Alat Deteksi Dini Tsunami Bukan Juru Selamat (Udah Gitu Rusak Semua Pula)

Gempa dan tsunami Aceh 2004 yang menewaskan 140 ribu orang di berbagai wilayah terdampak, menjadi titik balik sistem mitigasi bencana Indonesia. Setelah bertahun-tahun tidak mempersiapkan kebijakan memadai, baru 14 tahun lalu bangsa ini akhirnya sadar betapa besar risiko hidup di atas wilayah rawan bencana yang akrab disebut ‘Cincin Api’—berupa hantaman gelombang yang bisa mencapai 30 meter menyapu semua yang ada di daratan. Setahun setelah bencana besar Aceh, Indonesia akhirnya menempatkan 22 alat pendeteksi gelombang tsunami yang biasa disebut ‘buoy’ di laut lepas, bekerja sama dengan pendanaan pemerintah Jerman dan Malaysia.

Tragisnya, ke-22 buoy itu kandas lebih cepat dibanding gelombang besar berikutnya menghantam pesisir Tanah Air.

Videos by VICE

Sesudah gempa dan tsunami melanda Palu pada 28 September lalu, pemerintah mengakui mayoritas buoy pendeteksi tsunami tak lagi berfungsi. Merujuk pendataan Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sebagian buoy hilang dicuri, ada yang rusak karena mengalami vandalisme oleh nelayan yang memakainya sebagai jangkar, sebagian lainnya gagal berfungsi akibat tak dirawat secara memadai.

Lebih parahnya lagi, pemerintah, dalam hal ini mengaku belum bisa memprioritaskan pengadaan ulang alat pendeteksi tsunami yang dirancang ilmuwan dalam negeri bersama kolega akademisi Amerika Serikat, akibat keterbatasan anggaran. Pernyataan tersebut otomatis bagai menabur garam ke luka yang dirasakan penduduk Palu dan Donggala yang wilayahnya luluh lantak akibat terjangan tsunami menyusul gempa 7,4 magnitudo pekan lalu.

“Sejak 2012 enggak ada [Buoy] yang beroperasi, padahal dibutuhkan untuk peringatan dini. Bisa ditanyakan ke BMKG, mengapa 2012 sampai sekarang enggak diadakan, mungkin ya soal dana,” kata Sutopo Purwonugroho selaku Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dalam konferensi pers pekan lalu.

Sutopo bukan kali ini saja menyebut bahwa alat pendeteksi tsunami yang dipasang sejak 2005 itu tidak berfungsi. Saat gempa melanda Mentawai pada 2016 lalu, beberapa buoy yang terpasang di wilayah pesisir Mentawai tak satupun berfungsi. Padahal, Mentawai adalah salah satu pulau yang paling sering diguncang gempa besar sekaligus rutin terancam tsunami di Indonesia.

Laporan khusus Deutche Welle menyoroti satu bahaya paling nyata ketika buoy di laut lepas tidak beroperasi normal. Dampak langsungnya, BMKG akan membutuhkan waktu beberapa jam untuk mencabut peringatan tsunami yang terlanjur disebar ke masyarakat. Akibatnya kepanikan penduduk kawasan pesisir akan berlangsung lebih lama.

Lantas bila memang tidak buoy yang berfungsi, bagaimana cara pemerintah selama beberapa tahun terakhir mendeteksi ancaman tsunami?

Mantan Kepala BMKG, Andi Eka Sakya, menyebutkan selama ini peringatan tsunami dari BMKG mengacu pada standar operasi internasional. Indikasi awal dilihat dari skala gempa. Jika magnitudonya mencapai 6,9 dengan kedalaman pusat gempa dangkal kurang dari 70 kilometer, maka secara otomatis peringatan tsunami dikeluarkan di bagi para penduduk di pesisir sekitar. Peringatan akan lebih cepat disebar bila pusat gempa ada di “zona megathrust” (daerah rawan mengalami tumbukan lempeng benua).

Andi bilang, buoy adalah pelengkap dari deteksi yang didasarkan kalkulasi komputer ditunjang data dari sensor gempa di berbagai titik. Setelah terjadi gempa, harus ada detektor yang memperhatikan gerak gelombang laut di sekitar patahan gempa, baik itu vertikal maupun horizontal. Buoy berfungsi sebagai alat pendeteksi gelombang, makanya alat ini akan dipasangkan dengan tide gauge di pesisir yang dapat mendeteksi tinggi gelombang. (Tragisnya, dari 170 sensor yang dipunyai pemerintah, anggaran tahunan hanya cukup untuk merawat 70 unit saja).

Menurut Andi, adanya buoy tentu sangat membantu prediksi lebih akurat mengenai potensi tsunami yang terjadi. “Ada 46 persen panjang pesisir pantai Indonesia terletak di jalur megathrust. Belum lagi pesisir lain di zona subduksi lainnya,” ujarnya saat dihubungi VICE.


Tonton dokumenter VICE mendatangi kawasan Fukushima yang dihajar tsunami dan mengalami kebocoran nuklir parah sekaligus:


Tapi seberapa berpengaruhkah buoy membantu evakuasi dalam situasi riil? Andi menjelaskan rata-rata kecepatan gelombang tsunami sekitar 800 kilometer per jam, hampir sama dengan kecepatan pesawat jet komersial.. Sementara itu garis pantai Indonesia rata-rata berdekatan jaraknya dengan pusat gempat, biasanya sekitar 200-400 km dari pinggir pantai. Data dari buoy mengenai kecepatan dan tinggi gelombang akan segera dikirim ke bank data early warning system, untuk disebarkan ke masyarakat. Andi menyebutnya dengan istilah “golden time.”

Pemerintah membayangkan skenario buoy diletakkan 200 km dari tepi pantai. Sehingga bila terjadi tsunami yang pusatnya 500 km dari pinggir pantai, diharapkan masyarakat yang tinggal di dekat pesisir punya kesempatan 15 menit menyelamatkan diri.

Itulah alasan Andi menyesalkan ribuan buoy yang dimiliki pemerintah kini tidak bisa berfungsi normal. “Banyak sekali vandalisme yang terjadi yang menyebabkan buoy itu tiba-tiba hilang. Entah itu dicuri atau entah di mana. Itu menjadi problem, yang saya ingat dari 2008-2012 masih berjalan terus [buoynya] saya sampai 2017 saya menjabat di BMKG.”

Danny Hilman Natawijaya, selaku Pakar Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tidak seoptimis Andi. Dia menilai keputusan pemasangan buoy yang dilakukan pemerintah sejak awal berisiko. Selain karena perawatan dan ongkos operasional sehari-hari membutuhkan biaya besar, keberhasilan buoy mengidentifikasi potensi tsunami tidak selalu efektif. Apalagi jika episentrum gempa sangat dekat dengan pesisir. Bisa jadi gelombang tidak terdeteksi atau memang penduduk pesisir semata tak punya waktu sama sekali untuk melarikan diri.

Danny menyatakan pemasangan buoy memakan dana ratusan juta rupiah. Belum lagi harus ada tenaga ahli yang berdedikasi dan senantiasa terus memantau buoy dan memperbarui software-nya. Sementara perawatan operasionalnya tiap tahun bisa mencapai lebih dari Rp30 miliar sepanjang tahun.

“Yang namanya buoy itu jangan terlalu dianggap canggih. Seakan-akan begitu dipasang langsung kelihatan ada tsunami. Enggak begitu. Dia butuh diproses juga, butuh ada yang memodelkan. Butuh ada tenaga ahli yang melototin terus tuh di tsunami warning center. Enggak segampang itu. Efektif atau tidaknya itu bergantung pada posisi buoy terhadap posisi gempa terhadap juga wilayah terdampak,” urai Danny.

Biasanya buoy akan efektif untuk mendeteksi gelombang tsunami yang jaraknya jauh dari pesisir. “Kalau dekat seperti kemarin [di Palu] hanya puluhan kilometer biasanya nggak efektif. Kalau buoy ditaruh di lepas pantai teluk misalnya kalau gelombang baru sampai ke buoy juga gelombang sudah sampai ke pantai.”

Inilah mengapa bukan hal mengejutkan jika proyek deteksi tsunami jutaan dolar malah berakhir menjadi korban vandalisme yang berakhir di pasar loak atau malah disangka UFO dari ruang angkasa.

Bagi Danny, pemerintah di masa mendatang semestinya memilih berinvestasi untuk program mitigasi lain yang punya dampak jangka panjang. Mulai dari memasukkan kurikulum tanggap bencana wajib di seluruh jejang pendidikan dasar, rutin menggelar latihan evakuasi bagi warga di kawasan rawan, menyiapkan peta seismik hazard untuk acuan tata kota dan zonasi bangunan, dan lain sebagainya.

“Saya melihatnya lebih banyak mubazirnya pasang buoy lagi. Menurut saya sih kalau dananya terbatas mending dipakai untuk mitigasi yang lain, yaitu bikin peta [rawan bencana] yang baik. Karena yang paling susah adalah pendidikan masyarakat,” ujar Danny.

Minimal, momentum agar masyarakat lebih tanggap bencana sudah meningkat setelah terjadi rangkaian gempa dan tsunami. Artinya, menurut Danny, kini saatnya pemerintah menggenjot kesadaran tadi dengan pendekatan kultural maupun pendidikan formal, untuk menyiapkan warga di kawasan rawan menghadapi bencana.

Kesadaran kultural macam itu yang sayangnya kini tak banyak dimiliki penduduk perkotaan di kawasan pesisir Indonesia. Dampaknya bisa dilihat di Palu, Donggala, dan Mamuju pekan lalu. Masyarakat dilanda kepanikan luar biasa beberapa jam usai gempa dan terjangan tsunami. Berdasarkan beberapa laporan saksi mata, tak banyak orang yang sadar berusaha melarikan diri menjauhi pantai ketika air surut.

Survei yang dilakukan oleh Litbang Harian Kompas pada 2011 sudah mengindikasikan lemahnya kesiapan penanganan bencana di Sulawesi Tengah. Saat disurvei kala itu, masyarakat Palu tidak menganggap gempa dan tsunami sebagai ancaman. Sebanyak 63 persen responden di Kota Palu tidak tahu bahwa daerah mereka rawan bencana. Sementara 95 persen responden merasa tempat tinggalnya aman dari berbagai risiko bencana alam.

Padahal, menurut penelitian Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako, yang turut dikutip dalam laporan mendalam Ahmad Arif untuk Kompas, disebutkan bila Kota Palu punya potensi rutin mengalami gempa sekaligus tsunami. Palu terletak di kawasan Sesar Koro, sesar paling aktif kedua di wilayah Indonesia setelah sesar Sumatra. Sesar ini membentang sepanjang 500 kilometer dari Laut Sulawesi membelah Kota Palu sampai menuju Teluk Bone.

Apalagi, dalam kondisi bencana yang sesungguhnya sangat mungkin jaringan listrik tidak beroperasi maksimal. Jika sudah begitu, teknologi peringatan dini seperti Buoy yang seringkali mengandalkan sinyal telekomunikasi dan listrik malah bisa gagal membantu masyarakat mempersiapkan diri.

“Dari pengalaman beberapa tahun ini malah kebanyakan peralatan yang dipasang itu enggak kerja semua, kayak waktu gempa Padang 2009, sirine pada enggak jalan. Semua telekomunikasi juga down,” kata Danny. “Jadi tetap tergantungnya pada masyarakat itu berpengetahuan atau enggak menghadapi bencana.”