Foto wajah asli dan hasil rekayasa deepfake semakin canggih sulit dibedakan mata manusia
Foto wajah asli dan hasil rekayasa deepfake. Kolase oleh Sophie J. Nightingale dari Lancaster University, Inggris dan Hany Farid dari University of California, Berkeley
deepfake

Makin Banyak Orang Tertipu Wajah Hasil Deepfake, Kalian Bisa Jadi Salah Satunya

Semakin banyak perusahaan teknologi menggunakan teknologi deepfake demi keperluan marketing, membuat batasan antara yang asli dan palsu menjadi semakin kabur.

Sebagian besar dari kita belum bisa membedakan wajah manusia asli dengan yang dimanipulasi secara algoritmik. Fakta ini terungkap dalam penelitian yang diterbitkan Selasa kemarin di jurnal peer-review PNAS.

Sophie J. Nightingale dari Lancaster University, Inggris, bekerja sama dengan Hany Farid dari University of California, Berkeley dalam tiga eksperimen yang menguji kemampuan orang membedakan wajah asli dan hasil rekayasa teknologi deepfake.

Iklan

“Evaluasi kami terhadap fotorealisme wajah buatan AI menunjukkan, mesin sintesis telah melewati batas wajar manusia dan mampu menciptakan wajah-wajah yang sangat mirip dengan—dan lebih tepercaya dari—wajah asli,” tulis peneliti.

Kolase foto manusia sungguhan dan palsu yang digunakan selama eksperimen.

Kolase foto manusia sungguhan dan palsu yang digunakan selama eksperimen.

Pada percobaan pertama, peneliti meminta 315 peserta menentukan mana saja wajah asli, dan mana foto yang telah diutak-atik menggunakan deepfake. Jawaban mereka memiliki tingkat akurasi 48,2 persen. Nightingale dan Farid lalu mengumpulkan 219 responden baru dan menugaskan hal yang sama. Para peserta menerima umpan balik selama eksperimen kedua berlangsung. Skor mereka naik jadi 59 persen.

Percobaan ketiga menjadi yang paling menarik. 223 peserta dihadapkan pada lebih banyak foto, tapi kali ini mereka harus menilai wajah berdasarkan skala kepercayaan yang mereka rasakan. Manusia diketahui cukup pandai membuat penilaian cepat tentang seberapa besar seseorang bisa dipercaya hanya dari ekspresi muka mereka, sehingga peneliti menduga ini berkorelasi dengan cara peserta mendeteksi wajah asli dan palsu. 

Kedua peneliti melaporkan temuan yang cukup mengejutkan. Peserta merasa sedikit lebih percaya pada wajah deepfake daripada foto model sungguhan. Menurut peneliti, ini karena wajah palsu terbuat dari gabungan wajah manusia rata-rata.

Para peserta sering keliru saat mengamati wajah laki-laki dan perempuan kulit putih, dengan wajah laki-laki dinilai kurang akurat dibandingkan perempuan. “Kami berhipotesis wajah kulit putih lebih sulit diklasifikasikan karena terlalu banyak muncul dalam kumpulan data pelatihan StyleGAN2, sehingga terlihat lebih realistis,” demikian bunyi penelitiannya.

Sudah dilakukan berbagai upaya mendeteksi deepfake sejak teknologi manipulasi wajah ini naik ke permukaan pada 2017. Banyak pihak, termasuk pemerintah, menggelontorkan dana besar-besaran demi “memerangi deepfake”. Dewasa ini, bahkan banyak perusahaan teknologi yang menciptakan deepfake untuk keperluan komersial. Namun, bagi Nightingale dan Farid, “teknik yang ada saat ini belum cukup efisien dan akurat untuk bersaing dengan arus unggahan harian”, sehingga akhirnya kita sendirilah yang harus bisa membedakan orang sungguhan dengan yang palsu di internet. Sayangnya, kita belum sehebat itu.