FYI.

This story is over 5 years old.

Thailand

Jajanan Pinggir Jalan Bangkok Yang Ikonik Terancam Hilang

Kerjasama pemerintah setempat dan pengembang real estate mengancam eksistensi lapak kaki lima yang kesohor di kawasan Asia Tenggara itu.
Foto via akun Flickr J Aaron Farr.

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES.

Berkat kegigihan para pengembang mengganti pusat jajanan dengan kondominium baru serta gagasan pemerintah Thailand memastikan trotoar Ibu Kota tetap kinclong, kios-kios jajanan pinggir jalan khas Bangkok—yang sangat dicintai baik pelancong atau penduduk setempat— mulai tergusur. Padahal warung kaki lima yang melimpah mulai masuk paket wisata kota bagi turis asing yang ditawarkan pemerintah Negeri Gajah Putih. Kasus terbaru terjadi bulan lalu, ketika Pemerintah Kota Bangkok mengumumkan kios-kios di Thonglor, Ekkamai, dan Phrakanong akan ditutup 17 April mendatang.

Iklan

Sejak kudeta militer 2014, penggusuran kios makanan jalanan dan program untuk membersihkan trotoar telah menjadi salah satu gagasan yang getol digarap pemerintah junta militer Thailand. Tujuan awalnya sih bagus. Untuk memberikan ruang bagi pejalan kaki dan mobil serta mengurangi sampah di ruang publik. Efek kebijakan ini langsung terlihat di semua penjuru kota. Salah satunya adalah trotoar dekat mal Siam Center yang kini lebih lega—tentunya dengan mengeyahkan pasar malam yang kerap menjual kebutuhan sandang yang dulu ada di tempat ini—dan area di sepanjang Siloam Road dekat Pat Pong yang terkenal itu. Di banyak titik, tenda-tenda tempat tessakij—inspektor kota yang memastikan kebersihan trotoar dan menjaga agar pedagang tak kembali jualan—mudah ditemui di sekitar trotoar.

Gentrifikasi memainkan peranan besar dalam hilangnya kios makanan dan minuman jalanan. Kawasan makanan jalanan Soi 38 pernah berdiri di sebuah lahan yang telah dijual pada sebuah perusahaan pegembang 2015 lalu bakal tutup berbarengan dengan pasar malam kesohor On Nut. Kedua lokasi ini beralih rupa menjadi kondominium baru. Yang terbaru, Cheap Charlie, bar jalanan berusia 35 tahun dan tempat ikonik di Soi 11 ditutup 31 Maret lalu gara-gara lahan yang ditempatinya bakal dibangun jadi perumahan dan apartemen. Meski beberapa pedagang dari Soi 38 dan On Nut bisa tetap menjajakan dagangannya dekat lokasi lama, sebagian pemilik tenda kaki lima tidak semujur itu. Beberapa korban gusuran harus angkat kaki jauh dari lokasi awal mereka. Kehilangan langganan? Sudah pasti.

Iklan

Foto dari akun Flickr drburtoni

"Saya sedang mencari toko di sekitar sini yang bisa saya sewa, tapi kayaknya sewanya bakal mahal," ujar seorang penjaja mi di Sukhumvit Soi 71 (Phrakanong) saat kami ngobrol tentang penutupan tempatnya berjualan 17 April nanti. "Saya harus pindah, entah kemana." Mencari lokasi toko baru dan pada akhirnya pelanggan baru tak semudah membalik telapak tangan. Ini yang bikin Mr. Kriang, seorang pedagang buah-buahan, bertanya-tanya "kawasan ini sudah jadi bagian dari hidup saya, terus kami harus bagaimana?"

Selain menjadi penyedia makanan khas Thailand yang super lezat yang membuat Bangkok terkenal di kalangan pelancong dan penulis perjalanan, kios-kios ini juga punya fungsi spesifik bagi penduduk setempat. Di sebuah negara yang upah minimumnya berkisar antara 300 dan 310 baht perhari (setara Rp115.000 hingga Rp120.000), warung kaki lima menjadi surga bagi pemburu makanan murah. Bulan lalu, CNN kembali menempatkan jajanan jalanan di Bangkok sebagai jajanan terbaik di muka Bumi dua tahun berturut-turut.

Di Bangkok, makanan jalanan biasanya dipatok dengan harga antara 40 sampai 60 Baht (Rp15 ribu–Rp20 ribu), sedangkan kudapan dijual dengan harga 10 baht (Rp3 ribuan). Tak ayal, makan di luar selalu lebih murah daripada memasak sendiri. Seperti yang dijelaskan oleh salah satu penjual sontam di Soi pada saya, kios-kios makanan ini "sangat penting bagi penduduk Bangkok—kami menyediakan makanan murah untuk penduduk di sekitar sini, tukang ojek dan pekerja kantoran. Mereka semua makan di kios saya."

Beberapa pelanggan tetap yakin kios-kios ini bakal dibiarkan buka di trotoar. Sementara yang lainnya mengaku bakal susah mendapatkan alternatif panganan murah, terutama di daerah elit Bangkok macam Sukhumvit Road. "Setelah kios-kios ini hilang, engga ada tempat makan murah lagi di dekat kantorku," ujar salah satu pekerja bersama penduduk setempat pada saya ketika ditanya tentang perkembangan jajanan jalanan beberapa tahun ini. "Semua kios langgananku di jalan ini sudah lenyap."

Beberapa tahun ini, rencana penggusuran kios makanan jalanan terdengar di beberapa wilayah. Sayangnya, keputusan itu tak pernah dikomunikasikan dengan baik dan konsisten. Desember lalu, aparat memberitahu para pedagangan di kawasan Ari bahwa mereka bakal digusur awal Maret ini. Hanya enam hari sebelum keputusan itu dilaksanakan, Pemerintah Bangkok menganulir keputusannya. Saat ini, para pedagang di daerah itu masih menjajakan makanan lezat di Ari, tapi kita tak tahu entah sampai kapan. "Saya bahkan tak tahu kami tak boleh berjualan lagi di trotoar di setelah tanggal 17 April," ujar Pak Kriang, yang tidak yakin ke mana dia bisa pindah. Penjual somtam mendengar kabar dari penjual prad krapow di ujung jalan; perempuan yang berjualan mie berkata bahwa petugas kota mengabarkannya soal penggusurah dua minggu lalu. Sebagian besar penduduk kota baru mengetahui kabar ini setelah diberitakan di BK Magazine, dan memantik perdebatan online tentang manfaat dan kekurangan makanan kaki lima, sementara artikel ini disebar di Facebook.

Meski beberapa orang gembira bahwa pemerintah akhirnya memerhatikan urusan kebersihan makanan kaki lima, dan menyediakan ruang lebih untuk pejalan kaki, banyak warga Thailand dan ekspat lainnya khawatir soal masa depan orang-orang yang mencari nafkah dari berjualan di kaki lima, dan orang-orang yang mengandalkan jualan mereka, dan peran warung kaki lima dalam budaya kota dan daya tarik wisatawan.

Online, orang-orang berspekulasi apakah Bangkok sedang mencoba agar lebih mirip dengan Singapura, yang mengusir warung-warung kaki lima dan mengkonsolidasi warung kaki lima di dalam pusat jajanan. Masih belum jelas bagaimana ini akan behasil pada kota yang lebih besar dari Bangkok, dan di samping itu, sebagaimana dikatakan salah satu pengguna Facebook, "menggusur bisnis jalanan artinya mencabut jantung kota Bangkok."