FYI.

This story is over 5 years old.

Kesehatan Mental

Mahalnya Biaya Melawan Depresi dan Menjaga Kesehatan Mental di Indonesia

Seorang penderita gangguan kesehatan mental mesti siap mengeluarkan sedikitnya Rp1 juta per bulan untuk mendapatkan bantuan profesional. Hanya tersedia 1 psikiater untuk setiap 300 ribu penderita gangguan mental di Indonesia.
Pil Lexapro untuk mengatasi depresi. Foto ilustrasi oleh Tom Varco dari Wikimedia Commons lisensi 3.0

Menjadi seorang yang harus hidup dengan gangguan kesehatan mental tidaklah mudah. Harus berkali-kali keluar masuk ruang psikolog dan psikiater, rutin minum obat agar tidak kambuh, ditambah dengan risiko ketergantungan obat -bisa jadi seumur hidup- menjadi kelindan persoalan yang harus dihadapi pasien. “Bonus” masalah lain: besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk aneka penanganan dan perawatan, mulai dari biaya konsultasi hingga obat-obatan yang harganya ‘luar biasa’.

Iklan

Pakar kesehatan mental dr. R. Surya Widya, Sp.KJ melihat biaya terapi kesehatan mental -lengkap dengan pengobatannya- memakan biaya yang cukup besar. “Tidak murah. Untuk satu kali konsultasi minimal harganya Rp 200 ribu, sedangkan obatnya bisa seharga Rp 300 ribu,”. Senada dengan Surya, psikiater dr. Andri, Sp.KJ, FAPM turut menyebutkan rerata biaya yang dikenakan pada penderita untuk sekali konsultasi berdurasi 30 menit mencapai Rp 350 ribu.

“Tergantung dari rumah sakitnya. Rata-rata di sini bisa dikenakan biaya sekitar Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu per konsultasi,” katanya.

Ongkos mahal ini salah satunya karena terbatasnya tenaga medis bidang kejiwaan, kasus dan penanganan yang ‘unik’ antara satu pasien dengan yang lain, hingga proses observasi yang butuh waktu cukup panjang. “Proses observasinya kan tidak bisa cuma sekali datang. Perlu ada pertemuan kedua, ketiga, selanjutnya untuk kontrol kondisi dan tahu apa penyebabnya,” tambah Andri. Di Indonesia, kesehatan mental menjadi salah satu isu pelik, tapi tak mendapat banyak perhatian. Dalam data Riskesdas 2013, prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan sebesar 6 persen untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia, adalah 1,7 per 1.000 penduduk atau sekitar 400 ribu orang. Apalagi, generasi milenial saat ini ditengarai cenderung lebih rentan mengalami depresi dan kondisi kesehatan mental lainnya.

Iklan

Sayangnya, tingginya angka penderita gangguan kesehatan mental tidak dibarengi dengan jumlah tenaga medis dan fasilitas yang mengimbangi jumlah penderita. Human Rights Watch melansir, di Indonesia perbandingan jumlah psikiater dengan penderita gangguan mental diperkirakan 1 : 300.000-400.000. Tak hanya tentang jumlah tenaga medis, dari 48 rumah sakit jiwa, lebih dari separuhnya terbatas di 4 dari 34 provinsi.

Perawatan untuk gangguan kesehatan mental tidak hanya tentang konsultasi ke psikiater saja. Untuk penanganan gangguan kesehatan mental seperti depresi, cemas (anxiety), hingga scizophrenia membutuhkan terapi dengan dosis obat yang terus disesuaikan. Padahal, pengobatan bisa saja berlangsung tanpa putus selama 6 bulan hingga hitungan tahun jika memang gangguan sudah masuk ke level akut. Salah satu penderita gangguan kesehatan mental adalah Katyusha. Ia merasakan beban besar itu. Untuk menangani masalah depresi yang dihadapinya pada pertengahan 2016 hingga 2017, Katy rutin menjalani konsultasi dan pengobatan ke psikiater. Dalam satu bulan, ia setidaknya harus pergi konsultasi psikiater dan rutin mengonsumsi obat.

“Pertamanya ke psikiater untuk konsul sebulan sekali. Untuk sekali konsul, biasanya 30-60 menit, kira-kira Rp 350 ribu. Nah tiap konsul itu juga diresepin obat untuk sebulan, harganya Rp 800 ribu,” ujar Katy. Namun, ada kalanya Katy, nama panggilan Katyusha, tak bisa secara rutin pergi konsultasi dan kondisi kesehatan mentalnya kembali menurun. Hingga akhirnya, ia diimbau untuk menjalani konsultasi setidaknya sekali dalam dua minggu. “Jadi Rp 1.150.000 per bulan itu enggak pasti,” katanya.

Iklan

Hitungan itu baru angka minimumnya. Selama menjalani perawatan, Katy sempat mengalami ketidakcocokan dengan psikiater sebelumnya. Maka, ia harus melakukan terapi tambahan dengan psikolog. Untuk sekali konsultasi, Katy dikenakan tarif Rp 500 ribu per sesi. Lagi-lagi bujet yang harus disiapkan untuk serba-serbi perawatan kesehatan mentalnya kian membengkak. “Jujur kayaknya waktu itu gue malah makin banyak pikiran karena mahal banget.”

Perihal menjaga kesehatan, baik lahir maupun batin, memang kerap kali tidaklah murah. Biaya perawatan di rumah sakit yang besarannya bisa seharga cicilan rumah, ditambah dengan obat-obatan yang harganya bersaing dengan biaya rawat inap di rumah sakit bisa jadi terasa begitu membebani. Namun, tak berarti tak ada jalan untuk mendapatkan akses kesehatan mental dengan biaya yang lebih kecil.

Dinda Larasati, yang kini tengah bekerja sebagai peneliti, didiagnosis menderita schizoaffective disorder mixed type. Karenanya, ia harus rutin bertemu dengan psikiater dan mengonsumsi obat. Pada bulan pertama memeriksakan diri dan menjalani terapi, Dinda pernah mengeluarkan uang hingga Rp500 ribu untuk biaya berobat. Semakin lama biaya yang harus dikeluarkan semakin banyak.

“Gue banyak pake service pro bono dan BPJS. Obat gue yang sekarang sih gue yakin sebulan sampe Rp2,7 juta. Cuma gue pake BPJS jadi gratis semua,”

BPJS sendiri kini sudah menanggung biaya kesehatan mental. Kepala Departemen Informasi dan Komunikasi Antarlembaga BPJS Kesehatan Pusat, Irfan Humaidi, memastikan bahwa BPJS telah menjamin penderita kesehatan mental mendapatkan pelayanan medis sebaik-baiknya.

Iklan

“Selama ini yang masuk dalam sakit jiwa dan segala macamnya itu kami jamin juga. Jadi intinya selama sesuai dengan indikasi medis, sesuai prosedur, dan diagnosanya ada di Permenkes 59 tahun 2014,” kata Huaidi kepada media Tirto.

Kemudahan dan kemurahan yang didapatkan Dinda juga dirasakan oleh esais Arman Dhani. Di awal tahun ini, Dhani sempat mengalami depresi aku. Ia merasa tidak bisa berfungsi seperti manusia “normal”. Dhani menjadi sulit berinteraksi dengan orang lain dan kerap tidur dengan durasi yang terlampau panjang. Merasa kondisi dirinya sedang tidak baik, Dhani bergegas menuju ke sebuah organisasi nirlaba bernama Yayasan Pulih. Di sana, ia mendapatkan akses terhadap layanan konsultasi dengan biaya yang bisa disesuaikan dengan kantong pasien.

Awalnya saat masih bekerja, Dhani mampu membayar biaya konsultasi sebesar Rp 500 ribu. Namun, ia harus menjalani masa-masa tanpa pekerjaan dan pendapatan yang pasti. Di masa ini, Dhani hanya mampu membayar sebesar Rp 300 ribu. Kondisi ekonomi yang tengah menurun membuatnya harus menunda pengobatan. Dengan segala keadaan dan masalah yang ada, Yayasan Pulih dapat menyesuaikan tarifnya dengan kemampuan Dhani saat itu.

“Yayasan Pulih sangat membantu dengan donasi minimal mereka. Pernah saya ga punya uang sama sekali sampai harus pinjam ke pacar. Dan Pulih sangat membantu soal ini,” katanya.

Menjaga kesehatan fisik dan jiwa memang membutuhkan usaha ekstra, mulai dari disiplin diri hingga menyoal materi. Kerap tidak mudah, memang, jika mengingat ongkos konsultasi ke psikiater yang aduhai mahalnya. Namun, tidak ada salahnya untuk mulai rajin mengurus BPJS atau tidak enggan untuk mencoba layanan probono atau tarif bawah yang disediakan organisasi nirlaba semacam Yayasan Pulih. Niscaya, kesehatan mental terjaga, biaya pun dapat ditekan serendah-rendahnya.

*Pada 11 Mei 2018 pukul 11.45 redaksi meralat keterangan biaya bulanan yang dikeluarkan Dinda Larasati untuk membeli obat. Semula, menurut hitungan narasumber, biayanya Rp1 juta. Setelah dihitung-hitung lagi ternyata Rp2,7 juta.