Korupsi

Juliari Batubara Terbukti Terima Suap Dana Bansos, Divonis 12 Tahun Penjara

Mantan mensos sekaligus politikus PDIP itu dihukum setahun lebih lama dari tuntutan jaksa. Dia diwajibkan menyetor pengganti kerugian negara sebesar Rp14,59 miliar, serta dicabut hak politiknya.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor vonis Juliari Batubara 12 tahun penjara dalam kasus suap bansos Covid-19
Mantan mensos Juliari Batubara saat digelandang ke KPK karena terlibat suap bansos Covid-19. Foto oleh Eko Siswono Toyudho/Anadolu Agency via Getty Images

Mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara divonis 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan, setelah dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi bansos Covid-19. Hukuman ini lebih lama satu tahun, dibanding tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Iklan

Selain itu, hakim juga menjatuhkan pidana tambahan uang pengganti Rp14,59 miliar yang jika tidak bisa dibayar maka diganti kurungan di balik jeruji besi selama dua tahun. Juliari pun dicabut hak politik untuk dipilih sebagai pejabat publik selama empat tahun usai menyelesaikan pidana pokok.

Menurut dokumen persidangan yang dibacakan majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (23/8), Juliari terbukti menerima suap sebesar Rp32,482 miliar.

Fakta persidangan juga mengungkap bahwa kader PDI Perjuangan itu memerintahkan pejabat Kementerian Sosial yaitu Kuasa Pengguna Anggara (KPA) bansos Adi Wahyono dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bansos Matheus Joko Santoso untuk memungut fee sebesar Rp10 ribu ke penyedia bansos.

“Saksi Adi menyampaikan itu ke Sekjen [Kemensos] Hartono, kemudian untuk menindaklanjuti arahan Adi dan Juliari, Matheus Joko meminta fee kepada penyedia bansos,” kata hakim.

Juliari disebut sudah menikmati fee sebesar Rp15.106.250.000. Beberapa uang hasil suap itu dipakai untuk membiayai operasional Juliari seperti biaya sewa pesawat pribadi serta penyelenggaraan sebuah acara di Labuan Bajo yang mengundang pedangdut Cita Citata. 

Sementara, ada sisa uang yang masih tersimpan di dalam koper Matheus Joko Santoso. KPK menyitanya pada tahun lalu ketika melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Dalam sesi pembacaan pleidoi pada 9 Agustus 2021, Juliari sempat meminta dibebaskan dari segala dakwaan. Juliari beralasan skema suap itu dijalankan anak buahnya di Kemensos, lalu berdalih dia tak terlibat sama sekali atau menerimanya sepeserpun.

Iklan

“Dalam benak saya, hanya Majelis Hakim Yang Mulia yang dapat mengakhiri penderitaan lahir dan batin dari keluarga saya, yang sudah menderita bukan hanya dipermalukan, tetapi juga dihujat untuk sesuatu yang mereka tidak mengerti. Badai kebencian dan hujatan terhadap saya dan keluarga saya akan berakhir tergantung dengan putusan dari Majelis Hakim Yang Mulia," kata politikus 49 tahun tersebut.

Namun, dari pertimbangan hakim, praktik pemungutan suap terhadap setiap perusahaan vendor yang terlibat proyek bansos Covid-19 terbukti dengan meyakinkan. Alhasil Juliari kini harus meringkuk di balik teralis besi, menyusul sesama rekannya di kabinet, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari partai Gerindra yang terbukti memainkan izin ekspor benih lobster alias benur.

Ketua KPK Firli Bahuri sempat menyebut adanya potensi menjerat bekas menteri sosial Juliari Peter Batubara dengan pasal hukuman mati, mengingat praktik suap lancung ini dijalankan saat Indonesia sedang darurat pandemi. Namun KPK akhirnya memilih tidak menerapkan pasal 2 atau 3 UU Tipikor, yang membuka kemungkinan pidana mati bagi pelaku korupsi. Pada pasal 2 ayat 2 beleid tersebut, dijelaskan bahwa tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu seperti saat darurat Covid-19, sebetulnya pidana mati dapat dijatuhkan.

Juliari terbukti memerintahkan anak buahnya di Kemensos, yaitu Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono, mengutip fee senilai Rp10 ribu per paket bansos sembako ke para rekanan penyedia bansos Covid-19. Seluruh duit itu kemudian disetor ke sang menteri.

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar sebetulnya melihat kemungkinan penjeratan pasal pidana mati untuk kasus suap yang dilakukan Juliari. Sebab, perbuatan sengaja yang merugikan keuangan negara, lebih-lebih dilakukan di tengah suasana pandemi. “Untuk penjeraan, kiranya pantas hukuman maksimal diterapkan bagi korupsi yang dilakukan pada masa pandemi ini,” kata Abdul Fickar.