muslim, hijab, islamofobia, india
Muskan Khan di rumahnya yang terletak di Mandya, negara bagian Karnataka, India. Foto ini diambil beberapa hari setelah dia dicegat kelompok ekstremis Hindu karena mengenakan burqa. Foto: Hussain Khan
Agama

Kisah Mahasiswi India Melawan Larangan Berhijab Rezim Nasionalis Hindu

Sejumlah universitas di negara bagian Karnataka, India, memberlakukan larangan berhijab dengan kedok menjaga keseragaman. Muda-mudi muslim dan Hindu progresif melawan balik.
Pallavi Pundir
Jakarta, ID

Hari belum berakhir, tapi Muskan Khan sudah kelelahan. Di samping kesibukannya mempersiapkan ujian, mahasiswi 19 tahun itu harus merawat adiknya yang demam dan menangani ratusan panggilan dari jurnalis dalam sehari.

Warga Mandya di negara bagian Karnataka, India selatan mendadak terkenal karena keberaniannya.

“Saya tak menyangka hidup saya akan berubah dalam semalam,” ungkap perempuan yang berkuliah di PES College of Engineering itu.

Iklan

Selasa 8 Februari 2022, beredar video yang menampilkan Muskan bersuara lantang melawan segerombolan lelaki yang mencegatnya di depan gerbang kampus. Mengenakan selendang safron — warna oranye kemerahan yang diasosiasikan dengan kelompok nasionalis Hindu — mereka mengejarnya sambil berteriak “Jai Shri Ram”, slogan kelompok supremasi Hindu yang berarti “Hidup Dewa Ram”. Mereka tak suka melihat perempuan seperti Muskan mengenakan busana Muslim, atau lebih spesifik lagi: jilbab, burqa dan semacamnya.

Dia terus berjalan tanpa rasa takut, tak menyadari seseorang merekam videonya dari kejauhan. Muskan berhenti sesaat untuk membalas teriakan mereka dengan “Allahu Akbar”, lalu memasuki ke gedung kampus — diikuti para lelaki beringas di belakangnya.

Dalam hitungan jam, perempuan itu menjadi simbol perlawanan yang telah berkobar di negara bagian tempat tinggalnya selama sebulan terakhir. Tagar #Muskan merepresentasikan gerakan yang dipimpin remaja Muslimah di sana.

“Saya tak menyangka hidup saya akan berubah dalam semalam.”

Pada Januari 2022, sejumlah perguruan tinggi negeri di Karnataka mengeluarkan edaran larangan memakai hijab dengan alasan agar lebih seragam. Setidaknya 10 universitas dilaporkan telah melarang mahasiswi berjilbab mengikuti kegiatan kelas. Namun, selama tiga pekan terakhir, kaum perempuan melawan balik dengan busana Muslimah, memperjuangkan hak mereka untuk belajar.

Iklan

Sebagai pembalasan, massa berkumpul di depan kampus untuk menyerang mahasiswi Muslim mana saja yang masih memakai simbol keagamaan mereka. Beberapa bahkan bertindak lebih ekstrem, seperti melempar batu dan mengibarkan bendera safron.

Ketua menteri Basavaraj S Bommai segera menutup seluruh SMA dan perguruan tinggi di negara bagian tersebut menyusul viralnya video Muskan, serta melarang kerumunan — dikenal sebagai Bagian 144 — dalam radius 200 meter dari sekolah dan kampus hingga 22 Februari.

Muskan mengatakan, meski kedua orang tua mengkhawatirkan keselamatannya, mereka mendukung penuh tindakannya. Hussain Khan selaku ayahnya menegaskan tidak akan tinggal diam.

Jumlah populasi Muslim hanya 14,2 persen di India, negara yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Jumlah itu menjadikan muslim sebagai kelompok minoritas yang rentan menerima diskriminasi di tengah meningkatnya ekstremisme Hindu. Selain di India, larangan berhijab juga menuai kontroversi di sejumlah negara, seperti Prancis yang baru-baru ini larangannya meluas ke dunia olahraga atau Sri Lanka yang usulannya memicu kekhawatiran terjadinya persekusi terhadap pemeluk agama Islam.

Iklan

Namun, besarnya umat Islam di India — lebih dari 200 juta jiwa — membuat dampak larangan tersebut semakin nyata. Negara ini memiliki populasi Muslim terbesar ketiga di dunia setelah Indonesia dan Pakistan.

Pemerintah Karnataka berada di bawah kekuasaan partai nasionalis Hindu Bharatiya Janata yang dipimpin oleh Perdana Menteri Narendra Modi. Larangan berhijab ini sejalan dengan kebijakan Islamofobik yang mencabut hak-hak warga Muslim dan membahayakan keselamatan mereka.

Besarnya umat Islam di India — lebih dari 200 juta jiwa — membuat dampak larangan tersebut semakin nyata.

Ketegangan agama di Karnataka telah berlangsung berabad-abad lamanya. “Siklus kekerasan yang tiada henti” menargetkan penduduk Muslim kerap terjadi di wilayah tersebut. Mereka rentan menjadi korban serangan kebencian, baik saat menaiki angkutan umum, punya usaha sendiri hingga berteman atau menjalin asmara dengan perempuan Hindu.

Aturan berpakaian seragam telah menabur benih-benir kontroversi sejak 2012, ketika universitas negeri melarang hijab, burqa dan jilbab, tapi tetap mengizinkan tilak, bindi dan bangle yang merupakan simbol keagamaan Hindu. 

Iklan
muslim, hijab, islamofobia, india

Sekelompok remaja perempuan berpakaian Muslimah memasuki gedung kampus di distrik Udupi yang telah diguncang aksi protes. Mahasiswi Muslim hanya diperbolehkan mengenakan hijab di luar kelas. Foto oleh Dinesh Rayappana Matt / AFP via Getty Images

Pekan lalu, pemerintah negara bagian mengeluarkan arahan yang melarang “pakaian yang menghambat kesetaraan, integritas, hukum dan ketertiban umum.” Mereka menambahkan larangan berhijab tidak termasuk pelanggaran atas kebebasan beragama.

“Saya tidak sadar cowok-cowok itu ada di sana,” kenangnya. “Saya dicegat di depan pintu gerbang sesampainya di kampus. Mereka memaksa saya untuk melepas burqa saat itu juga. Mereka berseru dengan kasar, ‘Nikal burqa (lepas burqa-mu).’ Saya kesal sekali mendengarnya.”

Entah bagaimana, Muskan berhasil menghindari mereka dan melajukan motornya memasuki lahan parkir kampus. Siapa sangka, semakin banyak orang menghadangnya di sana. “Begitu saya turun dari motor dan berjalan menuju kelas, orang-orang itu melihat saya. Mereka berusaha menakut-nakutiku,” lanjutnya. Tadinya dia ingin diam saja. “Saya kira melotot ke arah mereka sudah cukup, tapi mereka terus mengikuti saya! Saya memutuskan untuk melawan saat mereka mengacungkan selendang safron dan meneriakkan ‘Jai Shri Ram’.”

Di atas kertas, Konstitusi India memberikan kebebasan beragama bagi setiap warganya dan mempraktikkan ajaran mereka secara damai. Namun, India memiliki sejarah ketidakharmonisan agama, terutama di bawah pemerintahan Modi dan BJP. Sejak Modi menduduki bangku kekuasaan pada 2014, pengawas HAM memperhatikan kebijakan dan undang-undang pemerintah semakin memperdalam perpecahan, memberangus pihak yang melawan dan memuji siapa saja yang menyerang kelompok minoritas agama.

Iklan

Selama setahun terakhir, kelompok supremasi Hindu pinggiran telah merajalela dengan ujaran kebencian mereka, beberapa di antaranya meningkat menjadi seruan terbuka yang membenarkan genosida terhadap umat Muslim. Sementara itu, perempuan Muslim terus-menerus menjadi korban doxxing (pembocoran data pribadi) dan pelecehan online.

Aktivis Zakia Soman, co-founder kolektif aktivis Bharatiya Muslim Mahila Andolan, mengecam aturan berpakaian ini “kejam dan diskriminatif”.

“Apa yang awalnya dimaksudkan untuk mempertahankan kedisiplinan di lembaga pendidikan kini meledak jadi konflik Hindu-Muslim,” katanya kepada VICE World News. Soman merupakan satu dari ratusan aktivis yang mendukung pelajar Muslim

“Apa yang awalnya dimaksudkan untuk mempertahankan kedisiplinan di lembaga pendidikan kini meledak jadi konflik Hindu-Muslim.”

“Berbagai kelompok politik dan agama memperkeruh keadaan. Pengucilan perempuan Muslim berhijab ini adalah diskriminasi, terutama karena mereka yang melakukannya terkenal mengenakan busana keagamaan mereka di tempat umum,” imbuhnya, merujuk pada standar ganda yang mengutamakan umat Hindu. Bulan lalu, ketua menteri Karnataka melanggar pembatasan COVID-19 untuk mengikuti ritual keagamaan bersama keluarganya. 

Iklan

Awal pekan lalu, menteri pendidikan Karnataka dan politikus BJP BC Nagesh menuding para pelajar “dihasut” untuk melakukan aksi protes, dan ada oknum yang sengaja menjadikan aturan berpakaian ini masalah agama. “Menurut Undang-Undang Pendidikan Karnataka, Peraturan nomor 11, peserta didik yang tidak mengenakan seragam tidak diizinkan masuk sekolah,” ujarnya.

Ironisnya, sementara perempuan Muslim di Karnataka menjadi sasaran kebencian, Modi mengklaim pemerintahannya “mendukung perempuan Muslim” selama kampanye pemilu di negara bagian Uttar Pradesh, India utara. Tampaknya, perempuan Muslim di Karnataka tidak termasuk di dalamnya. 

muslim, hijab, islamofobia, india

Aksi protes menolak larangan hijab di Bangalore, ibu kota Karnataka. Foto: Manjunath Kiran / AFP via Getty Images

Video Muskan yang viral membuatnya menghadapi serangkaian kebencian di dunia maya. Saat berbicara kepada awak media, menteri pendidikan bahkan menuduhnya telah “memprovokasi” massa. Para netizen simpatisan supremasi Hindu mengetwit tagar #HijabNahiKitaabDo, yang berarti “Katakan tidak pada hijab, berikan mereka buku”. Frasa tersebut menyiratkan melepas hijab akan menyelamatkan perempuan Muslim.

Iklan

Data pribadi para perempuan yang memprotes kebijakan tersebut kabarnya juga dibocorkan ke publik. Empat narasumber VICE World News sampai mematikan ponsel karena sudah tak sanggup menghadapi pesan bernada kebencian. 

“Ada upaya mengekspos perempuan Muslim sebenarnya tidak mengenakan hijab, dan ada yang sengaja mendalangi aksi protes ini,” terang Pratik Sinha, pendiri dan editor Alt News, platform yang mematahkan disinformasi. Satu foto secara keliru mengidentifikasi Muskan, sedangkan foto lain diedit hingga menampilkan Muskan berpakaian terbuka. Ini menjadi cara baru ekstremis Hindu menyerang perempuan Muslim yang berani bersuara.

Soman menyebut betapa ironisnya klaim bahwa laki-laki Hindu ingin “menyelamatkan” perempuan Muslim.

“Faktanya, para lelaki yang mengklaim ingin menyelamatkan perempuan Muslim dari hijab menindas perempuan Hindu dan merendahkan perempuan yang mengenakan celana jins atau menggunakan ponsel. Mereka juga mengganggu perempuan yang tidak mengikuti tradisi Hindu, dan bahkan melarang mereka menikahi pasangan pilihannya,” dia membeberkan. 

Iklan

Para perempuan Muslim tak gentar menghalau kebencian yang sebagian besar dilancarkan oleh kelompok ekstremis Hindu. Petisi yang mendesak Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung Karnataka untuk mengizinkan mereka mengenakan hijab di sekolah telah sampai ke pengadilan.

Kuasa hukum Devadatt Kamat yang mewakili mereka mengatakan kepada pengadilan tinggi, sejak Januari, kliennya telah diminta duduk terpisah di kelas karena mengenakan hijab. “Ini bentuk apartheid agama, dan sifat tidak dapat disentuh belum sepenuhnya dihapuskan,” katanya seperti dikutip pengadilan.

Pada Kamis (10/2), Pengadilan Tinggi Karnataka mengatakan pelajar yang ikut aksi protes dilarang mengenakan pakaian beragama hingga keputusan akhir keluar. Keesokan paginya, Pengadilan Tinggi menolak permintaan sidang mendesak. “Jangan jadikan ini masalah nasional,” bunyi pernyataan pengadilan, yang mengecewakan para pelajar dan aktivis. 

Terlepas dari rintangan yang dihadapi para perempuan ini, dukungan terus mengalir untuk mereka. Ikon internasional macam Peraih Nobel Pakistan Malala Yousafzai dan pesepakbola Manchester United Paul Pogba telah menyatakan solidaritas mereka.

Dukungan-dukungan inilah yang membuat Muskan tetap kuat. “Saya ingin semua perempuan di luar sana tak pernah gentar memperjuangkan hak mereka. Allah SWT akan selalu ada bersamamu.”

Follow Pallavi Pundir di Twitter.