Persoalan sejenis mungkin pernah kamu alami: kamu punya pasangan, kehidupan seksual kalian menyenangkan. Lalu—karena satu dan lain hal—frekuensi bercinta kalian menurun drastis. Dari seminggu tiga kali, jadi sebulan dua kali doang. Awalnya, kamu bertanya-tanya dan memendam sejumlah dugaan. ‘Ah mungkin dia lagi stres karena kerjaan kantor’, diam-diam kamu berpikir seperti itu.
Lama kelamanan, kamu mulai bete, baperan, dan makin gampang ngambek. Hubungan yang awalnya hangat mendadak sering diwarnai percekcokan. Kadang berantemnya dimulai dengan kalimat standar kayak gini: “Kamu kok sekarang beda sih…”
Videos by VICE
Alhasil, pertengkaran kalian pun makin ramai. Sampai akhirnya tedengar sama tetangga. Makin runyam lah situasi.
Apakah sikap ngambek salah satu pasangan dalam contoh kasus di atas masih normal? Kata ilmuwan sih wajar. Lalu bagaimana dengan amarah yang diluapkan? Itu juga wajar.
Pertanyaan yang penting sebenarnya: kenapa pertengakaran tadi terjadi? Sejumlah pakar menduga ramainya pertengkaran saat dua sejoli jarang bercinta, disebabkan minimnya hormon “pemicu kenikmatan”—seperti dopamin, oksitosin dan endorfin—dalam otak. Tapi, itu baru sebagian kecil dari masalah sebenarnya.
“Bagi banyak pasangan—jika tak bisa dibilang mayoritas pasangan—seks adalah perwujudan hubungan yang intim, dalam bentuk fisik maupun kapasitas emosional,” kata Amanda Gesselman, psikolog sekaligus peneliti di The Kinsey Institute. “Kepuasan dari kehidupan seksual cenderung berkaitan dengan cara kita memandang hubungan. Jadi tak aneh bila hasrat bercinta pasangan mulai menurun—mungkin karena stres, lelah, atau merasa seks menghalangi perkembangan hubungan—kita memahaminya sebagai pertanda ada yang salah dalam hubungan itu.”
Otak manusia ibaratnya superkomputer yang sanggup mengerjakan banyak hal—termasuk untuk urusan negatif. Salah satunya mengubah kekhawatiran sederhana menjadi kecemasan tanpa ujung. Menurunnya frekuensi bercinta cepat dipahami otak dengan keliru. “Seseorang bisa saja menyangka pasangannya tak merasa dirinya menarik lagi, tak lagi menikmati seks dengannya atau bahkan tak mau lagi bersamanya, meski sangat mungkin semua dugaan tadi salah,” ujar Gesselman.
Dugaan yang salah atau bahkan tak berdasar, seringkali bikin kita susah tidur di malam hari. Masalahnya, mengemis-ngemis pada pasangan mau bersenggama bikin kita terkesan rapuh dan menyedihkan. Ketika pasangan sedang ogah ena-ena’ bareng, penolakan tadi akan membangkitan rasa insecure yang sudah kita pendam dari hubungan-hubungan sebelumnya.
Ujung-ujungnya, situasi minim seks tadi memicu amarah dan rasa tak nyaman. Tenang saja, jika ini menimpa kalian, tak usah malu apalagi menyalahkan diri sendiri. Pasalnya, proses “aktivasi” amarah terjadi di luar kendali otak manusia. Dalam kondisi jarang bercinta, masalah yang tersimpan di alam bawah sadar sejak kecil saat kita mulai belajar melekatkan diri pada orang lain, termasuk masalah kita sama orang tua, ikut terpicu ke permukaan.
“Setiap orang memiliki gaya pendekatan yang berbeda dengan pasangannya,” kata Gesselman. “Beberapa orang memiliki gaya pendekatan yang membuatnya mudah cemas, sehingga mereka cenderung butuh validasi melalui seks dengan pasangan mereka. Sejumlah penelitian menunjukkan orang yang memiliki karakter mudah cemas, sehingga sering khawatir pasangannya akan meninggalkan mereka dan butuh validasi lebih, cenderung melihat seks sebagai cara mengukur stabilitas hubungan mereka.”
“Sebagian orang seperti itu bisa sangat tertekan apabila pasangannya sedang tidak mau berhubungan intim. Padahal mereka amat mengandalkan seks sebagai penanda keamanan hubungan,” imbuhnya.
Vanessa Marin, psikolog di Los Angeles, mengamini pernyataan Gesselman. Banyak pasiennya mengalami persoalan semacam itu. Dia paham stres adalah masalah umum bagi banyak orang. Tetapi yang amat mengejutkan, ternyata intensitas stres rata-rata muncul saat seseorang jarang berhubungan intim.
“Banyak pasangan yang berpikir seks tak banyak gunanya selain untuk rekreasi murah meriah,” kata Marin, “Padahal peran hubungan intim lebih besar. Pasangan ingin seks bukan hanya karena mereka mau orgasme. Itu memang bagian menyenangkan dari seks, tetapi sebenarnya yang jauh lebih penting adalah memprioritaskan diri sendiri dan hubungan kalian, daripada sekadar meminta diperhatikan. Apabila pasangan menolak bersetubuh karena mereka sedang bekerja atau asyik nonton TV, hal ini menunjukkan apa yang mereka lakukan jauh lebih penting daripada menghabiskan waktu bersamamu.”
Pola masalah kurang bercinta biasanya seperti ini: Kamu marah, tapi kamu tidak mau membicarakannya. Pasanganmu menyadari kamu marah. Marin menilai ketegangan yang muncul di tahap tersebut membuat pasangan semakin malas berhubungan seks. Kondisi tadi menciptakan siklus negatif yang sudah sering dia lihat. Hanya saja, kita semua tahu kalau membahas masalahnya juga tidak gampang.
“Kita tak terbiasa membicarakan perasaan ditolak dan menghadapinya,” tuturnya, “jadi kita lebih sering memendamnya dalam hati dan membangkitkan semua penolakan di masa lalu.”
Kalau begitu, apa yang bisa kita lakukan jika mulai marah karena jarang berhubungan intim? Semuanya kembali lagi ke komunikasi, tak peduli seberapa canggungnya. Tiap melayani konsultasi dengan pasien, Marin membantu pasangan yang bermasalah agar menyadari bahwa yang terpenting bukanlah cara supaya permintaan seks tidak ditolak. Lebih penting untuk belajar memahami dan mencerna apa yang mereka rasakan saat ditolak.
Dengan begini, pasangan bisa membicarakan keinginan mereka secara terbuka. Harapannya, mereka jadi jarang berdebat dan lebih sering menghabiskan waktu bersama. Tidak ada lagi pertengkaran antara pasangan.
Mendefinisikan kembali apa arti seks juga dapat membantu mengenyahkan perasaan ditolak dan kekesalan. “Sebetulnya banyak pasangan cenderung gagal berhubungan intim secara rutin,” ujar Marin. “Makanya kalian harus menciptakan menu yang lebih variatif. Seks bisa dilakukan dengan berbagai cara, tapi kita kadang tidak kreatif dan melakukan hal sama berulang kali.”
Maka, seandainya pasanganmu sedang menolak untuk bersetubuh karena sedang bosan melakukannya, mungkin inilah saat bagimu untuk merenung. Coba ingat lagi, bahwa hubungan seksual hanyalah satu bagian dari pengalaman yang dapat membuatmu dan pasangan semakin dekat.
Apalagi, menurut Marin, ada banyak variasi seks tanpa harus penetrasi. “Bagaimana kalau satu orang masturbasi sembari pasangannya membisikkan omongan seksual? Bagaimana kalau menonton film porno bareng? Ada banyak hal lain yang bisa dilakukan, dan pas kamu sadar ada berbagai macam pilihan dan semua aktivitas itu juga membutuhkan upaya keras, jadinya jauh lebih mudah untuk bilang, ‘Oke, aku lagi enggak sedang pengin diapa-apain, tapi aku niat membisikan omongan seksual padamu, atau menelanjangi diri sambil kamu masturbasi, atau melakukan handjob, atau minimal tiduran di sebelahmu.’”
Apalagi tips yang bisa membantu pasangan sedang jarang bercinta agar tidak langsung berantem?
Kalian harus mulai punya pola pikir seperti ini: kehidupan seksual butuh perjuangan. Seks bukan sesuatu yang bakalan langsung rutin terjadi ketika kalian saling mencintai. Menurut penelitian baru dari University of Toronto, orang yang percaya kehidupan seksnya terus berkembang, cenderung merasa lebih baik dalam hubungannya.
Jadi, kalau pasanganmu sedang tidak ingin ho’oh, biarkan dirimu merasakan penolakan tersebut. Tapi jangan sedih-sedih banget. Daripada bete lalu ngamuk-ngamuk, cobalah berbagai hal yang baru—termasuk membahas masalah ini dengan jujur bersama pasangan.
Artikel ini pertama kali tayang di Tonic