Dunia Cosplay Indonesia Tak Aman dari Kasus Pelecehan Seksual
ilustrasi: Dini Lestari

FYI.

This story is over 5 years old.

Kekerasan Seksual

Dunia Cosplay Indonesia Tak Aman dari Kasus Pelecehan Seksual

Kami ngobrol-ngobrol dengan para cosplayer membicarakan pengalaman mereka menghadapi pelecehan seksual di dunia nyata maupun maya.

Beberapa minggu yang lalu, cosplayer asal Malaysia bernama Kino Mikii mengalami pelecehan seksual via direct message Instagram. Seorang pria yang mengaku sebagai seorang fotografer bernama Michael Alex dari Singapura pertama-tama mengajaknya melakukan sesi pemotretan, tapi lama-lama ajakan foto-foto itu berubah jadi ajakan tidur bareng. Loh? Di dunia cosplay, kasus-kasus seperti ini nggak berhenti di dunia maya. Di tahun 2014, sebanyak 17.000 orang yang datang ke San Diego Comic-Con mengalami pelecehan seksual dalam bentuk verbal, sedangkan lebih dari 10.000 orang mengalami pelecehan seksual fisik. Bagaimana dengan di Indonesia?

Iklan

Pinky Lu Xun via instagram Pinky Lu Xun, seorang cosplayer perempuan asal Indonesia yang kini bermukim di Australia, pernah mengalami pelecehan seksual di sebuah acara. Untungnya saat itu pelaku sudah ditindak tegas oleh penyelenggara acara. Menurut pengalamannya, Pinky jauh lebih banyak mengalami pelecehan di dunia maya. “Biasanya para pelaku adalah orang-orang yang merasa aman berlindung dibalik ID online mereka, jadi mereka merasa bebas melakukan pelecehan,” kata Pinky yang sudah berkecimpung di dunia cosplay sejak 2004 itu.Lain halnya dengan Pinky, cosplayer-cosplayer perempuan yang lebih sering cosplay karakter laki-laki (umum disebut crossplay) lebih jarang mengalami pelecehan seksual. “Pas aku cosplay cewek, langsung kerasa beda aja sih perlakuannya, yang minta foto bareng biasanya cowok,” kata Aphin, salah satu cosplayer lokal yang sering crossplay. Menanggapi kasus pelecehan di convention, Aphin menekankan pentingnya minta izin kepada cosplayer. “Keliatan banget kalo kadang-kadang orang ngerasa cosplay itu bukan hobi. Banyak yang ngira, ‘Oh, berarti bebas dong foto-foto.’ Kadang orang suka lupa batasannya di mana, apalagi kalo sama cewek-cewek lucu.” Nggak cuma perempuan yang merasa bahwa perlakuan orang-orang terhadap perempuan dan laki-laki berbeda. Alf, seorang fotografer cosplay yang sekarang berdomisili di Amerika, memulai karirnya sebagai cosplayer di tahun 2005. Selain keinginan membuktikan cosplay sebagai sebuah bentuk seni di Jakarta, Alf beralih menjadi fotografer karena sebagai cosplayer laki-laki dia merasa kalau “fotografer cowok cuma mau foto sama cosplayer yang 'bening' aja.” Beberapa penyelenggara acara di Amerika sudah mengambil tindakan untuk mengatasi masalah ini. Comic-Con, misalnya, mencoba menciptakan ruang lebih aman untuk para pengunjung dengan Anti-Harassment Policy mereka. Dengan peraturan-peraturan spesifik yang juga mencakup pelecehan berbasis agama, ras, dan identitas seksual, tentunya tindakan yang dapat diambil penyelenggara acara dan pihak berwajib terhadap pelaku juga lebih jelas. Begitu juga dengan hukum tentang pelecehan seksual di dunia maya, terutama yang berhubungan dengan mereka yang masih di bawah umur. Sayangnya, hukum di Indonesia belum terlalu ketat. “Di Indonesia masih banyak jalan keluar buat pelaku, dan korbannya nggak punya banyak pilihan. Tiap kali gue mendorong temen gue di Indonesia untuk lapor, mereka lebih sering bilang males dan nggak mau besar-besarin,” kata Alf. Pelecehan di dunia maya biasanya diatasi para cosplayer dengan menekan tombol block. Tapi di dunia nyata, ngelaporin pelecehan seringkali lebih ribet daripada diem aja. “Saya rasa perempuan ada di posisi lemah,” kata Pinky. “Jika melapor, kita tidak hanya malu, tapi keselamatan kita mungkin diancam pelaku. Bahkan kadang-kadang orang-orang di sekitar kita tidak memberi support, beberapa cenderung menyalahkan.” Kultur perkosaan yang masih lekat dengan masyarakat kita justru menaruh beban terhadap korban untuk melakukan tindakan preventif. Frea Mai, misalnya, selalu datang ke acara menggunakan kostum yang agak tertutup. “Udah tau ini di Indonesia dan eventnya rame, jangan terlalu pake kostum yang terbuka deh,” kata Frea. Seperti Frea, Pinky juga menghindari menggunakan kostum terbuka di tempat umum. Selain itu, Pinky bahkan belajar beberapa teknik bela diri seperti Krav Maga dan Jiu Jitsu, dan juga cara menggunakan senjata. Menurutnya hal ini penting untuk melindungi diri dalam keadaan darurat.
Lalu bagaimana dengan etika fotografer saat memotret cosplayer? “I try my best not to touch my subjects,” kata Alf. “Lagipula saat seorang fotografer nyentuh subjeknya untuk sebuah pose, dia secara nggak langsung ngubah subjek tersebut menjadi lifeless. Unless if that's the concept.” Sebagai cosplayer yang sering memerankan karakter seksi, Pinky merasa lebih nyaman bekerjasama dengan fotografer transgender dan gay untuk sesi pemotretan privat. “Mereka bisa membuat saya nyaman untuk totalitas berakting menjadi karakter tersebut,” katanya.

Iklan

Baca artikel VICE lain yang membahas tentang kostum dan cosplay

Beberapa orang lebih menekankan agar kesepakatan cosplayer dan fotografer diperjelas dan nggak dilanggar. “Kalo aku waktu itu pernah foto hampir bugil, tapi karena satu tim fotografer dan cosplayer udah sepakat kalo boleh diupload tetapi tidak ditag, dan kalo ada yang nanya nggak boleh dijawab,” kata Frea.

Terlepas dari ribetnya melakukan berbagai tindakan untuk melindungi diri, terjadinya pelecehan tidak mengubah attitude para cosplayer. Pinky tetap suka mencoba memerankan berbagai jenis karakter, dari yang seram, yang berbeda gender, sampai karakter seksi. “Pelecehan parah yang saya alami bukan ketika saya sedang berkostum seksi, tapi ketika saya masih berumur 11 tahun dan memakai seragam SMP,” kata Pinky. “Saya ingin mengingatkan bahwa pelecehan yang dilakukan dengan alasan apapun bisa mengubah hidup orang yang menjadi korban.” Menurut Pinky, pelecehan online lebih marak terjadi saat ini dibandingkan ketika ia mulai bertahun-tahun yang lalu, karena penggunaan media sosial terus meningkat dan komunitas cosplay di Indonesia semakin berkembang. Walaupun begitu, Pinky, Aphin dan Frea percaya bahwa kebanyakan orang-orang terdekat mereka di dunia cosplay akan tetap saling memberikan dukungan ketika terjadi pelecehan. “Menurutku sih, dengan adanya kemajuan teknologi saat ini, jangan takut buat ngomong dan mengutarakan pendapat. Pasti banyak yang dukung,” kata Aphin.

“Ini kan hobi kita semua. Kalo satu jelek, semua kena jadi jelek.”