Benarkah PSSI Pilih Kasih Terhadap Timnas Sepakbola Perempuan?

sejarah Perkembangan Sepak Bola Wanita di Indonesia terhambat PSSI dan norma

Gol nol, kebobolan dua puluh delapan. Tim nasional (timnas) sepakbola putri Indonesia pulang dari Piala Asia Wanita 2022 dengan kondisi babak belur. Meski berangkat ke India—tuan rumah turnamen tersebut—tanpa ekspektasi, hasil ini tetap memunculkan perasaan lesu. Hilangnya kompetisi selama dua tahun terakhir begitu terasa. Bagaimana caranya memilih 11 terbaik dari 133 juta penduduk wanita kalau tidak ada ajang unjuk kemampuan?

Kelesuan itu sedikit banyak terobati dengan lolosnya timnas sepak bola pria Indonesia ke Piala Asia 2023. Pada 15 Juni lalu, timnas berhasil memastikan satu tempat setelah selalu gagal ikut serta dalam 17 tahun terakhir. Buat penggila bola yang sudah hidup lebih lama, harusnya masih terekam indah memori perjuangan timnas pada keikutsertaan terakhir di Piala Asia 2007 bersama pelatih Ivan Kolev. Saat itu Indonesia menang 2-1 atas Bahrain, lalu kalah tipis 1-2 dan 0-1 kontra Arab Saudi dan Korea Selatan—dua negara langganan Piala Dunia.

Videos by VICE

Tak heran jika optimisme tumbuh. Pelatih timnas pria Shin Tae-yong (STY) dianggap sukses mengembalikan kepercayaan publik atas kemampuan pemain negeri sendiri. STY diharapkan bisa mempersembahkan ulang momen magis seperti saat dirinya memimpin Korea Selatan mengalahkan juara bertahan Jerman pada Piala Dunia 2018. Sampai-sampai PSSI merayakan rasa syukur lolos ke Piala Asia 2023 ini dengan membagi bonus Rp1,5 miliar.

Bonus semacam itu tidak diterima timnas perempuan saat lolos ke Piala Asia Wanita 2022.

Beda perlakuan PSSI ke timnas wanita dan pria di ajang dengan level sama memicu diskusi lebih lanjut. Mengapa meski sama-sama lolos ke Piala Asia, timnas wanita tidak kebagian kucuran apresiasi? Melihat kemampuan skuat timnas wanita yang bisa menembus Piala Asia, meski dengan pertolongan Korea Utara dan Irak yang menyatakan mundur, apa yang bisa federasi lakukan untuk memaksimalkan potensi pemain menjadi lebih kompetitif secara internasional? Semenjanjikan apa potensi dan kondisi sepak bola wanita di Indonesia?

Mari coba menjawab pertanyaan terakhir terlebih dahulu.

Pemerhati sepak bola perempuan Gabriella Putri Witdarmono pernah menulis bahwa secara global, partisipasi perempuan dalam olahraga tumbuh pesat sepanjang 50 tahun terakhir. Khusus sepak bola, penikmatnya juga semakin bertambah.

“Pertandingan [sepak bola wanita] Barcelona vs Real Madrid pada 2022 mencapai 100 ribu penonton. Megan Rapinoe, pemain sepak bola wanita dari AS, masuk ke dalam 100 sosok paling berpengaruh dunia versi Majalah Time pada 2020,” tulis Vice President Partnership and Activation Persib Bandung tersebut di Kompas.

Trayek positif ini juga dirasakan di Indonesia. Sebelum akhirnya punya tim untuk berlaga di Piala Asia 2022, Indonesia sudah punya Liga 1 Putri, turnamen sepak bola wanita antarklub tertinggi di Indonesia, yang diadakan pertama kali pada 2019. Piala Pertiwi juga jadi ajang bergengsi yang hadir sejak 2006, meski dilaksanakan 2 tahun, 3 tahun, atau 4 tahun sekali. Hanya saja, tim yang bertanding di turnamen membawa nama daerah, bukan klub.

Setelah perlahan pulih dari pandemi, langkah pertama kebangkitan sepak bola wanita hadir setelah Piala Pertiwi kembali dihelat pada akhir 2021 hingga Maret 2022. Di laga final yang digelar di Kabupaten Bandung, Papua menjadi juara setelah mengalahkan Bangka Belitung dengan skor 3-1. Momen ini dijanjikan Ketua Umum Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia (ASBWI) Nadalsyah sebagai awal dari banyak turnamen sepak bola wanita yang akan didukung asosiasinya.

“Kami akan terus melakukan turnamen-turnamen yang berkelanjutan sehingga sepak bola wanita ini bisa menghasilkan bibit-bibit pemain yang baik untuk kita setorkan kepada tim nasional wanita,” ujar Nadalsyah yang juga Bupati Barito Utara, dilansir Republika.



Selesai pada Maret, kehadiran kompetisi berskala nasional baru hadir lagi pada Juni. Selama dua minggu, Jakarta menjadi tuan rumah bagi 8 klub yang bertanding di Piala Gubernur DKI Jakarta. Final pada 18 Juni menasbihkan Arema FC Women sebagai juara. Sesudah turnamen, kompetisi berformat liga kosong sampai akhir tahun membuat pemain terpaksa harus menunggu. Padahal jeda waktu berpotensi membuat pemain kehilangan ritme bertanding, menurunkan kualitas fisik dari kondisi paling prima.

Saat dihubungi VICE, pengamat sepak bola Ilham Zada menggarisbawahi bahwa industri sepak bola wanita secara global memang masih pada tahap pengembangan. Perlahan, perhatian terhadapnya konsisten meningkat. Karena kebaruan ini lah, maka penting bagi asosiasi sebuah negara untuk melihat elemen mana yang perlu difokuskan terlebih dahulu. Bagi Ilham, elemen itu jelas: kompetisi rutin. Kehadiran rutinitas ini akan memberikan para atlet sebuah tujuan yang jelas dalam berlatih. 

“Apa yang urgent? [PSSI] tidak bisa meningkatkan jumlah pesepak bola perempuan apabila tidak ada kompetisi yang berjenjang dan konsisten. Itu yang paling penting. Bagaimana bisa punya banyak pemain kalau tidak ada klubnya, tidak ada kompetisinya?” ujar penulis buku Romantika Sepakbola tersebut kepada VICE.

“[Bisa saja] perbanyak klub atau sekolah sepak bola. Tapi, itu tidak bisa dilakukan tanpa ada kompetisi atau turnamen rutin. Kuncinya sama dengan sepak bola pria, perbanyak jumlah pemain dari akar rumput. Konsepnya seperti piramida. Bagaimana mungkin pemain level elite bisa bertambah apabila [pemain] level di bawahnya sedikit?” ujar Ilham.

Dianita Iuschinta, salah satu pendiri Forum Perempuan untuk Sepak Bola, mengakui perhatian PSSI untuk timnas wanita lebih meningkat dibanding sebelumnya. Kehadiran ASBWI sendiri setidaknya menunjukkan keseriusan pemerintah dari segi pengembangan pemain. Karena itu, masalah “pilih kasih” bonus belum perlu dipersoalkan.

“Kalau soal bonus, saya sih lebih setuju tidak disamakan dengan timnas pria. Cuma ya mungkin besarannya bisa disesuaikan gitu. Bonus kan bisa juga jadi penyemangat pemain, biar merasa dihargai dan terlecut bermain lebih baik. Untuk event-event-nya timnas putri gitu, ketum [PSSI] kok enggak video call kayaknya ya? Hehehe,” ujar Dianita.

Menurut penulis sepak bola Marini Saragih, kesan PSSI yang lebih fokus pada timnas pria memang terasa. Misalnya, federasi terlihat begitu serius memulai kembali Liga 1 sepak bola pria setelah absen akibat pandemi, namun belum ada kabar yang jelas kapan Liga 1 Putri dimulai lagi. Kabar terakhir, ASBWI masih menunggu “mandat” pelaksanaan Liga 1 Putri dari PSSI. 

Kondisi ini, ujar Marini, membuat Piala Pertiwi 2021 lah yang jadi satu-satunya ajang pengumpulan pemain berbakat untuk timnas wanita berangkat Piala Asia 2022, “Tanpa dibekali kompetisi, ya wajar kalau mereka kalah habis-habisan [di Piala Asia]. Belum ada kompetisi jangka panjang dalam konteks liga yang bisa mewadahi para pemain,” ujar Marini kepada VICE. 

Marini mengapresiasi kehadiran Piala Pertiwi dan Liga 1, namun keduanya belum cukup. Menurut Marini, kompetisi berbentuk liga masih dianggap sebagai sistem terbaik mengembangkan pesepak bola perempuan level elite. Sementara Liga 1 Putri, meski memakai nama “liga”, masih mengadopsi sistem turnamen: dua bulan dihelat, lalu selesai.

Konsep Liga akan membuat para klub bertanding setidaknya selama 7-9 bulan dalam setahun sehingga memberikan stabilitas laga kompetitif yang diharapkan bisa berdampak baik pada fisik dan kemampuan pemain.

Keseriusan klub memberikan wadah dan fasilitas terbaik untuk pengembangan pemain sebenarnya sudah dilihat Dianita. Ia mengamati sudah banyak sekolah sepak bola yang menerima pemain wanita.

“Beberapa kali sharing dengan teman-teman pemain putri, mereka cerita sistem pelatihannya di klub masing-masing udah bagus. Cuma masih ada juga yang ngeluh soal fasilitas sama soal insentif. Perlu juga ada pendampingan soal psikis, karena kan pemain putri ini kadang mood-nya naik turun ya, kadang kena pengaruh hormon juga,” ujar Dianita.

Marini berharap apabila kompetisi rutin dan kompetitif sudah tersedia, para pemilik klub akan semakin serius mengelola pemain, pelatih, dan stafnya. “Aku suka apa yang dilakukan sejumlah klub Eropa seperti Lyon, Chelsea, dan Barcelona. Mereka membangun tim perempuan dengan sengaja dan konsisten. Ada pendanaan yang jelas, target yang jelas, pembinaan yang jelas. Misalnya Lyon, tim perempuan baru ada 2004. Mereka [pemilik klub] kasih fasilitas yang lengkap sehingga [akhirnya] menarik perhatian pemain-pemain kelas dunia. Tim perempuan Lyon pakai stadion dan fasilitas medis yang sama dengan laki-laki. Kalau tim laki-laki pakai jet, perempuan juga pakai,” kata Marini.

Berbagai pandangan para pengamat membuat sorotan otomatis terarah ke PSSI. Kehadiran kompetisi elite begitu dibutuhkan, lantas seperti apa rencana federasi selanjutnya? Anggota Komite Eksekutif ASBWI Viola Kurniawati sepakat dengan segala masukan dari para pengamat bahwa kehadiran kompetisi memang krusial. Kepada VICE, Viola menjelaskan bahwa fokus saat ini adalah menambah kuantitas kompetisi. Cara ini dianggap ASBWI sebagai stimulan kebangkitan paling masuk akal melihat kondisi sepak bola wanita di Indonesia pasca-pandemi.

Ia mengambil contoh begini: dari 18 klub sepak bola pria di Liga 1, hanya 10 tim yang akhirnya mendaftarkan tim putrinya untuk mengikuti Liga 1 Putri pada 2019.

“Sebenarnya yang paling urgent adalah kompetisi, jumlahnya yang penting. Oke, Liga 1 [Putri] itu penting. Tapi, kalau hanya mengandalkan itu, berarti hanya 18 klub saja [yang punya kekuatan untuk mengirim tim putrinya], padahal [PSSI butuh] tim sepak bola wanita lebih banyak,” ujar Viola. 

Liga 1 Putri 2019 sendiri hanya berlangsung selama dua bulan. Karena itu, ASBWI berharap penambahan turnamen akan memangkas jeda waktu antarturnamen sehingga pemain tak menunggu terlalu lama demi laga kompetitif. Komitmen mengirim tim untuk menghadiri turnamen juga dirasa lebih ringan dibanding membentuk sebuah klub demi berlaga di Liga 1 Putri. 

“Jadi, ini PR-nya memperbanyak dulu, memperbanyak wadah biar pesepak bola wanita itu bisa berlatih dan bermain. Kalau wadahnya enggak ada, SSB atau klub-klub amatir juga belum tergerak untuk bikin,” ujar Viola. Saat ini, ASBWI sedang merancang ASBWI Cup yang rencananya akan digelar pada Agustus ini, sementara Liga 1 Putri kemungkinan dimulai pada Oktober 2022 mengikuti agenda PSSI.

Selain perkara teknis, perkembangan pesepak bola putri di negara ini juga dihambat norma sosial. Tidak semua keluarga mengizinkan anak perempuannya bermain sepak bola. Olahraga ini masih dipandang sebagai arena untuk pria saja.

“Ketika pria memilih karier menjadi pesepak bola, dia akan total di situ. Memang ada peran [sebagai] ayah atau kepala keluarga, tapi lingkungan sekitarnya akan mendukung dia [untuk menjadi pesepak bola]. Jadi mau latihan, mau away ke luar kota enggak pulang-pulang, ya [masyarakat menganggap] ‘Oh itu memang part of his job’. [Sementara] pesepak bola wanita kadang ragu untuk, misalnya, mengikuti turnamen kayak Piala Gubernur DKI Jakarta kemarin karena harus away 2 minggu ke Jakarta, meninggalkan keluarganya lah, suaminya, anaknya,” cerita Viola.

Belum lagi kompromi kepada keluarga, terutama bila ekonomi keluarga lemah. Tidak sedikit pesepak bola perempuan mencari pekerjaan lain. Sementara, pemain bola wanita dari keluarga dengan kemampuan ekonomi lebih kuat tetap diminta harus sekolah hingga jenjang tertinggi. 

Salah satu solusi dari ASBWI adalah ASBWI Cup yang digelar akan menggunakan jenjang usia mulai dari U-10, U-12, dan U-14. Di rentang umur tersebut, umur-umur segitu lah ASBWI melihat perempuan masih leluasa bermain sepak bola tanpa memikirkan beban sosial.

Teknologi live streaming juga membuat olahraga sepak bola putri setidaknya semakin mudah dijangkau masyarakat. Piala Gubernur DKI Jakarta kemarin saja tercatat dilihat ribuan orang secara daring. Harapannya, apabila masyarakat semakin akrab dan terbiasa dengan pertandingan sepak bola putri, orang akan semakin terbuka atas kemungkinan istrinya atau anaknya memilih jadi pesepak bola profesional. 

“Kita tidak [perlu] mengistimewakan, ‘Wah, cewek bisa main bola.’ Yaudah, sepak bola wanita itu ya hanya wanita yang bermain bola, perempuan memang main bola. Tinggal gimana langkah selanjutnya membiasakan sehingga penonton enggak lagi komentar fisik, enggak lagi melihat yang cantik-cantik, tapi mengedepankan kemampuan si pemain,” tutup Viola.