Intoleransi

Diduga Kena Doktrin Intoleransi dari Sekolah, Anak SD Rusak Makam Beda Agama di Solo

Ke-10 anak ini belajar di SD berbasis keagamaan tak jauh dari pemakaman. Intoleransi dengan cara merusak makam pernah terjadi pula di Magelang dan Yogyakarta.
10 Anak SD di Solo rusak makam Kristen Cemoro Kembar, Diduga
Ilustrasi vandalisme di makam warga Kristiani. Foto oleh REMY GABALDA/AFP via Getty Images

Tempat Pemakaman Umum (TPU) Cemoro Kembar di Kelurahan Mojo, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah, diacak-acak 10 siswa SD pada Rabu (16/6) sore. Nisan makam dirusak dengan cara dipukul sampai patah. Perbincangan soal intoleransi segera mengemuka karena yang dirusak adalah makam kristiani dan anak-anak itu berasal dari sekolah keagamaan di dekat makam. Tindakan mereka ketahuan saat dipergoki seorang warga. 

Iklan

Kenakalan anak-anak tersebut kini ditangani Polsek Pasar Kliwon dan Polresta Solo. “Sampai saat ini masih proses pemeriksaan. Kami akan memanggil pihak wali atau orang tua anak tersebut dalam pendampingan pemeriksaan. Dugaan awal masih kami dalami, apakah ada doktrin yang salah [intoleransi dari sekolah]. Masih kami periksa, kami dalami sampai tuntas. Jumlah pelaku 10 orang dari tempat belajar yang sama,” ujar Kapolsek Pasar Kliwon Iptu Ahmad Ridwan Prevoost kepada Solopos.

Insiden juga membuat Wali Kota Solo Gibran Rakabuming mencak-mencak. Seturut polisi, ia juga menduga ada unsur SARA dalam motif perusakan, sembari menegaskan akan menutup sekolah para pelaku apabila dugaan itu terbukti. Apalagi, lembaga belajar tersebut dilaporkan tidak memiliki izin.

“Yang merusak makam dinilai sudah keterlaluan. Apalagi melibatkan anak-anak, nanti segera diproses sesuai hukum yang berlaku. Lembaga dan pengasuhnya sudah tidak benar. Segera ditutup saja operasionalnya. Anak-anaknya yang tidak benar nanti akan dilakukan pembinaan,” ujar Gibran dilansir Antaranews.

Di satu sisi proses hukum berjalan. Di sisi lain, Margono, Lurah Mojo, menyebut vandalism ini sudah diselesaikan secara kekeluargaan usai ortu pelaku dan sekolah berjanji memperbaiki makam yang dirusak. 

Iklan

“Anak-anak itu paling tua usia 12 tahun. Sekolah dan orang tua mereka sudah menyanggupi melakukan perbaikan makam yang dirusak. Kami tidak akan melanjutkan kasus ini lebih jauh karena pelaku masih anak-anak. Berhubung ada intoleransi di dalam kasus ini, perusakan yang mengakibatkan 12 makam dari Nasrani, sekarang sudah masuk ke ranah kepolisian” kata Margono kepada VOA Indonesia.

Kasus ini bukan yang pertama kali di wilayah Pasar Kliwon. Pada Agustus tahun lalu, sekelompok pemuda menyerang acara keluarga yang dituding menjalankan ritual Syiah. Kapolresta Solo saat itu, Kombes Ade Safri Simanjuntak, mengatakan memang ada sejumlah daerah yang terindikasi sebagai kantong kelompok intoleran di wilayah Mojo, Sangkrah, Gandekan, dan sekitar Kota Solo.

“Kami menerima banyak laporan dari masyarakat bahwa daerah ini, sering dijadikan tempat berkumpulnya kelompok-kelompok yang kerap meresahkan masyarakat. Tidak ada ruang bagi kelompok intoleran di wilayah Surakarta,” kata Ade kepada CNN Indonesia.

Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan kasus perusakan makam oleh remaja merupakan bukti masuknya narasi ekstremisme di kalangan usia muda, “Kelompok-kelompok konservatif menyasar anak-anak. Jika hal ini dibiarkan, maka dalam jangka panjang, ancaman terhadap kehidupan damai dalam keberagaman akan meningkat,” kata Halili kepada VICE. “Setara Institute mendesak pemerintah daerah memberi perhatian serius terhadap penetrasi kelompok konservatif ke lembaga pendidikan, mengingat otonomi daerah telah mendesentralisasi urusan pendidikan, khususnya tingkat dasar dan menengah, kepada pemerintah daerah.”

Halili mengapresiasi ketegasan Walikota dan Forkopimda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) Solo dalam menanggapi insiden. Namun, ia menganggap itu saja belum cukup. “Dibutuhkan langkah yang lebih komprehensif dengan memetakan dan menangani secara presisi diseminasi narasi intoleransi dan radikalisasi melalui lembaga pendidikan. Setara Institute juga mendesak pemerintah pusat untuk tidak mengabaikan masuknya gerakan-gerakan tersebut,” tutup Halili.

Iklan

Kasus penyerangan makam yang berkaitan dengan isu intoleransi juga pernah terjadi di Magelang, Jawa Tengah, pada 2019. Sebanyak sebelas makam umat kristiani di TPU Giriloyo dihancurkan salibnya dan dicopot ubinnya. “Jumlahnya cukup banyak, ada belasan. Nisan yang rusak memang bentuknya salib. Ada yang dicabut dan ada yang rusak seperti dipecah. Belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Mulyono, penjaga makam, kepada Merdeka.

Namun berbeda dengan kasus Solo, Kapolres Magelang AKBP Kristanto Yoga Darmawan saat itu menolak mengaitkannya dengan gejala intoleransi sebab pada waktu berdekatan, dua TPU lain juga diserang, yakni TPU Kiringan dan TPU Malangan. Dari 21 makam yang dirusak, ada tiga makam umat muslim.

“Dari 21 makam yang dirusak ini, 18 memang makam umat kristiani, yang tiga itu muslim. Atas dasar inilah akhirnya Pemkot Magelang, Polres Kota Magelang, dan seluruh elemen masyarakat, kami berkomitmen untuk tidak menjadikan ini sebagai suatu masalah berkaitan dengan sentimen agama atau permasalahan SARA,” ujar Kristanto kepada BBC Indonesia.

Masih bertetangga dengan Solo dan Magelang, di Jogja pada akhir 2018 juga muncul kasus perusakan makam kristiani. Kala itu warga Purbayan, Kecamatan Kotagede, memotong nisan salib sebuah makam di TPU Jambon, tidak jauh dari rumah almarhum. Alasannya, mayoritas warga kampung yang muslim tidak setuju almarhum yang dimakamkam di sana, meskipun TPU tersebut bukan pemakaman khusus agama. 

Padahal sebelumnya keluarga mendiang sudah mencapai kata sepakat dengan sesepuh kampung bahwa almarhum bisa dikebumikan di TPU Jambon. Namun, saat hendak dikebumikan, muncul reaksi warga yang menolak mendiang ditempatkan di tengah-tengah makam. Keluarga menuruti dengan memindah liang ke pinggir. 

Setelah dituruti, warga kembali minta keluarga jenazah tidak memanjatkan doa-doa sejak pemberangkatan jenazah sampai proses pemakaman selesai. “Oke, tidak masalah. Keluarga juga sepakati itu. Proses pemakaman berjalan, sampai akhirnya saya mendengar kalau saat salib ditancapkan ke pusara, ada warga yang memotong salib dengan cara digergaji,” ujar Humas Gereja Santo Paulus Pringgolayan Albertus Sunarto yang juga panitia pemakaman, dilansir Liputan6.