Health

Kemiskinan Berpengaruh Buruk Terhadap Otak Manusia

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.

Kita sudah hapal lah, yang miskin akan semakin miskin. Berdasarkan satu penelitian, data dari warga Amerika dewasa yang kini hidup dengan pendapatan rendah meningkat dari 25 persen pada 1971 menjadi 29 persen pada 2011. Dampak susulannya, remaja yang besar di keluarga miskin akan menjadi orang dewasa yang miskin pula. Tren sejenis terjadi di seluruh negara. Ilmuwan syaraf mulai memandang tren lingkaran kemiskinan itu memakai perspektif baru. Penelitian terbaru menemukan korelasi bila status sosioekonomi rendah berdampak pada perkembangan otak anak.

Videos by VICE

Ilmuwan sejak lama meneliti bagaimana pemasukan, kekayaan, prestise, dan pendidikan—status sosioekonomi, atau SES—bisa mempengaruhi hal-hal lain. Mereka secara konsisten menemukan individu dengan SES lebih tinggi mengungguli individu dengan SES rendah, pada ujian kecerdasan dan pencapaian akademik. Sebuah penelitian menemukan bahwa rata-rata IQ sekelompok anak-anak dari keluarga miskin di kota hanyalah 80 (padahal rata-ratanya 100 untuk usia berapapun). Ketika pemasukan orangtua menurun, menurun pula kemampuan anak-anak mereka dalam membaca dan mengingat.

Sebuah penelitian menemukan bahwa mereka yang menghabiskan masa kecilnya dalam kemiskinan memiliki hasil tes 20 persen lebih rendah, pada kategori ingatan, dibandingkan anak-anak yang tidak pernah miskin. Kemampuan berbahasa juga berhubungan dengan SES. Sebuah studi klasik menunjukkan bahwa anak berusia 3 tahun dari keluarga profesional memiliki kosakata dua kali lebih luas dibandingkan anak-anak dari keluarga yang hidup dengan bantuan pemerintah.

“Jadi kami tidak terkejut bahwa SES berpengaruh pada otak orang-orang,” ujar Martha Farah, ilmuwan syaraf kognitif di University of Pennsylvania. Memang, hasil MRI baru-baru ini menunjukkan perbedaan luas pada struktur otak anak-anak, tergantung SES mereka, termasuk perbedaan ukuran area otak yang digunakan untuk mengingat dan belajar, fungsi eksekutif, dan lain-lain. Beberapa perbedaan ini, seperti ukuran corteks, dapat diamati sejak usia satu bulan.

Pada sebuah penelitian, diadakan oleh Kim Noble dari Columbia University, anak-anak dari keluarga berpenghasilan $25,000 (sekitar Rp 332 juta) per tahun atau kurang, memiliki permukaan kortikal—lapisan luar otak yang berhubungan dengan bahasa, membaca, dan fungsi eksekutif yang terus bertumbuh dan berkembang saat remaja—enam persen lebih sedikit dibandingkan anak-anak dari keluarga berpenghasilan di atas $150,000 (sekitar Rp 2 milyar). Dampak penghasilan terhadap struktur otak terlihat paling jelas pada anak-anak miskin.

Secara kritis, SES boleh jadi sebab—alih-alih akibat—perbedaan-perbedaan ini. Semakin belia seorang anak mengalami kemiskinan, semakin rendah pula prestasi kognitifnya. Semakin lama hidup dalam kemiskinan, semakin buruk kemampuan seseorang mengingat. Mungkin, yang paling menarik, sebuah penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah perbedaan IQ pada anak-anak disebabkan oleh SES keluarga mereka, alih-alih genetik. Bahkan dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti nenek moyang dan kesehatan, penelitian menunjukkan perbedaan jelas antara anak-anak dengan SES tinggi dan rendah.
Perbedaan tersebut diperparah dengan kemiskinan. Tekanan akibat kemiskinan dapat mengubah otak dengan cara-cara yang dapat semakin mempersulit orang miskin di masyarakat modern.

Misalnya, lingkungan-lingkungan penuh tekanan dapat menghambat perkembangan fungsi eksekutif seorang anak. Fungsi eksekutif adalah keterampilan yang membantu kita berpikir, belakar, membuat rencana, fokus, mengembangkan kosakata kuat, mensintesis konsep-konsep abstrak, dan berhasil di sekolah.

Faktanya, lingkungan tempat tinggal seseorang selama playgroup merupakan prediktor fungsi eksekutif awal yang lebih baik, dibandingkan kualitas sekolah atau tempat penitipan anak. Oleh karena itu, penelitian menunjukkan bahwa stres bisa menjelaskan hubungan antara kemiskinan dan daya ingat rendah.

Sebuah penjelasan mengapa stres berpengaruh besar terhadap fungsi otak adalah, stres kronis mempengaruhi hippokampus, area otak yang penting bagi pembentukkan ingatan, mempelajari informasi konseptual, dan mengatur respon stres. Ketika kita stres, hormon stres kortisol membanjiri hippokampus dan area otak lainnya, seperti corteks prefrontal.
Dengan stres berkelanjutan, hippokampus menjadi kewalahan. Ujung-ujungnya, struktur otak jadi terganggu, yang dapat merusak ingatan dan proses belajar. Dampak stres ini rentan ditemukan pada pengidap PTSD, yang hippocampinya cenderung lebih kecil dan kurang aktif selama penugasan ingatan. Namun hal ini juga terlihat pada orang-orang dengan SES rendah, yang memiliki tingkatan kortisol lebih tinggi.

Lebih parahnya: respon otak kita cenderung membaik setelah ancaman tersebut teratasi. “Sekalinya kita menyadari bahwa ancaman itu telah hilang atau telah usai, kita secepat mungkin menurunkan tingkatan stres, karena paparan terhadap hormon stres terlalu lama bisa jadi buruk bagi kesehatan,” ujar Farah. Namun beberapa penelitian menemukan bahwa amygdala, bagian di samping hippocampus, yang bertanggung jawab untuk mendeteksi ancaman dan membentuk ingatan emosional, lebih aktif pada individu dengan SES rendah. Tunjukkan pada orang miskin—atau orang yang dulunya miskin—dan orang kaya foto wajah-wajah yang mengancam, dan amygdala orang miskin akan lebih aktif untuk waktu yang lebih lama. Dengan kata lain, respons terhadap pemicu stres yang sama, orang-orang dengan SES rendah mungkin bisa lebih stres ketimbang orang-orang dengan SES tinggi.

Hal ini masuk akal: Kalau kamu memiliki banyak ancaman di lingkunganmu, seperti preman-preman, kamu jadi belajar untuk menjadi sangat waspada. Masalanya adalah, kamu jadi lebih sensitif terhadap stres. Konsekuensinya, siklus cemas berangsur-angsur dan fungsi otak yang teralihkan.

Lebih akut lagi, beban berlebihan mental dan emosional dapat mengganggu kontrol diri, yang penting untuk keberhasilan akademis, profesional, dan kehidupan. Melalui lensa neurosains, amat dimengerti bahwa orang dewasa dengan SES lebih tinggi berhubungan dengan melawan impuls dan menunda kesenangan. Sebaliknya, sebuah penelitian menyimpulkan, bahwa orang miskin lebih mungkin dibandingkan yang lainnya untuk “berperilaku yang akan memperparah keadaan buruk mereka.”

Jadi begini artinya: Seseorang yang terlahir miskin telah memiliki nasib buruk karena miskin. Dia mungkin akan memiliki akses kesehatan terbatas, pendidikan tidak memadai, tempat-tempat tidak aman untuk bermain, pola makan tidak imbang, paparan terhadap polusi dan racun, dan orang tua yang tidak punya waktu untuk membacakan cerita sebelum tidur. Kalau-kalau hal ini tidak cukup buruk, tumbuh besar dalam kemiskinan kemudian mengubah beberapa bagian otaknya, yang mungkin akan menghambatnya lebih parah lagi dalam masyarakat modern.

“Suram ya,” ujar Farah, namun penelitiannya justru membuatnya optimis. Dengan meneliti dampak SES rendah pada perkembangan otak, dia dan orang-orang lain yang berharap bisa mengetahui lebih lanjut soal cara mencegah atau menangkal dampak SES rendah. Dan meskipun dia mengakui bahwa neurosains belum memproduksi bantuan konkret untuk orang miskin, cabang ilmu pengetahuan ini masih terbilang baru. Penelitan pertama soal kemiskinan dan otak diadakan hanya satu dekade lalu. Semakin banyak kita belajar, semakin baik kita bisa merancang kebijakan preventif demi memberantas kemiskinan dan melindungi otak anak-anak di masa mendatang.