Tiga pasang tangan mengambil batu mahyong
Jennelle Fong
Pesta

Menghidupkan Kembali Permainan Klasik Mahyong dengan Cara Asik

Empat perempuan kreatif bertekad memperkenalkan permainan tradisional Tiongkok kepada kawula muda yang hobi party di Los Angeles.

Tahun ini, saya lebih antusias menyambut Imlek ketimbang merayakan malam tahun baru. Bagaimana tidak? Saya sudah punya rencana menikmati hari spesial itu dengan menjajal suatu permainan tradisional yang belum pernah saya coba sepanjang hidupku. Kalau kamu mengira rencana saya membosankan, pemandangan yang kusaksikan akan membuktikan kamu salah besar.

Panitia acara memperingatkan dari jauh-jauh hari untuk datang cepat kalau mau dapat meja. Dan benar saja, setidaknya ada 20 orang yang sabar mengantre setibanya saya di kelab The Aster, Hollywood. Padahal, saya datang pukul setengah 8 malam lewat 13 menit, sebelum pintunya dibuka.

Iklan

Semua tamu pesta malam itu datang karena penasaran sama yang namanya mahyong, permainan batu asal Tiongkok yang mengasah ketajaman strategi. Bisa dipastikan mereka tahu tentang acara tersebut dari teman-temannya yang pernah ditantang oleh Mahjong Mistress, empat perempuan di Los Angeles yang hobi bermain mahyong.

Lin, Susan Kounlavongsa, Zoé Blue M., dan Abby Wu awalnya mengajari teman-teman mereka sebatas untuk mengisi momen pesta kecil-kecilan. Tapi kini, kecintaan mereka pada mahyong telah berkembang menjadi proyek besar yang mencuri perhatian party-goer di kawasan itu. Pesta yang saya datangi merupakan kali kedua yang digelar Mahjong Mistress sejak musim gugur lalu. Jumlah tamunya mencapai 500 orang, sedangkan 300 lainnya sudah mendaftarkan diri menjadi pemain mahyong pada acara-acara berikutnya.

“Saya merasa seperti pemain mahyong keliling,” tutur Lin. “Sekarang kalau pergi ke mana-mana, saya harus bawa tiga set mahyong, meja dan empat bangku kecil di bagasi mobil.”

Perempuan menunjuk ke arah batu mahyong di samping dua orang

Seorang Mistress memberi petunjuk bermain mahyong.

Menjelang pukul 8 malam, pengunjung The Aster dibimbing naik lift menuju lantai lima secara bergiliran. Kami lalu melangkah masuk ke kabaret yang bercahaya temaram. Di dalam ruangan itu, tersedia 10 meja dengan masing-masing empat kursi. Tempat duduknya sudah diatur sesuai kemampuan pengunjung bermain mahyong, dari tingkat pemula hingga mahir. Puluhan batu warna-warni dengan detail yang mewah tersusun rapi di atas meja. Lembaran menu basah ketumpahan baijiu—minuman keras yang terbuat dari biji-bijian sorgum—yang dipesan early bird.

Iklan

Saya bertanya bagaimana perasaan M. melihat pestanya penuh sesak. Dia menyebut berkat dukungan dari teman-teman merekalah, acaranya bisa sesukses ini. Memang, semua orang yang ada di ruangan malam itu sudah kenal para Mistress, atau setidaknya teman-teman mereka.

Keempat perempuan tersebut berkecimpung di industri kreatif. Lin menangani perilisan vinyl untuk label rekaman Light in the Attic Records. Di sela-sela kesibukannya, ia mengelola label rekaman yang menelurkan musik Taiwan. Kounlavongsa, yang dijuluki “Walikota LA”, merupakan manajer studio untuk stasiun radio NTS. Wu bekerja sama dengan 88Rising dalam pembuatan video klip, sedangkan M. adalah seniman berbakat.

Empat perempuan muda

Empat perempuan muda yang dikenal sebagai Mahjong Mistress.

“Saya rasa di antara orang-orang ini, ada ketertarikan terhadap pertukaran budaya, membentuk komunitas dan mempelajari hal baru. Karena itu acaranya bisa sukses,” ujar M.

Acara yang telah ditunggu-tunggu akhirnya dimulai. Sambil pegang mikrofon, keempat Mistress dengan sabar menjelaskan aturan bermain kepada tamu yang belum pernah main mahyong. Saya baru memberanikan diri menantang tiga orang newbie setelah permainan berlangsung dua babak. Sebelumnya saya cuma berkeliling untuk meramaikan suasana.

Seorang Mistress datang menghampiri meja kami dan menawarkan untuk main mahyong Amerika Taiwan, versi permainan yang telah disederhanakan buat para pemula. (Semakin kamu bertambah jago, semakin banyak pula gaya yang bisa kamu coba, dari gaya Tiongkok, Filipina sampai Jepang.) Dengan anggun, ia membagi batu untuk kami berempat, lalu berdiri di belakang kami untuk membantu mencocokkan batu yang sama. Mistress juga mengingatkan kami untuk berseru “pung” saat hendak mengambil batu yang dilempar.

Iklan

Perlahan-lahan, saya mengenali gambar-gambar yang terukir di batu dan bisa membedakan satu pola dengan yang lainnya. Tanpa kusadari orang-orang mengerubungi meja kami. Saya tak menghiraukan mereka. Yang saya inginkan cuma menang.

M. dan kawan-kawannya berada di atas angin saat dipanggil Mistress. Rasanya seolah-olah semua orang tunduk pada mereka. “Ada kepuasan tersendiri ketika pemain ngomong seperti, ‘Baik, nyonya (mistress). Permisi, nyonya (mistress)’ saat saya mengajari mereka bermain,” kata Lin. “Rasanya seperti, ya kayak gitu! Kamu harus nurut sama aku! Tapi julukan itu buat senang-senang saja, kok.”

Namun, mereka sebetulnya punya maksud lain ketika memilih julukan “Mistress”. Keempat perempuan ini ingin mengajarkan tentang keintiman dan kekuatan feminin yang terkait dengan permainan mahyong. Wu menerangkan, dirinya terinspirasi oleh tokoh perempuan dalam Lust, Caution, film besutan Ang Lee yang mengisahkan penjajahan Jepang di Tiongkok pada 1942. Dalam satu adegan, istri dan selir pejabat bermain mahyong sebagai cara bertukar informasi, melindungi dan membantu pasangan mereka mengambil keputusan yang tepat.

Lima orang bermain mahyong di meja berwarna merah

Mistress mengajari para pemain mahyong dengan anggun.

Saya melewatkan kesempatan mencicipi baijiu gratis karena persaingan di meja kami tak kunjung mereda. Saya cuma bisa melayangkan tatapan iri pada orang-orang yang memegang segelas minuman berwarna bening. Tapi untungnya, ruangan kami disuguhkan pertunjukan guzheng spesial dari musisi Jett Kwong. Jari jemarinya dengan lihai memetik alat musik mirip kecapi.

Iklan

Saya pun berbaur dengan orang-orang yang menikmati pertunjukan musik dari dekat panggung. Di sana, saya berkenalan dengan Jennet Liaw, perempuan yang sempat tinggal di New York sebelum pindah ke Los Angeles. Dia mengungkapkan perasaan senang melihat pemain baru duduk bersama pemain lama.

Obrolan kami lama-lama semakin mellow. Jennet bilang ia teringat sang kakek ketika bermain mahyong bersama orang-orang sebayanya.

“Setelah menyaksikan orang lain main, saya baru sadar kalau kakek sengaja kalah,” kenangnya. “Kakek membiarkan saya menang berpuluh-puluh kali sampai akhirnya saya menemukan bagian yang hilang. Saya yakin pengalaman inilah yang membuatku lebih percaya diri main mahyong. Karena inilah saya suka main mahyong. Saya rindu saat-saat kami bisa main sambil bergosip.”

Perempuan tersenyum. Tangan kanannya hendak mengambil batu mahyong

Kita semua pernah dengar mahyong, tapi belum pernah memainkannya langsung.

Keseruan kami bermain mahyong ditutup dengan pertunjukan barongsai. Saya mengantre ambil minuman bersama Chris Chan. Pemuda itu tampak mengenakan blazer kebesaran warna hijau zamrud dan celana longgar yang serasi. Kacamata hitam kecil menghias wajahnya.

Chris memberi tahuku, ia kerasan dengan suasana pesta yang terasa begitu familiar. Rasanya seperti berada di rumah, menurutnya.

“Saya SMS ibu kalau saya sedang main mahyong. Saya bilang rasanya tidak adil melawan orang-orang yang belum pernah main,” katanya. Chris dengan halus memamerkan dirinya sudah fasih memainkan mahyong. “Kata ibu, mereka sudah seharusnya belajar main mahyong dan budaya Tiongkok. Saya tidak bisa komentar soal itu, tapi memang sih… semua orang di sini bersedia belajar hal baru. Pemandangan ini sangat menyenangkan.” 

Iklan
Kabaret bernuansa oriental yang ramai pengunjung

Kabaret bernuansa oriental yang ramai pengunjung

Mahjong Mistress banjir tawaran sponsor sejak pesta perdananya digelar September lalu. Banyak merek dan produser TV tertarik memodali acara mereka selanjutnya, serta mengundang mereka tampil dalam video dokumenternya. Ketika ditanya apakah mereka tidak khawatir kehilangan jati dirinya, Wu meyakinkan saya kalau mereka tidak asal menyanggupi ajakan kerja sama.

“Kami sangat menjaga keaslian proyek ini,” terangnya. “Meraup keuntungan bukanlah prioritas kami. Acara ini ada untuk bersenang-senang dan menyatukan orang. Kami tidak akan sembarangan menerima orang.”

Tangan memegang batu mahyong hitam. Jari telunjuk menunjuk ke arah batu mahyong.

Ini baru permulaan.

Mahjong Mistress bertekad mewujudkan lebih banyak keseruan di Tahun Kelinci Air ini. Mereka tertarik berkolaborasi dengan museum untuk memberikan edukasi seputar sejarah permainan mahyong. Harapannya semangat mereka bisa terdengar sampai ke New York. Bukankah keren kalau kita bisa belajar budaya baru sambil gosip bareng tiga lawan yang semeja dengan kita?