FYI.

This story is over 5 years old.

Produk Abal-Abal

Teror Krim Pemutih Abal-Abal Perusak Wajah

Penggerebekan polisi Kamboja belum lama ini menemukan 70 ton kosmetik palsu, memiliki efek luar biasa buruk bagi kulit. Obsesi punya kulit putih ini berjangkit di Asia Tenggara.
Syarafina  Vidyadhana
Diterjemahkan oleh Syarafina Vidyadhana
Foto kosmetik palsu Kamboja oleh AP Photo/Heng Sinith

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.

Mach Mong, tenaga administratif kantor berusia 27 tahun di ibu kota Kamboja, Phnom Penh, terobsesi punya kulit semulus boneka porselen. Dia lalu browsing-browsing di ol-shop langganan, memesan sebotol kecil krim pemutih impor asal Thailand. Pada kemasannya, tidak ada informasi apapun mengenai komposisi krim tersebut. Mong bilang dia mengoleskan krim itu sesuka hati tanpa mencari tahu lebih jauh soal keamanannya. "Temenku merekomendasiin krim ini, dan aku emang lagi pengin memutihkan kulit," ujar Mong. "Aku cuma pakai sebulan kok, tapi kulitku jadi ancur banget." Kini Mong menggunakan make-up untuk menutupi jerawat meradang dan luka pada jaringan kulit yang diakibatkan krim pemutih Thailand itu. "Kadang aku enggak bisa keluar rumah gara-gara wajahku rusak," ujarnya. Di Kamboja, kulit putih dianggap lebih cantik ketimbang kulit sawo matang yang umumnya dimiliki perempuan setempat. Orang-orang meracuni diri sendiri atas nama kecantikan. Pada 2010, seorang perempuan muda sampai meninggal setelah mengalami reaksi buruk terhadap produk pemutih wajah. Dia mengoleskan krim pemutih itu ke sekujur tubuh dalam rangka persiapan pernikahannya. Menanggapi rentetan insiden itu, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen menginstruksikan Kementerian Kesehatan memantau penggunaan produk pemutih. Sejauh ini belum ada pelarangan resmi terhadap produk-produk krim pemutih. Sedangkan hasrat memiliki kulit lebih putih—yang juga merupakan fenomena global yang sulit pudar—seringkali didahulukan ketimbang kesehatan. Perawatan pemutih kulit di Kamboja bervariasi dari suntikan di pasar-pasar lokal, hingga serum, bedak, pil, pengelupasan kulit, dan krim-krim bermerek hingga yang abal-abal. Rak-rak apotek dan pasar di Kamboja dipadati solusi pemutih mutakhir. Hari-hari gini rasanya sulit menemukan deodoran yang tidak menjual janji manis "memutihkan ketiak." Sebagian besar perawatan ini tidak mahal, sehingga mudah diakses oleh warga termiskin sekalipun. Penelitian sebetulnya menunjukkan banyak krim dan perawatan mengandung logam berat seperti merkuri, timah, kadmidium, dan arsenik. Merkuri, yang menghalangi melanin yang menyebabkan pigmentasi kulit, adalah satu dari ten sepuluh zat kimia yang menjadi kekhawatiran publik. Penelitian tahun 2015 yang diadakan sekelompok peneliti dari Kamboja dan AS menemukan bahwa 41 persen krim pemutih kulit yang diuji mengandung komponen beracun tingkat tinggi, seperti merkuri.

Perawatan-perawatan tersebut juga mengandung arsenik dan timah, yang dapat merusak sistem syaraf dan menyebabkan pembekakan hati dan otak. Tentunya, kemasan produk-produk ini tidak menyatakan kandungan merkuri tersebut. Meski berdampak buruk bagi kesehatan, produk pemutih kulit terus melejit hingga menjadi industri global senilai Rp 133 triliun. Ing Sovanly, direktur Neary Khmer Association for Health and Vocational Training di Phnom Penh, bilang dia mengestimasi bahwa sekitar 90 persen perempuan Kamboja menggunakan krim pemutih secara rutin. "Kulit putih sangat diminati di antara orang-orang Khmer dan di negara-negara ASEAN," kata Sovanly. "Orang-orang mikir kulit putih lebih cantik dan menarik daripada kulit gelap, terutama karena kulit putih melambangkan kekayaan. Kulit putih menunjukkan bahwa kamu enggak kerja di ladang." Di negara seperti Kamboja, dengan 70 persen populasinya bekerja di bawah sengatan matahari, kulit putih dianggap sebagai simbol status yang bisa dicapai oleh mereka yang mapan. Ouch Lina, 23 tahun, membeli krim pemutih kulit dari temannya yang membuat dan menjual krimnya sendiri. "Kalau kulitmu gelap, orang-orang bakal mikir kamu dari desa," ujar Lina. "Ada temenku yang kulitnya putih, jadi aku mau kayak dia. Tante temenku itu jualan krim, dia kerja di apotek. Jadi aku percaya aja." Lina bilang dia curiga krim tersebut mengandung steroid. Setelah sebulan pemakaian, kulitnya meradang; timbul jerawat di sana-sini dan juga flek hita. Sampai saat ini, dia telah mengeluarkan biaya lebih dari $1,000 (sekitar Rp 13 juta) dan bolak-balik ke dokter dan klinik menyembuhkan bekas luka di wajahnya akibat krim tersebut. "Sebagian besar perempuan jadinya malah punya kulit sensitif, kering, atau gatal-gatal, kayak terbakar matahari," ujar Sovanly. "Aku pernah ngeliat perempuan-perempuan dengan flek hitam di wajah dan tubuh mereka, dan jerawat atau kerutan." Bukan cuma perempuan yang berupaya keras memutihkan kulit di Kamboja, laki-laki juga menggunakan perawatan ini supaya terlihat lebih menarik. Kuoy Londy, 25 tahun, bilang wajahnya jadi jerawatan parah setelah menggunakan krim pemutih tanpa merek, pemberian kawannya. "Aku pengin punya kulit mulus kayak temenku itu—alus banget deh, putih lagi," ujar Londy, yang memiliki kulit sawo matang. "Jadi aku nyoba pakai yang dia pakai, krim-kriman dan bedak dari Thailand." Tak berapa lama, wajahnya dipenuhi jerawat besar kemerahan dan teksturnya menjadi seperti kulit jeruk. Khawatir kulitnya akan begitu secara permanen, dia pergi ke dokter kulit. "Saya watir banget sama wajah saya," ujar Londy. "Enggak enak punya luka di wajah." Kini, wajah Londy telah membaik. Tapi dia menyarankan supaya orang-orang enggak asal membeli krim wajah yang dijual di internet. Di Kamboja, para pasien sering membeli obat dari apotek dan tabib, tanpa menanyakan lebih lanjut soal apa yang mereka konsumsi. Krim-kriman, baik untuk urusan kesehatan maupun kecantikan, dipandang sebagai keahlian para profesional. Dampaknya konsumen jarang bertanya soal komponen dalam krim-krim yang mereka gunakan pada wajah. Sementara itu, krim-krim pemutih palsu seperti yang digunakan Lina dan Londy di jual di mana-mana, dari toko kecantikan independen hingga pasar-pasar, dan bahkan di rumah-rumah warga. Antara Maret dan Mei tahun ini, kepolisian mulai memburu pasokan kosmetik palsu, salah satunya adalah pemutih wajah. Mereka menemukan lebih dari 70 ton kosmetik palsu yang rencananya akan dikirim ke toko produk kecantikan independen dan pasar-pasar kawasan ibu kota Phnom Penh. Meski begitu, banyak perempuan yang membeli krim pemutih dari Facebook, yang merupakan sumber media utama negara tersebut. Ada banyak akun Facebook di Kamboja yang menawarkan krim-krim dan larutan yang katanya akan membuat kulit lebih putih. Moda penjualan seperti ini sulit dilacak kepolisian karena secara teknis, ini tidak ilegal. Lina dan kawan-kawannya sangat khawatir soal keamanan sebagian krim yang dijual di internet karena banyak sekali orang yang mereka kenal, mengalami reaksi buruk pada kulitnya. "Banyak temenku, mereka jadi cakep banget pas awal-awal pakai krim ini," ujar Lina. "Tapi setelah itu kulit mereka jadi kayak udang rebus."