hukum

Terdakwa Korupsi Tak Boleh Lagi Mendadak Berbusana Agamis di Persidangan

Jaksa Agung bakal bikin aturan berpakaian di sidang. Tren tersangka korupsi tiba-tiba memakai atribut keagamaan saat sidang dianggap menimbulkan konotasi buruk di masyarakat.
Jaksa Agung Burhanuddin larang terdakwa korupsi mendadak pakai busana agamis saat sidang
Momen sidang di Pengadilan Tipikor pada 17 Mei 2014 dengan terdakwa mengenakan jilbab. Foto oleh Bay Ismoyo/AFP

Dalam halal bihalal Kejaksaan Agung (Kejagung) pekan lalu, Jaksa Agung S.T. Burhanuddin membagi keresahannya soal tren busana terdakwa di pengadilan. Ia mengaku marah melihat terdakwa yang sehari-hari tidak memakai atribut keagamaan, tiba-tiba rutin memakainya saat hadir di persidangan. Burhanuddin berencana membuat surat edaran untuk melarang praktik ini berlangsung lebih lama.

"[Terdakwa memakai atribut keagamaan] seolah-olah alim pada saat disidangkan, kami nanti samakan semua. Yang penting berpakaian sopan di depan persidangan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana, Senin (16/5), dilansir CNN Indonesia.

Iklan

Keluhan ini sekaligus jadi teguran buat para jaksa di seluruh Indonesia. Ia menyebut, kadang jaksa sendiri yang memberi pakaian keagamaan kepada terdakwa agar dipakai. "Makanya saya melarang teman-teman itu di daerah dulu itu, kalau sidang terdakwa pakaiannya dikasih baju koko, pakai peci. Itu saya marah, Mas," kata Burhanuddin kepada Deddy Corbuzier. Yes, rencana aturan berpakaian ini diketahui publik gara-gara Jaksa Agung diundang ke podcast tersebut.

Mengatur fesyen orang lain jelas isu sensitif. Namun, Burhanuddin menilai tren ini telah menciptakan stigma negatif pada pakaian keagamaan. Dengan adanya larangan ini, jaksa penuntut diminta tidak menghadirkan terdakwa ke persidangan jika yang bersangkutan menolak patuh.

Praktik bersalin busana religius sebenarnya sudah dikeluhkan banyak pihak sejak lama. Terutama karena atribut keagamaan yang sering dipakai adalah jilbab dan peci yang identik dengan agama Islam. Sepuluh tahun lalu Ketua Umum Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) se-Indonesia saat itu, Tutty Alawiyah, sudah mengkhawatirkan pandangan pemeluk agama lain terhadap jilbab gara-gara tren ini. 

''Saya sangat tidak sreg. Soalnya dengan perilaku mereka, maka kita akan dituding tidak baik oleh orang non-Muslim maupun orang-orang yang tidak suka kepada Islam. Tentunya memang perlu ada pengaturan tata busana agar hal tersebut tidak menjadi bias,'' kata Tutty kepada Republika, 2012 silam.

Iklan

Seliwerannya para terdakwa yang mendadak berbusana agamis memang mencolok. Menurut pantauan sekilas, untuk kasus berskala nasional, kerap kali yang berubah penampilan adalah terdakwa perempuan. Pasalnya, terdakwa laki-laki kerap sudah berpeci sebelum terbelit kasus, terutama jika ia seorang pejabat publik.

Figur yang disorot karena perubahan penampilan sejak terkena kasus hukum misalnya Neneng Sri Wahyuni, terdakwa kasus suap sekaligus istri bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Dari yang semula tak berjilbab, Neneng tiba-tiba memakai jilbab plus cadar saat hadir di persidangan. Cadar juga dipakai Anniesa Hasibuan, terdakwa kasus penipuan biro umrah First Travel, yang memang sebelumnya sudah berjilbab.

Contoh ikonik lain adalah Inong Malinda Dee, pejabat Citibank yang membobol rekening nasabahnya sendiri. Dikenal kerap berdandan seksi, Malinda Dee hadir dengan jilbab saat mulai disidangkan. Sementara contoh terbaru adalah terpidana kasus suap Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang juga mendadak berjilbab saat disidang. Ew.

Bagi para terdakwa laki-laki, perubahan penampilan sering terjadi dalam kasus-kasus di daerah. Umumnya mereka jadi “berseragam” kemeja putih dan memakai peci. Contohnya bisa dilihat di foto ini, ini, dan ini.

Kalau menurut analisis paling pasaran, terdakwa yang berbusana agamis bermaksud meraih simpati hakim dan masyarakat karena mengesankan pertobatan. Ada kalanya busana itu juga bertujuan menyembunyikan identitas.