FYI.

This story is over 5 years old.

Dunia Pendidikan

Jangan Buru-Buru Menganggap Pelajar Indonesia Masa Kini Lebih Kurang Ajar Sama Guru

Pengamat dan guru menilai video viral tindakan tak sopan pelajar terhadap guru adalah puncak gunung es dari persoalan sistem pendidikan nasional.
Ilustrasi pelajar Indonesia yang dianggap tak lagi menghormati guru
Ilustrasi pelajar sekolah di Indonesia dari foto Enny Nurahaeni/Reuters

Di media sosial, kita mulai sering menemui komentar macam ini: "anak-anak zaman sekarang memang makin kurang ajar." Terutama ketika muncul pemberitaan viralnya video tindakan kurang ajar pelajar terhadap guru, seperti yang terjadi di SMP PGRI Wringinanom, Gresik, pekan lalu.

Dalam video yang viral tersebut, guru honorer bernama Nur Khalim memergoki beberapa pelajar usia belasan itu hendak membolos. Setelah ditegur dan diminta kembali ke kelas, ada satu pelajar yang emosi. Siswa tadi merokok di dalam kelas dan menantangnya berkelahi. Tindakan pelajar dalam video tersebut jelas sulit dibenarkan. Perhatian publik lantas beralih mengapresiasi kesabaran Khalim, yang statusnya hanya guru honorer, yang mampu menahan diri untuk tidak merespons balik provokasi si pelajar.

Iklan

Setelah polsek setempat terlibat mediasi, si pelajar itu minta maaf terbuka. Namun banyak netizen merasa tidak puas, dan menganggap harusnya guru di masa sekarang diizinkan untuk mendidik pelajar lebih keras, termasuk menggunakan kekerasan fisik.

Perdebatan mengemuka di media sosial. Seperti apa sih hubungan guru-murid yang ideal? Benarkah pendidikan di Indonesia sudah menyimpang dari tradisi bahwa guru harus selalu dihormati, dan murid wajib menuruti kata-kata mereka?

Debat makin memanas setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy meminta para guru introspeksi diri. Dia menilai, pelajar di Gresik yang berulah tidak sepatutnya dihukum lebih keras, melainkan dididik agar menjadi manusia yang lebih baik.

"Kejadian [di Gresik] biasa, bukan saya bilang itu dibolehkan. Itu suatu pelanggaran berat iya," ujar Muhadjir kepada media. "Justru pendidikan harus segera melakukan proses pemulihan atau perbaikan mental anak seperti, itu justru tugas kita di sekolah bagaimana terjamin bahwa anak-anak yang memiliki perilaku khusus seperti itu harus ditangani dengan baik."

Komentar Mendikbud mengundang respons beragam dari netizen. Banyak media lantas menganggap tindakan kurang ajar pelajar terhadap guru sebagai "fenomena sosial", mengingat video viral seperti di Gresik sudah terjadi beberapa kali.

Pengamat pendidikan, Indra Charismiadji, menilai adanya beberapa video viral pelajar yang bersikap kurang ajar ke guru tidak menandakan terjadi "krisis moral" di kalangan pelajar. Menurutnya, masalah yang harus segera dibenahi Kemendikbud adalah kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang belum mengedepankan empati dan kesetaraan. Perbaikannya membutuhkan kerja sama sekolah dan orang tua, mustahil tuntas dalam semalam.

Iklan

"Dengan kualitas pendidikan yang kita miliki ya sangat wajar [terjadi kasus kekerasan pelajar terhadap guru]," kata Indra saat dihubungi VICE. "Intelejensi pelajar rendah, tidak memiliki etika, tidak memiliki rasa empati. Itu bentuk dari kualitas pendidikan kita yang rendah. Harusnya kita enggak kaget dengan hasil yang seperti itu."

Menurut Indra, mutu pendidikan Indonesia masih konsisten di peringkat bawah saat dibandingkan negara lain. Menurut laporan Program for International Student Assesment (PISA) pada 2015, kemampuan akademik pelajar Indonesia ada di posisi 62 dari 72 negara yang diteliti. Itu pun terhitung 'membaik', karena peringkatnya naik dari data sebelumnya pada 2013.

Indra menegaskan, untuk mengejar ketertinggalan akademik, masyarakat tidak bisa serta merta menyalahkan pelajar saat merespons kasus yang viral seperti di Gresik. Apalagi membangun asumsi anak zaman sekarang tak lagi hormat pada guru. Jika mengacu pada negara yang kualitas pendidikannya jauh lebih baik, hubungan guru-murid malah setara. Guru terbuka pada kemungkinan dikoreksi, dan murid bebas mengungkapkan pendapatnya. Ketika tercipta situasi setara dan saling menghormati itulah, baru kita bisa berharap mutu pembelajaran meningkat.

"Level menghargainya tentunya dalam konteks menghargai sesama manusia, bukan berarti menghargai orang yang lebih tua dalam konteks buta yaitu harus nurut dan patuh pada apapun perintah mereka," kata Indra.

Iklan

Edi Sutopo, guru Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Grobogan yang sudah mengajar belasan tahun, menyebut video di Gresik tidak perlu direspons dengan melulu menggeneralisasir sifat pelajar.

Dia tidak sepakat dengan stereotipe bahwa anak zaman sekarang lebih kurang ajar.

"Barangkali [tindakan pelajar di Gresik] merupakan ekspresi dari kejenuhan di dalam ruang kelas maupun sekolah tersebut. Lagi-lagi memang ada gap antara generasi guru zaman dulu dengan anak-anak zaman sekarang," kata Edi. "Gap itu belum terjembatani, istilahnya guru belum mau masuk ke bahasanya siswa. Sehingga guru tergagap-gagap dengan ekspresi siswa yang agak berbeda dengan generasinya."

Asumsi bahwa pelajar yang takut pada guru akan berdampak lebih baik bagi mutu pendidikan, menurut Indra, berasal dari pola pikir moralistik yang tidak berpijak pada realitas. Di era keterbukaan teknologi dan informasi ini, sumber pengetahuan bukan hanya guru dan siapapun yang berusia lebih tua. Dia menilai definisi pelajar “kurang ajar” justru melekat pada siswa yang hanya mau menurut tanpa bisa mengkritik dan mengetahui hak-hak individualnya.

"Dulu informasi sangat terbatas, tentu saja yang punya informasi ya orang yang lahir lebih dulu daripada kita. Itulah kenapa orang dulu sangat patuh dan sangat takut pada orang yang lebih tua," ujar Indra. "Sekarang anak-anak muda bahkan sudah banyak tahu sesuatu yang lebih baru, itulah mengapa dianggap respek mereka hilang."

Masyarakat, menurut Indra, lebih baik mulai mendukung upaya perbaikan kemendikbud dengan menyiapkan anak-anaknya memiliki mentalitas baru saat belajar di sekolah formal. Sekadar menuntut pelajar terus patuh pada guru bagi Indra bukan solusi terbaik. "Sekarang modelnya pendidikan kolaborasi, ini bentuk sosial masyarakat yang sangat berbeda."