seseorang untuk mendapatkan saran atau dukungan dari mereka.

“[Auto base] memberi platform atau medium untuk orang bisa berekspresi [dan] menjalin relasi dengan orang lain, baik itu dalam bentuk kirim salam, curhat maupun minta saran, tanpa harus invest di hubungan personal,” Andina menjelaskan pada VICE. Kemudahan itu membuat auto base kerap dijadikan tempat andalan menanyakan sesuatu, meski sebagian besar jawaban dari pertanyaan manusia ada di mesin pencarian Google sekali pun.

Selain itu, auto base bisa populer karena masyarakat Indonesia cenderung takut berpendapat. Penulis dan pegiat literasi digital Lamia Putri Damayanti menilai kebebasan berpendapat yang dikekang atau direpresi sejak era Orde Baru masih menyisakan jejaknya di era pascareformasi. Banyak orang Indonesia tidak memahami bagaimana cara menyampaikan pendapat dengan baik. Ruang untuk berdiskusi pun sulit dicari di dunia nyata, sehingga kita kebingungan harus ke mana mengekspresikan pemikiran.

Iklan

“Hasilnya, kita mencari alternatif untuk ruang diskusi, misalnya saja di internet maupun forum-forum lain,” terang Lamia. “Twitter base memfasilitasi ruang itu, tetapi tidak dibarengi dengan literasi digital ataupun etika bermedia sosial yang baik. Kita sudah lumayan gagap dalam beradaptasi dengan teknologi serta ruang-ruang demokrasi yang diciptakan dari tempat itu.”

Sifatnya yang anonim juga menjadi nilai tambah tersendiri buat akun auto base. Mungkin ada satu dua hal yang mengusik pikiranmu, tapi kalian malu atau tidak berani bertanya langsung ke teman atau keluarga. Di akun menfess, kalian tak perlu khawatir akan dihakimi. Para pengikutnya tidak pernah tahu siapa saja yang mengirim twit-twit tersebut.

Masalahnya, anonimitas acap kali disalahgunakan untuk menyerang pihak tertentu, serta mengekspos beberapa hal lepas dari konteks awalnya. Noam Lapidot-Lefler dan Azy Barak dari Universitas Haifa, Israel, memaparkan kesimpulan kajian tentang pengaruh anonimitas dan invisibilitas di dunia maya.

Pengguna internet yang bersembunyi di balik akun anonim seringkali merasa tidak perlu bertanggung jawab atas perilaku buruk mereka, sebab tidak ada orang yang mengetahui identitas aslinya. Dengan hilangnya tanggung jawab, orang lebih leluasa berkata dan bertindak sesuka hati, terbebas dari konsekuensi yang seharusnya mereka tanggung andai interaksi itu terjadi di dunia nyata. Begitu twit menfess mereka viral karena mengundang emosi atau menebar “aib” orang lain, kita sebagai pembaca tidak tahu siapa yang mesti disalahkan.

Iklan

Kehadiran akun menfess dengan agenda julid sekaligus menawarkan solusi bagi pengguna Twitter yang haus akan drama. Pembaca mungkin tahu, betapa tak sedikit warga Twitter di Indonesia bangga memproklamirkan bahwa mereka suka mencari keributan. Walaupun konten yang muncul di linimasa twit @tubirfess atau @AREAJULID tak selalu negatif, drama adalah faktor utama akun-akun menfess ini sangat menarik perhatian netizen.

Lamia dan Andina sepakat, kebanyakan orang yang mengirim tangkapan layar twit atau konten pengguna lain ke akun menfess sebenarnya tak punya niat awal ingin berdiskusi. Mereka hanya tertarik memancing debat; mempermasalahkan sesuatu yang kadang tidak perlu diributkan. Sejujurnya, kebiasaan julid ini berlaku untuk semua pengguna Twitter, bukan hanya dimiliki follower akun menfess saja.

Menurut penelitian yang dilansir BBC, kata-kata atau pesan yang penuh emosional cenderung lebih cepat menyebar di media sosial. Kemungkinan twit bermuatan emosi atau moral untuk di-retweet 20 persen lebih besar dari twit biasa.

“Konten yang memicu amarah jauh lebih mungkin untuk dibagikan [secara luas],” ujar peneliti Molly Crockett saat diwawancarai BBC. Maka tidak heran jika twit kasar dan jahat sering muncul di linimasa, padahal kalian tidak pernah follow akun julid.

Pada akhirnya, sebagian konten akun-akun menfess menjadi lahan subur berseminya perundungan online. Berkaca pada kasus Akib, si pengirim menfess tampaknya ingin menyudutkan sosoknya. Orang-orang spontan bereaksi negatif ketika melihat lelaki “berdandan seperti perempuan”, karena menurut mereka tindakannya menyalahi kodrat.

Sembari kesadaran berdiskusi lebih dewasa bisa muncul, benteng yang tersisa tinggal kesiapan individu buat menghindari efek buruk perundungan macam itu. Akib mengaku kuat menghadapi cercaan yang berasal dari komen-komen menfess, berkat dukungan teman-teman terdekat yang tahu bahwa dia tidak salah, serta sejatinya di keseharian mendukung teman-teman queer di Tanah Air.

“Dari awal menyadari twitnya viral, aku enggak mau back down karena itu justru memberi pesan yang salah bahwa rundungan mereka valid dan mereka bisa merundung,” ujarnya. “Aku tidak mau membuat teman-teman queer berpikir, "Oh berarti memang kita harus hati-hati posting di sosmed dan engga menunjukkan jati diri’ karena Akib aja akhirnya take down twitnya.”

*Nama narasumber tidak ditulis lengkap untuk melindungi privasinya