FYI.

This story is over 5 years old.

Museum di Surabaya Ini Bakal Membuatmu Terobsesi Pada Kematian

Tradisi nusantara amat terobsesi pada ritual kematian. Setelah sekian tahun dikaji sambil lalu, akhirnya museum etnografi di Universitas Airlangga ini akan membuat peneliti dan 'pecinta' kematian terpukau.
Kerangka asli ini dipasang di dalam museum kematian dalam kawasan Universitas Airlangga.
Semua foto oleh W. Andriana

Lupakan semua kenangan buruk kalian ketika nyaris 'mati' kebosanan dipaksa sekolah berkunjung ke museum dalam kedok study tour. Kalian tidak akan merasakan kebosanan yang sama dari museum di Surabaya ini. Bagaimana bisa bosan, jika yang berulang kali kalian saksikan adalah sekian penjelasan dan pengingat, bahwa manusia begitu fana dan kalian akan jadi seonggok jasad. 'Mati' dalam sekujur gedung museum ini hadir dalam wujudnya yang paling wadag—bukan sekadar metafora.

Iklan

Setelah melangkahkan kaki ke dalam museum, siapapun pasti langsung paham kenapa bangunan ini disebut museum kematian. Begitu melewati pintu depan, pengunjung akan menyaksikan replika tengkorak menggantung di langit-langit ruangan. Belum lagi aroma dupa yang dibakar memenuhi ruangan depan yang sekaligus menjadi tempat pengunjung mengisi buku tamu. Suara jangkrik terdengar sayup-sayup di kejauhan. Di beberapa pojok, kalian juga dapat mendengar lagu latar melankolis khas film-film horor.

Kontras dengan setting tadi, sebetulnya tak terasa seram sama sekali di dalam. Sangat ramai manusia saat VICE berkunjung siang itu. Puluhan mahasiswa, rata-rata dari jurusan antropologi, berkerumun memandangi ribuan barang seputar kematian di museum. Bagian dinding penuh infografis yang berhubungan dengan serba-serbi kematian. Mulai dari bagaimana sebetulnya proses tubuh ketika kita mati, hingga prosesi pemakaman di banyak tradisi nusantara.

Indonesia adalah bangsa yang terobsesi pada kematian. Begitu banyak budaya tradisi yang memberi penekanan khusus untuk memahami, atau bahkan merayakan jasad yang tak lagi bernyawa dan diandaikan pindah ke alam lain. Misalnya liputan VICE sebelumnya yang mendatangi tradisi 'membersihkan' jasad di Toraja. Setelah sekian lama hanya dikaji sambil lalu, akhirnya ada museum yang secara khusus menyorot macam-macam tradisi tersebut.

Ada lima prosesi pemakaman di Indonesia yang dijelaskan mendetail dalam museum ini. Di antaranya, tradisi Brobosan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa Timur. Tradisi ini dilakukan dengan mengitari bawah keranda oleh keluarga yang ditinggalkan mendiang.

Iklan
1539759611369-Kematian-5

Lalu, ada juga tradisi Saur Matua yang dilakukan oleh Suku Batak. Tradisi itu sebagai upacara penghormatan jika anak si mendiang telah menikah seluruhnya. Tradisi itu dilakukan dengan menggelar pertemuan di sekeliling mendiang. Kemudian, ada penjelasan soal tradisi Ngaben atau kremasi yang biasa dilakukan masyarakat Hindu dan Tionghoa di nusantara.

Berikutnya, tradisi Rambu Solo yang biasa dilakukan oleh Suku Toraja, yakni dengan menggelar pesta guna menghormati keluarga yang meninggal. Dan, yang cukup unik adalah membiarkan si jenazah tergeletak, alias tidak menguburkannya hingga berubah menjadi tulang belulang. Ini biasa dilakukan oleh komunitas masyarakat Bangli, Bali.

1539759702491-Kematian-1

Tenang, ini jasad replika.

Tentu saja tidak semua penjelasan muncul dalam bentuk gambar atau infografis. Kerangka tulang belulang asli juga di-set sedemikian rupa agar menyerupai pemakaman yang ada di daerah asalnya. "Ini [jasad] asli, bagian tubuhnya utuh," kata Delta Bayu Murti, kurator museum, sembari menunjukkan bagian tendon di telapak kaki yang sudah mengering. Kerangka manusia itu didesain laiknya makam di Trunyan, Bali. Kerangka betulan itu hanya ditutup kain merah.

Ide mendirikan museum ini datang dari Prof. Habil Josef Glinka bersama A. Adi Sukadana, perintis jurusan antropologi FISIP Universitas Airlangga di Surabaya. Glinka adalah guru besar antropologi budaya. Sedangkan Adi, memiliki konsentrasi pada antropologi fisik/ragawi. Keterangan ini diperoleh VICE usai ngobrol bareng Toetik Koesbardiati, kepala museum tersebut.

Iklan

Glinka dan Adi banyak berkolaborasi hingga sepakat untuk mengumpulkan benda-benda dari yang didapat dari sejumlah lokasi penelitian mereka. Pada 2005, sebuah ruangan kecil di belakang Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dijadikan tempat menyimpannya benda-benda tersebut. "Dulu kan memang kami punya banyak koleksi. Jadi, kami perlu tempat untuk menyimpannya," kata Toetik. Rupanya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi bersedia mendukung pendanaannya. Konsep museum yang tak lazim itu akhirnya diganjar Anugerah Purwakalagrha Indonesia Musem Awards 2018 sebagai museum terunik di Indonesia.

1539759575852-Kematian-4

Nah, jasad ini juga sayangnya cuma replika.

Museum itu berdiri dengan ukuran 8x24 meter, lokasinya ada di Kampus B, tepat di pojok Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unair. Sangat mudah ditemukan dari jalan raya. Terdapat tiga ruangan utama. Yang paling besar adalah ruang koleksi. Ruang kedua adalah laboratorium, serta ruang pertemuan yang keduanya berada di samping belakang ruang koleksi. Di sini pula biasanya tim antropologi dimintai bantuan aparat dalam hal analisis forensik sebuah kasus kematian.

Sesuai namanya, pengunjung akan melihat banyak sekali jasad. Museum ini menyimpan banyak sekali jasad asli. Misalnya, kerangka yang dipakai sebagai contoh tradisi pemakaman Trunyan di bagian depan museum. Kata Bayu, kerangka dari jasad manusia betulan, walau bukan dari Bali. "Itu hasil pinjam pakai dari polisi," ungkap Bayu.


Tonton dokumenter VICE menyorot tradisi Toraja yang justru sangat bergembira (dan mahal) merayakan kematian:

Iklan

Menurut Bayu, kepolisian turut berandil besar melengkapi koleksi museum ini. Sebab, mereka yang memberi izin penggunaan kerangka jenazah untuk dipajang di museum tersebut. Kerangka-kerangka itu biasanya merupakan milik jenazah yang tidak diketahui identitasnya, biasa disebut Mr X.

Selain kerangka pada ruang depan museum, benda asli lain yang bisa ditemui adalah tengkorak kepala milik tokoh suku Asmat yang tersimpan rapat di kotak kaca bagian tengah museum. Melalui koleksi ini, pengunjung bisa mendapat informasi bagaimana orang-orang suku Asmat memperlakukan tetua ketika meninggal.

"Karena di sana (Suku Asmat-red), seorang kepala suku atau tokoh ketika meninggal, ada perlakuan berbeda ketika meninggal dunia," kata Bayu. Saat ini, pihaknya tengah berupaya mencari tengkorak kepala untuk jenazah perempuan asal Suku Asmat.

Menurut Toetik, semula, museum ini hanya dimaksudkan sebagai media pembelajaran dan penelitian bagi mahasiswa. Tetapi, karena tingginya animo publik, fasilitas kampus ini akhirnya dibuka untuk umum sejak lima tahun lalu.

1539759543656-Kematian-7

Bayu (kanan) dan Toetik menjelaskan tulang belulang yang jadi koleksi museum.

Bayu menjelaskan, banyak pihak perorangan yang justru bersemangat menyumbangkan koleksi jasad keluarga setelah mendengar misi museum ini. Misalnya saja, ada peti mati milik bocah asal Tuban. Oleh kelurganya, barang tersebut diberikan untuk dijadikan koleksi museum.

Toetik menuturkan, semua jasad dan peti mati tersebut bukan hanya untuk memancing pengunjung datang. Semua koleksi pasti berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Tanah Air, utamanya di bidang antropologi forensik.

"Rangka manusia bisa bisa direkontruksi untuk menentukan bagaimana orang itu meninggal, dari ras apa, berapa usianya, tinggi badan serta jenis kelaminnya," kata Toetik. "Di museum inilah kami ingin memadukan sumber pengetahuan itu."