“Gunung” itu menyambutmu dari kejauhan, dengan kawanan lalat dan aroma busuk menyengat yang menyeruak. Iring-iringan truk mengantre sejak pagi hingga sore, membawa semua benda yang kau buang setelah selesai dikonsumsi. Bantargebang memang layak disebut sebagai gunung sampah.
Beberapa waktu lalu, aktor kawakan Hollywood Leonardo DiCaprio sempat mengunggah postingan menyentil tentang Indonesia. Sebagai aktivis lingkungan hidup yang gigih di luar kegiatan syuting, Leo memposting ulang foto @natgeo menyoroti kondisi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. Leo menyebutnya sebagai tempat pembuangan sampah terbesar di dunia. Dalam foto itu, kita bisa melihat pemulung tengah mengais rezeki di tengah lautan sampah plastik.
Videos by VICE
Jauh sebelum postingan Leo muncul, sudah banyak media yang memberitakan betapa TPST Bantargebang tak lagi mampu menampung sampah Jakarta. Setiap harinya, ada sekitar 6.500-7.000 ton sampah yang masuk ke Bantargebang. Apabila pengelolaannya belum juga maksimal, maka TPST yang terletak di Bekasi ini terancam ditutup pada 2021.
Anggota DPRD DKI Jakarta Bestari Barus sempat meminta bantuan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini untuk menangani masalah sampah ibu kota yang tak kunjung terurai. Disebut-sebut menyanggupi permintaan Bestari, Risma memberi klarifikasi kepada Kompas.com bahwa kejadiannya tidak seperti yang ramai dibicarakan. Risma mengatakan hanya menjawab pertanyaan Bestari terkait langkah yang diambil Kota Pahlawan dalam mengelola sampahnya. Dia sama sekali tidak mengiyakan ajakan membantu Jakarta mengatasi persoalan pelik ini.
Saya sendiri sering mendengar betapa timbunan sampa Bantargebang sudah menyerupai gunung. VICE juga pernah mengulik tentang sampah plastik di Indonesia sebelumnya, tapi saya tetap tak mampu membayangkan seburuk apa. Segala keributan tadi akhirnya membuat saya tergerak untuk menyaksikan sendiri situasi sesungguhnya di TPST Bantargebang.
Antrean truk cukup panjang jelang siang hari. Truk-truk tersebut bisa ditemukan dari jalan masuk Pangkalan Lima sampai ke pintu gerbang TPST Bantargebang di Kelurahan Ciketing Udik, Bekasi.
Kendaraan operasional ini tidak perlu menunggu lama untuk melewati pos timbangan. Setelah diambil alih Dinas Kebersihan DKI Jakarta, truk-truk pengangkut sampah yang datang dari berbagai belahan ibu kota bisa memasuki wilayah TPA kurang dari dua jam.
‘Pegunungan’ sampah di Bantargebang memang tinggi banget. Berdasarkan sejumlah laporan, tumpukan sampah di setiap zona sudah mencapai 40 meter pada 2018. Melihat ini, saya jadi penasaran apakah sampahnya murni berasal dari Jakarta atau ada juga kiriman dari luar negeri, seperti yang dilakukan Australia. Ketika ditanyakan, petugas TPST Bantargebang untuk Provinsi DKI Jakarta Edi Sudrajat mengklaim sama sekali tidak menerima buangan liar—termasuk sampah impor—karena pengelolaannya sudah jauh lebih baik daripada saat dipegang swasta.
Di sela-sela ngobrol bareng Edi, saya bisa melihat ada banyak pemulung yang menuruni lereng gunung tersebut. Mereka seakan-akan sudah hafal pijakan aman mendaki gunungan sampah itu, bagaikan halaman rumah sendiri.
Padahal Sampah yang ditimbun di Bantargebang tidak semuanya kering, sehingga bisa saja licin jika diinjak. Adakah pemulung yang pernah tergelincir sampai kehilangan nyawa? Lalu, bagaimana dengan musim hujan? Apakah mereka tetap mencari sampah di cuaca buruk seperti itu?
Ari* adalah salah satu pemulung yang sudah lama menggantungkan nasib pada sampah Bantargebang. Lelaki berusia 53 merupakan pendatang dari Cibinong, dan dia rutin mencari terpal buangan. “Kalau saya [jadi pemulung ]dari enam tahun lah,” ujarnya.
Soal kemampuannya mendaki gunungan sampah, Ari bilang kalau sebenarnya ada pijakan-pijakan yang memudahkan pemulung memanjat sampai paling atas. Terpeleset dan tak sengaja menginjak benda tajam adalah hal biasa. Tetapi sudah lama sekali tak ada insiden pemulung yang sampai tewas terperosok di gunung sampah ini. Insiden mematikan terakhir terjadi pada 26 Januari 2017, ketika seorang pemulung bernama Rusminah tewas tertimbun longsoran sampah Bantargebang.
“Yang sering mah gelinding, apalagi [pas] hujan. Sekarang kan musim kemarau, kalau musim hujan enggak begini,” kata Ari. Kalaupun terluka saat bekerja, mereka sadar untuk segera mengobatinya ke puskesmas terdekat atau dengan obat warung. Salah satu dari mereka mengaku tidak mendapat jaminan kesehatan seperti BPJS, bahkan setelah mereka mengganti KK dan KTP-nya menjadi orang Bekasi.
“Ah apaan, yang pada bikin [KTP dan KK] sini aja enggak dikasih BPJS. Cuma orang sini aja yang dikasih.” Ari lebih lanjut menerangkan tidak ada pemulung yang mencari sampah saat hujan turun. Mereka baru akan melanjutkan pekerjaannya ketika hujan berhenti dan genangannya sudah surut. “Berhenti lah [pas hujan]. Kita hati-hati aja, kalau di tengah ada sih [pijakannya]. Kalau pas angin kencang, pada turun semua [pemulungnya].”
Kelebihan daya tampung bukan satu-satunya masalah TPST Bantargebang. Risiko pencemaran lingkungan turut mengintai. Meski lingkungan di sekitar zona sudah cukup tertata rapi—kecuali di titik buang tempat truk dan alat berat berkumpul yang mana air lindi dari dalam truk mengalir ke jalanan—kondisi permukiman baik di luar maupun dalam kawasan amat memprihatinkan.
Kendaraan pengangkut sampah yang datang silih berganti membuat warga dan pemulung terpaksa menghirup bau sampah yang amat mengganggu setiap harinya. Baunya mungkin belum seberapa saat masih pagi dan siang hari, tetapi semakin terasa menjelang sore dan malam hari. Menurut pengakuan pengemudi taksi online yang tinggal tak jauh dari TPST Bantargebang, semilir angin sore membuat aroma sampahnya menyebar hingga radius belasan kilometer.
TPST Bantargebang masih menerapkan sistem open dumping yang membiarkan sampah menumpuk hingga tinggi di lahan terbuka. Padahal, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah telah melarang dilakukannya metode ini. Open dumping sangat berbahaya, karena dapat menyebabkan longsor dan melepaskan zat-zat kimia beracun dari sampah ke udara.
Misalnya saja seperti gas methane atau metana (CH4) yang dihasilkan dari penguraian sampah organik. Paparan metana yang berlebihan dapat membawa dampak buruk bagi kesehatan manusia—bahkan kematian—dan merusak planet. Gas metana memicu pemanasan global, karena mampu menyerap panas 34 kali lebih tinggi daripada karbon dioksida dalam skala waktu 100 tahun.
Edi mengatakan warga menerima kompensasi atau uang bau senilai Rp900 ribu per triwulan (walaupun banyak media lokal menyebutkan hanya Rp600 ribu setiap tiga bulan). Apakah hak mereka untuk hidup sehat tanpa udara tercemar bisa dibayar semurah itu?
Kehidupan warga di setiap musim pun sama beratnya. Angin berdebu yang terseret truk saat musim kemarau dapat membahayakan saluran pernapasan dan penglihatan mereka. Sementara itu, tetesan air lindi dari sampah yang basah kehujanan membuat warga lebih rentan terkena penyakit seperti diare dikarenakan lingkungan kotor dan penuh lalat.
Kualitas air di wilayah Bantargebang juga patut dipertanyakan. Walaupun sumur artesis dikabarkan telah dibangun, air yang mengalir ke rumah warga tak dijamin kebersihannya. Ketika ditanyakan soal air, para pemulung di sana bilang airnya tidak kotor. Akan tetapi, tak ada yang tahu apakah cairan sampah bisa merembes ke sumur buatan itu atau tidak. Bagi Edi yang setiap hari menghabiskan waktunya bekerja di TPA, air di kawasan Bantargebang tidak enak sama sekali. Sumur artesis dinilai tidak efektif.
“Kalau yang di sini enggak. Menurut saya yang di sini enggak enak. Makanya dibikin sumur artesis, kedalamannya hampir 50 meter dan sekarang sudah berjalan. Tapi ke sini enggak sampai malah, di wilayah dekat TPA. Tapi katanya mau ada susulan juga.”
Kita juga tak bisa menutup kemungkinan adanya polusi suara. Truk sampah yang keluar masuk 24 jam penuh, ditambah bunyi bising alat berat yang beroperasi tanpa henti, pastinya mengganggu ketenangan warga. Khususnya di malam hari, waktunya mereka beristirahat.
Terlepas dari semua itu, overload tetap menjadi kekhawatiran utama bagi TPST Bantargebang. Permasalahan sampah Jakarta ibarat bom waktu yang tinggal menunggu kapan akan meledak. Menyadari betapa kritis kondisinya, Dinas Lingkungan Hidup dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berusaha melakukan beberapa upaya untuk menanganinya.
Salah satu di antaranya yaitu bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) menggunakan proses termal. Dilansir dari Tirto.id, pilot project PLTSa sudah mulai beroperasi pada akhir Maret 2019. Teknologi waste-to-energy ini ditargetkan bisa menghabiskan hingga 100 ton sampah setiap harinya, dan menghasilkan listrik sebanyak 700 kWh. Proses termal dijadikan pilihan dalam mengolah sampah dikarenakan, “sampah Indonesia… kondisinya tercampur. Selain [itu] juga mengandung bahan organik tinggi, kelembaban tinggi, dan dengan nilai kalori yang rendah,” kata Kepala BPPT Hammam Riza dalam pernyataan.
Prosesnya melibatkan insinerator atau pembakaran sampah, tetapi Hammam menjamin teknologi ini ramah lingkungan. Informasi dalam situs BPPT menjelaskan PLTSa yang dibangun di TPST Bantargebang memiliki tiga peralatan utama guna meminimalisir kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan.
Bunker berfungsi sebagai tempat penampung sampah yang dilengkapi platform, grab crane, dan ruang bakar sistem reciprocating grate. Alatnya berguna untuk membakar sampah dengan suhu di atas 850 derajat Celsius. Dengan begini, pembentukan senyawa kimia beracun seperti Dioksin dan Furan dapat diminimalisir.
PLTSa juga dilengkapi Pengendali Pencemaran Udara untuk membersihkan bahan berbahaya yang terbawa dalam gas buang. Alat terakhir adalah unit pre-treatment yang bertugas memilah sampah tertentu yang tidak diizinkan masuk ke PLTSa, seperti logam, kaca, batu, limbah B3 dan sampah berukuran besar.
Pembangkit listriknya masih dalam tahap pengujian, dan Hammam berharap proses pembakarannya tidak melepaskan material berbahaya ke udara. VICE telah menghubungi pihak BPPT untuk mengetahui seberapa efektif dan sudah sejauh mana pengujian PLTSa, tetapi tidak menerima tanggapan dari mereka.
Pegiat lingkungan justru berpendapat sebaliknya. PLTSa alias waste-to-energy bukanlah solusi tepat dalam mengurangi jumlah sampah yang sudah membludak. Proses insinerator hanya akan memperburuk kerusakan lingkungan. Tak sebatas itu saja, pemerintah seharusnya memberikan bukti kelayakan dan menyosialisasikan risiko kesehatan publik sebelum memutuskan untuk membangun PLTSa teknologi termal.
Fajri Fadhillah, peneliti hukum pada divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), berujar belum pernah menerima analisis dampak lingkungan (AMDAL) dari pilot project PLTSa Bantargebang. VICE juga sudah berusaha mencari bukti kelayakannya, tetapi hasilnya nihil.
“Bukti kelayakan ini yang sulit kami akses informasinya. Dokumen studi AMDAL dari pilot project PLTSa Bantargebang ini belum pernah kita terima,” kata Fajri. “Pihak BPPT dan Pemprov DKI Jakarta menyampaikan mereka sudah melakukan studi AMDAL untuk PLTSa Bantargebang, tapi coba cek website DLH Kota atau Kab. Bekasi. Biasanya dokumen AMDAL kayak gini enggak mereka publikasikan secara sukarela. Padahal itu informasi publik.”
VICE juga sudah berusaha mencari bukti kelayakan versi pemerintah setempat sebagai pembanding, tetapi hasilnya nihil.
Muharram Atha Rasyadi, Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, menjelaskan setengah dari komposisi sampah Indonesia merupakan sampah sisa rumah tangga atau organik sehingga tidak cocok untuk dibakar karena nilai kalornya rendah. Juru Kampanye Energi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Dwi Sawung, kemudian menimpali bahwa proses insinerasi di PLTSa Bantargebang tidak memenuhi kriteria pertama, yakni memisahkan antara sampah beracun dengan yang tidak
Menurut Atha, pembakaran sampah basah lebih memakan biaya. Tak seperti sampah kering, sampah basah harus melewati proses pre-treatment terlebih dulu untuk dikeringkan. Lebih lanjut, insineratornya memerlukan bahan bakar tambahan supaya memberikan hasil optimal. “Pembakarannya memerlukan biaya yang lebih besar jika dibandingkan sampah kering, karena ada kemungkinan dilakukan proses pre-treatment untuk pengeringan, ataupun penambahan bahan bakar lain agar pembakaran lebih optimal.”
Apa yang ditakutkan Hammam bisa saja terjadi. Fajri memberi tahu VICE, pembakaran sampah dalam PLTSa akan menghasilkan residu berupa fly ash (abu terbang) dan bottom ash (abu yang tidak naik). Hasil akhir ini tak selamanya bisa disimpan, sehingga harus segera diolah agar tidak merugikan kesehatan dan lingkungan. Masalahnya, tak banyak pihak yang bisa mengolah abu beracun tersebut.
“Pengelola PLTSa harus punya tempat khusus untuk penyimpanan sementara abu residu pembakarannya. Abu residu pembakaran PLTSa, yang disebut Fly Ash dan Bottom Ash, enggak bisa disimpan selamanya oleh pengelola PLTSa. Pada akhirnya, abu residunya harus diolah juga. Hanya ada sedikit pihak yang bisa mengolah abu limbah B3.”
Sebagaimana dipaparkan The Conversation Indonesia, PLTSa berteknologi termal masih sangat mungkin mengeluarkan dioksin yang berpotensi menyebabkan kanker, menghambat reproduksi dan perkembangan, merusak sistem imun, dan mengganggu hormon. Ini sejalan dengan ucapan Atha bahwa pembakaran sampah dapat melepas dioksin dan furan ke udara. Kedua zat ini sangat berbahaya bagi manusia.
Kalau begitu, bagaimana sebaiknya masalah kelebihan daya tampung ditangani? Baik Atha maupun Fajri menyebutkan solusi paling tepat yaitu mengurangi sampah dari hulu. Itu berarti produsen dan masyarakat harus sama-sama bijak sampah. Produsen sebisa mungkin meminimalkan pembuatan produk yang pada akhirnya menimbulkan sampah.
Bahkan, akan lebih baik lagi jika berhenti menciptakan produk sekali pakai atau yang tidak dapat didaur ulang. Sementara itu, kita sebagai masyarakat bisa memulainya dengan berhenti membuang-buang makanan dan memilah sampah sebelum dibuang ke tempat sampah. Alasannya agar proses daur ulang lebih mudah dilakukan. Jangan sampai sampah kita berakhir menggunung di TPA karena tidak dapat diolah kembali.
Lalu, apa yang akan terjadi jika pemprov DKI gagal mengatasi overload? Bagaimana masalah ini dapat memengaruhi penduduk di wilayah TPST Bantargebang Ciketing Udik?
Kesehatan warga dan pemulung di sana lagi-lagi menjadi korbannya. Pencemaran udara dan air akan semakin memburuk. Akibatnya, mereka rentan menderita penyakit kulit, infeksi saluran pernapasan akut, atau bahkan penyakit keras yang berujung kematian.
Pikiranku berkecamuk dengan perasaan tak berdaya, sedih, dan putus asa ketika melihat gunungan sampah itu. Saya juga merasa tak enak hati. Selama ini saya seenaknya membuang sampah, sementara ada orang-orang di luar sana yang menderita karena kebiasaan buruk macam itu.
Satu-satunya yang bisa saya lakukan yaitu mengurangi penggunaan plastik dan barang sekali pakai, memisahkan sampah organik dan anorganik, dan mengambil porsi makanan sesuai kebutuhan agar tidak terbuang sia-sia. Selain itu, saya juga berharap tragedi TPA Leuwigajah takkan pernah terulang kembali.