Berbeda dari keyakinan banyak orang, feminisme bukan sekedar gagasan impor dari negara Barat. Ada banyak sekali gerakan perempuan yang lahir di Tanah Air berdasarkan kearifan lokal, bahkan sejak era kolonial Hindia Belanda. Tak heran bila satu dekade terakhir, makin banyak muncul kelompok ataupun kolektif yang memperjuangkan kesetaraan gender dan melawan patriarki negara ini. Perjuangan ini didukung baik oleh perempuan maupun laki-laki.
Ika Vantiani, anggota dari salah satu kelompok feminis Indonesia, Kolektif Betina, bisa dibilang salah satu penulis zine perempuan pertama di Indonesia yang menuangkan pikirannya lewan tulisan sejak awal dekade 2000’an.
Videos by VICE
Salah satu anggota Kolektif Betina, Sri Taarna membantu mendirikan Unrest Collective pada 2011. Unrest berperan sebagai kolektif media yang memberikan suara kepada kaum-kaum marginal. Dia menulis zine berbahasa Indonesia pertamanya, “Punk Bukan Criminal”, ketika banyak anak punk Aceh ditangkap dan dimasukkan ke penjara.
Sekarang, Taarna bersama kolektifnya menjalankan perpustakaan zine kecil di Yogya. Perpus itu merupakan ruang bagi siapapun untuk membaca-baca lebih dari 300 zine yang mencakup bermacam-macam topik. Mulai dari feminisme, musik, kesehatan mental dan masih banyak lagi.
Taarna meyakini zine dapat menawarkan kultur Do-It-Yourself (DIY) yang unik dan memberdayakan penciptanya, entah anda penulis profesional atau bukan. “Kadang orang terintimidasi ketika hendak membuat zine pertama, mereka pikir zine hanya bisa dibuat oleh seniman atau penulis profesional, tapi sebetulnya bikin zine gampang banget,” ujar Taarna kepada VICE. “Tidak ada aturan! Kamu bisa menulis apapun tentang apapun yang kamu mau.”
Sri Taarna adalah salah satu pembicara di FemFest 2017 dan dia akan mengadakan workshop zine di event tersebut. Kami ngobrol bareng Taarna seputar asal usul perkenalannya dengan dunia zine, keterlibatannya dengan kancah underground Indonesia, dan representasi perempuan di media tanah air saat ini.
VICE Indonesia: Kapan kamu pertama kali mengenal Feminisme, dan gimana keadaanmu saat itu?
Sri Taarna: Kayaknya saya berusia 13 atau 14 tahun, pertama kali kenal lewat gerakan Riot Grrl. Saya dulu anak punk di era pertengahan 90an, dan ini berdampak pada banyak peremuan di komunitas saya. Band-band seperti Bikini Kill adalah pengaruh besar. Saya tumbuh besar dalam komunitas punk yang didominasi laki-laki, meski banyak perempuan di situ punya teman akrab masing-masing, kalau pas ada acara band pasti kita saling menjaga. Saat itu rasanya seperti kita tak selalu memiliki suara. Saat itu juga merupakan perkenalan saya dengan zine. Mulanya, itu adalah fanzine punk, tapi kemudian saya baca-baca zine soal Feminisme, juga personal zine, komik, dan semuanya deh.
Sewaktu pertama kali buat zine di AS tentang apa?
Zine pertama saya personal, ya ada sisi feminisnya, dan saya buat itu pas remaja. Saya rasa saya mau mengeksplor bagaimana saya menetapkan Feminisme untuk saya. Saya selalu senang menulis, jadi bikin zine adalah pengalaman yang gamblang buat saya. Zine itu punya segala elemen yang saya sukai, DIY, dan kebebasan untu ngomongin apapun yang saya mau. Topik-topik yang saya tulis waktu itu enggak terlalu berbeda dengan yang saya tulis sekarang.
Kenapa kamu memutuskan untuk pindah ke Indonesia? Kamu selama ini tinggal di Yogya ya?
Saya pindah ke Indonesia adalah sebuah kecelakaan. Saya waktu itu tinggal di Thailand dan ke sini buat jalan-jalan sama temen-temen dari Amerika. Saya bertemu dengan komunitas lokal punk, aktivis, dan feminis dan kita langsung nyambung aja gitu, beda dengan pengalaman saya di Thailand. Saya awalnya pindah ke Bandung, dan beberapa kali ke Jakarta. Saya menetap di Jogja sekitar empat tahun lalu. Saya pindah ke Jogja sebagian besarnya karena proyek zine yang saya kerjakan dengan aktivis petani Kulon Progo. Saya udah sering ke Jogja dan rasanya itu tempat yang pas untuk memulai ruang kolektif dan berpartisipasi di komunitas lokal.
Kamu mulai nulis zine langsung setelah pindah ke sini? Zine kamu menyasar pembaca Indonesia atau global?
Zine pertama saya di Indonesia adalah “Punk Bukan Criminal” di awal 2012. Itu zine yang saya dedikasikan untuk punk di Aceh yang dipenjara pada Desember 2011. Ada banyak banget dukungan dan protes dari punk di seluruh dunia, dan saya ingin mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian, bahwa banyak banget orang peduli soal apa yang terjadi dengan mereka. Zine kedua saya adalah untuk warga sini belajar Bahasa Inggris, dan orang asing belajar Bahasa Indonesia. Saya mencoba memastikan semua yang saya tulis bersifat inklusif bagi warga Indonesia. Enggak masuk akal rasanya, kalau saya membuat media yang tidak mencakup orang-orang di sekitar saya. Zine pertama yang saya tulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dan saya langsung ngeh nanti kalau orang Indonesia membacanya dan ngelihat tulisannya pakai Bahasa Inggris, atau sebaliknya, mereka bakal berhenti baca. Jadi sekarang saya membuat semua zine saya dua kali, satu dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Formatnya sama, kontennya sama, bahasanya aja beda.
Kamu merasa aneh enggak, menjadi pendatang yang mempromosikan paham ini kepada masyarakat yang relatif konservatif dan sangat berbeda dari masyarakat AS?
Paham apa? Feminisme? Budaya zine? Semua hal ini memiliki sejarah panjang dan kaya di Indonesia. Saya jelas-jelas bukan yang mengenalkan paham tersebut di sini. Meski budayanya berbeda, ketertarikan untuk membuat buku sendiri soal apapun ada di mana-mana. Sebagain besar teman saya yang lokal menganggap dirinya feminis dan itu adalah hal yang sesuai dengan perilakunya, aktivismenya, keseniannya, dan kesehariannya. Saya mencoba memeriksa bias-bias Barat saya dan tidak memiliki peran menjajah di komunitas saya.
Seberapa efektif mempromosikan Feminisme lewat zine dibandingkan dengan media masa yang memiliki jangkauan lebih luas?
Saya rasa itu tergantung siapa yang mau kita jangkau. Bitch magazine, misalnya, dari AS, bermula sebagai zine dan sekarang menjadi majalah feminis yang disegani. Mudah memang menaruh hal-hal ke blog atau media sosial, (yang bisa jadi cara kuat untuk berkomunikasi) tapi saya rasa orang-orang masih mengapresiasi zine. Mereka telah bertahan di lingkaran punk dan aktivis, dan juga menarik bagi crafter dan seniman. Tipe orang yang membuat zine sekarang amat beragam, yang merupakan bagian dari apa yang menjadikan komunitas ini menyenangkan. Saya rasa ketika media massa membahas suatu hal; hal itu bisa terdistrosi atau diinterpretasikan keliru. Zine adalah medium di mana seseorang atau komunitas yang kamu ingin kenali, bisa berkomunikasi secara langsung. Tulisan di zine ya adalah suara mereka. Ini adalah bentuk media yang tersedia bagi hampir semua orang, terutama karena harganya bisa dijangkau. Fotokopi hitam-putih murah, dan kita enggak selalu butuh akses ke komputer. Bisa ditulis dengan tangan dan digambar-gambar pula.
Apa pendapatmu soal representasi perempuan di media Indonesia?
Saya cuma bisa menyampaikan pendapat pribadi. Saya percaya ini berkembang. Saya rasa perempuan-perempuan bertekad untuk membuat suara mereka didengar dan ada banyak platform untuk melakukan hal itu. Saya mengenal perempuan-perempuan lokal yang menjalankan majalah online didedikasikan untuk Feminisme, ada yang bikin podcast, nulis artikel, mengelola kolektif, menciptakan kampanye media sosial untuk menyorot ketidakadilan terhadap perempuan, dan yang memprotes, dan yang aktif di komunitas lokal mereka. Meski media mainstream masih menggambarkan perempuan dalam cara-cara negatif atau dengan stereotipe, perempuan bertekad berargumen. Masalah misrepresentasi perempuan di media adalah masalah global, dan saya tertarik untuk melihat banyak perempuan Indonesia memperjuangkan perubahan atas persepsi tersebut.
Kamu adalah salah satu penggagas Unrest Collective. Ceritain lebih lanjut dong, soal proyek itu…
Unrest Collective dimulai di Bandung, dengan zine pertama saya. Saya jarang menerbitkan hal-hal dengan nama sendiri. Tidak selalu menjadi hal penting bagi saya untuk mendapatkan kredit untuk tulisan saya, terutama kalau saya fokus untuk menyorot suara lokal. Kami ingin menciptakan nama untuk tulisan-tulisan. Konsepnya adalah untuk menciptakan kolektif media untuk menyebarluaskan informasi secara umum. Kami sedang mengerjakan perpustakaan zine kecil di Jogja di mana orang bisa membaca-baca lebih dari 300 zine, dengan topik beragam, dari Feminisme hingga musik, hingga kesehatan mental dan lain-lain. Kami punya zine-zine dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, dan beberapa kawan yang turut berdonasi dari bahasa Jerman, Perancis, dan Tagalog. Tujuan utama kami adalah mendistribusi dan membuat zine. Ini adalah premis yang sederhana, namun kita sangat percaya bahwa akses terhadap informasi seharusnya gratis dan sebuah kegiatan komunitas.
Kamu mengisi FemFest. Apa yang kamu bahas dan apa harapanmu bagi hadirin?
Saya mengadakan workshop zine bersama teman saya Ika Vantiani. Tujuan saya dengan workshop ini adalah, setelah usai orang-orang bisa mempunyai hasil nyata, sebuah zine yang dapat dibawa pulang, supaya mereka senang telah berkontribusi terhadap sesuatu, kesadaran bahwa zine adalah untuk semua orang. Saya rasa terkadang orang-orang merasa ragu untuk membuat zine pertama mereka, mereka pikir harus menjadi penulis profesional dulu, atau seniman, padahal membuatnya mudah banget, dan ini adalah zine. Enggak ada aturannya! Kita bisa membuat apapun yang kita mau tentang apapun. Harapan saya adalah orang-orang memandang zine sebagai ruang egaliter di mana suara mereka berhak didengar terlepas dari gender, identifikasi seksual, tingkatan pendidikan, dan latar belakang kreatif atau kelas mereka. Sampai nanti semuanya gratis, tetap semangat!
Artikel ini merupakan kolaborasi VICE bersama Feminist Fest. Acara ini digelar pada 26-27 Agustus 2017, berlokasi di SMA 1 PSKD, Salemba, Jakarta Pusat. Festival ini akan menggali lagi nilai penting feminisme di Indonesia untuk Abad 21. Sesi-sesi FemFest termasuk panel pleno, diskusi kelompok kecil, lokakarya, dan kelas mengenai berbagai tema: mulai dari kekerasan terhadap perempuan, identitas gender, hingga ekofeminisme. Simak jadwal lengkap acaranya melalui tautan berikut.