Opini

Konpers Viral 'Bisnis Vaksin BUMN' Adalah Blunder Bodoh Penanganan Pandemi

Saat pemerintah ramai didesak mengubah skema anggaran agar 75 juta penduduk Indonesia tak membayar vaksin sendiri, postingan viral forum humas BUMN memicu kegaduhan kontraproduktif.
Viral pernyataan 'Bisnis Vaksin Corona' dari Forum Humas BUMN Dikecam Netizen Alasan Vaksin Covid-19 tidak gratis
Tenaga medis di RS Amerika Serikat mulai menyuntikkan vaksin Covid-19 buatan Pfizer. Foto oleh Manuel Balce Ceneta-Pool/Getty Images/vAFP

Kabar mengenai konferensi pers yang diadakan gabungan BUMN farmasi di Jakarta, 5 Desember lalu dikecam netizen habis-habisan. Respons negatif tersebut semestinya tak terlalu mengejutkan, mengingat acara tersebut diberi judul “Bisnis Vaksin Corona Bakal Semakin Menyehatkan Holding BUMN Farmasi”. 

Situs surat kabar ekonomi Kontan menjadi yang pertama kali membuat berita dari konpers tersebut. Konpers tersebut baru marak dibahas Senin (14/2), setelah dijadikan post Instagram oleh akun @forumhumasbumn, dan postingan itu diangkut netizen lain ke Twitter. Kontroversi lain mengenai strategi pemerintah menangani pandemi segera merebak. Kecaman muncul dari pengguna medsos awam sampai ekonom.

Iklan

Topik acara tersebut, menurut laporan Kontan, sebetulnya terkait prediksi akuisisi pasar BUMN farmasi untuk 2021 yang berpeluang makin tinggi, berkat penjualan produk penanganan pandemi. Mulai dari masker, alat tes deteksi, dan nantinya vaksin. Prediksi itu optimistis lantaran pemerintah sudah menyerahkan hak ‘monopoli’ (diksi yang dihindari Erick Thohir) pengadaan vaksin ke BUMN farmasi, yang diinduki PT Indofarma.

Detail pengadaannya sebagai berikut: PT Bio Farma kebagian hak mengimpor vaksin Sinovac dari Tiongkok, PT Indofarma mengimpor vaksin Novavax dari Amerika Serikat serta memasok jarum suntik, lalu PT Kimia Farma mengimpor vaksin Sinopharm dari Uni Emirat Arab-Tiongkok.

FYI, pada 1 Desember lalu Menteri Erick Thohir menyatakan cuma BUMN farmasi yang boleh mengimpor dan mendistribusikan vaksin corona. Tujuannya demi menghindari kebingungan harga dan merek di masyarakat, serta memastikan kesatuan data penyebaran vaksin. Keterlibatan swasta boleh ikut mengimpor vaksin baru akan dipertimbangkan pada 2022 atau 2023.

Problemnya, menurut banyak komentor di medsos, framing diskusi Forum Humas BUMN itu tidak sensitif lantaran mengulas potensi penetrasi bisnis vaksin di tengah pandemi. Apalagi sampai menyinggung aspek “bisnis yang semakin sehat” dan “biarpun penjualan naik, margin tidak tumbuh signifikan”.

Iklan

Pemerintah pun tengah diprotes karena hanya memvaksinasi gratis 93 juta peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan dan tenaga kesehatan. Sisanya, 175 juta penduduk, harus membeli sendiri vaksin mereka—atau dalam bahasa pemerintah: “vaksinasi mandiri”. Muncul kesan, BUMN farmasi masih saja mikirin untung di tengah penderitaan orang banyak?

Tudingan cari untung itu segera ditangkis Staf Menteri BUMN Arya Sinulingga. "Yang pasti konteksnya bukan bisnis—bukan bisnis yang seperti yang diperkirakan orang. Kami kan ditugaskan dalam pengadaan, jadi bukan dalam konteks bisnis. Kalau bisnis kan dia memang komersial. Ini kan tujuan vaksin itu bukan untuk komersial. Jadi ini masalah persepsi yang dilakukanlah," kata staf menteri BUMN Arya Sinulingga saat dikonfirmasi CNN Indonesia.

Untuk meredam sangkaan itu, Arya menyebut harga vaksin akan diatur pemerintah. Pembelaan serupa juga disampaikan Bio Farma. “Bio Farma untuk [pengadaan] vaksin ini kan penugasan dari pemerintah. Kami melakukan pengadaan untuk mendapatkan akses supply vaksin. Untuk jenis vaksin, jumlah harga ditetapkan oleh pemerintah," ujar Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir (14/12) kepada CNN Indonesia. Untuk menenangkan publik, Honesti juga mengatakan “Swasta akan dilibatkan” dalam alur vaksinasi ini.

Iklan

Berdasar catatan Kementerian Keuangan, total anggaran untuk berbagai kebijakan merespons Covid-19, termasuk pengadaan vaksin, mencapai Rp95,6 triliun hingga 2021. Sepanjang tahun ini, Kemenkes telah membelanjakan Rp637,3 miliar khusus untuk pengadaan vaksin, yakni tiga juta dosis dari Sinovac dan 100 ribu dosis dari Cansino.

Erick Thohir bulan lalu mewanti-wanti bahwa anggaran pemerintah terbatas, dan sektor yang harus dibantu dengan APBN sangat beragam, tidak cuma pengadaan vaksin. Karenanya, adanya vaksin berbayar tujuannya meringankan beban pemerintah. “Masyarakat mampu sendiri ya pada saat ini harus bisa bantu pemerintah dan bantu yang kurang mampu,” kata menteri BUMN seperti dilansir Republika.

Skema vaksin yang digratiskan adalah 70:30, dari target 107 juta orang dalam kurun 2020-2021. Artinya, 32 juta mendapat vaksin gratis, sementara 75 juta diminta rela membayar sendiri biaya vaksinasinya. DPR saat ini meminta Kementerian Keuangan untuk membalik skemanya, menjadi mayoritas yang mendapat vaksinasi gratis.

Kemenkeu mengaku butuh membahas perubahan skema anggaran vaksin itu, bila memang disetujui presiden menjadi lebih banyak yang gratis, lewat rapat kabinet. “Nanti akan kita putuskan secara komprehensif terkait komposisi, jumlah, waktu, target beserta anggarannya pada waktunya,” kata Askolani, Dirjen Anggaran Kemenkeu, saat diwawancarai Kontan.

Sementara menurut pakar penyakit menular (epidemiolog) Universitas Indonesia, Pandu Riono, pola pikir mencari untung dari pengadaan vaksin problematis sejak awal. Apalagi kondisi sedang pandemi yang darurat, dan vaksinasi adalah kebijakan intervensi kesehatan.

“Bila vaksinasi itu dianggap sebagai intervensi kesehatan publik untuk atasi pandemi Covid-19 maka harus dibiayai oleh negara,” ujarnya. “Seharusnya distribusi vaksin semuanya harus gratis dan sukarela.”