Di tengah wawancara tentang buku terbarunya Many Love: A Memoir of Polyamory and Finding Love(s), Sophie Lucido Johnson dengan enteng mengundang saya untuk menghadiri pesta pernikahannya.
“Oh iya,” kata penulis dan seniman itu, “Kami mengadakan pesta pernikahan terbuka..tanggalnya 3 Oktober ya, di New Orleans. Kami sudah memesan untuk ratusan tamu. Acaranya sih bakal di Taman Kota…Datang ya! Cari saja ‘Luke & Sophie’s Wedding’ di Facebook.’
Videos by VICE
Pesta pernikahan terbuka memang cocok sekali untuk Johnson dan tunangannya karena satu alasan: keduanya mempraktekkan poliamori.
“Eh tapi kalau jadi datang, ini pesta potluck bunga dan makanan penutup ya,” Johnson lekas menambahkan, segera memperjelas apa yang bisa saya harapkan dari pestanya dan peran saya di dalamnya—praktek yang lumrah terjadi dalam sebuah hubungan percintaan yang melibatkan banyak orang.
Poliamori, salah satu bentuk nonmonogami, adalah terminologi tentang hubungan percintaan nomor empat yang paling banyak digoogle pada 2017. Mungkin karena konsepnya penuh dengan miskonsepsi. Atau mungkin tak ada definisi yang memuaskan tentang konsep ini. Poliamori tak cuma tentang menambah pihak yang terlibat dalam hubungan percintaan—yang umumnya dipahami hanya boleh dilakukan oleh dua orang saja. Poliamori merupakan praktek cair yang bisa berubah kapan saja tergantung kebutuhan, gairah dan norma yang disepakati oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya. Poliamori bisa tentang upaya untuk mengurangi tendensi mementingkan diri sendiri, komunikasi dan bersikap logis dan tak terbawa emosi sekaligus tentang seks, nafsu dan otonomi.
Many Love menawarkan gambar bagaimana poliamori dalam persepsi satu orang—dan sekian partner romantis. Memoir ini merangkum perjalanan Johnson, mulai dari awal memelajari poliamori hingga akhirnya hidup dengan banyak kekasih. Kita bakal terhanyut dengan kisah saat dirinya dimabuk cinta ala anak SMA, membuka diri untuk hubungan percintaan dewasa, menemukan teman-teman terbaiknya, menemukan partner utamanya, menemukan komunitas poliamori, menemukan kekasih (lagi) dan jatuh cinta dengan pacar baru sembari tetap menjalin hubungan pasangan utamanya. Dan dalam setiap capaian tadi, Johnson menarasikan prosesnya meyakinkan diri bahwa ia cukup mengenal dirinya sendiri untuk bisa mengkomunikasikan kebutuhan dan emosinya.
Johnson membayangkan pembacanya adalah orang-orang yang tak bahagia dengan hubungan asmara yang mereka jalani. Namun, memoirnya sendiri lebih berfungsi sebagai panduan terhadap konsep poliamori, tentunya panduan yang jauh lebih menolong dari listicle macam “10 Cara Memperbaiki Hubungan Asmara yang Bermasalah.” Misalnya, buku ini dibuka dengan FAQ, daftar definisi dan segambreng grafik yang bisa jadi kunci memahami konsep mendasar poliamori.
Lalu, tiap bab memoir memaparkan aspek fundamental poliamori: dekonstruksi konsep monogami, eksplorasi pertemanan, menemukan casual love, ngeseks, mengatasi rasa cemburu dan “segala macam obrolan mendalam dengan pasangan.” Dalam sepanjang memoir, pembaca akan menemukan ilustrasi dan kutipan dari karya-karya penting tentang poliamori: Sex at Dawn , The Ethical Slut, esai penting Dean Spade “For Lovers and Fighters”. (Asal tahu saja, bibliografi buku ini panjang 4 halaman. Jelas, Johnson memamah banyak buku saat menyusun memoir ini.)
Namun, Many Love bukan sepenuhnya buku panduan. Memoir ini bak buku harian yang sangat informatif. Pembaca akan dibawa masuk ke dalam pikiran terdalam Johnson, interaksinya dengan partner dan teman segala obrolan mendalam yang dia lakukan, Johnson tak cuma ngobrol dengan mendalam bersama pasangan utama dan tunangannya Luka, tapi juga dengan teman baiknya Hannah, mantan rekan satu kamarnya Derek, Eli, Ben, Mac, Rory, Sean, Rory II, Sam, Jesse, Sean, Jaedon, Bob, dan—yang paling penting dengan dirinya sendiri.
Bagi Johnson, untuk memasuki hubungan seperti ini dibutuhkan “transparansi, komunikasi, dan persetujuan (consent).” Biarpun bentuk perwujudannya bisa berbeda-beda bagi setiap orang, ini adalah proses yang fundamental bagi hubungan poliamori—untuk memastikan semua parameternya masih berfungsi, bahwa rasa cemburu akan diakui, dan tidak ada seorangpun yang memiliki kekuasaan lebih besar dibanding lainnya.
“Semua ini harus selalu dipastikan,” renung Johnson, meratapi bagaimana proses ini selalu menjadi hal yang penting dalam setiap hubungan romansanya. “Saya emosional banget orangnya.”
VICE ngobrol bersama Tara Basro, membicarakan feminisme dan banyak penting lain di kuburan bersejarah Jakarta:
Memang, ada banyak hal yang harus dipastikan, seluk-beluk negosiasi dari hubungan asmara yang tidak konvensional. Tapi alih-alih membosankan, seperti banyak percakapan mengenai topik ini dalam kehidupan nyata, membaca tulisan Johnson sangat seru—salah satunya karena betapa terbuka dan rentannya dia berbagi soal perasaannya. Kadang, rasanya seperti kamu sedang duduk di meja makan Johnson, menyaksikan dia bercakap-cakap dengan partnernya. Tulisan dia terdengar seperti transkrip yang nyata.
Selain membutuhkan tingkat kejujuran yang tinggi, poliamori juga menuntut tingkat komitmen , energi, dan pertarungan melawan rasa cemburu secara terus-menerus. Lama setelah Sophie berpasangan dengan tunangannya, Luke, jatuh cinta, pindah bersamanya ke negara lain, dan melakukan poliamori, dia masih merasa terluka setiap kali Luke menemukan seorang pacar baru. “Perempuan setelah saya sangat disukai Luke, dan dia menunjukkan ke saya sebuah teks yang dia kirim ke dirinya, di mana Luke mengatakan dia cantik, luar biasa, dan lucu,” tulisnya. “Rasa cemburu kembali muncul, beserta prosesnya, percakapannya, rasa sakitnya, dan semuanya.”
Namun di luar semua pergumulannya, Many Love bercerita banyak tentang aspirasi dari poliamori. Biarpun Johnson banyak menyebutkan rasa cemburu sepanjang buku, dia juga menyebutkan pasangannya: “compersion,” alias rasa bahagia yang timbul ketika melihat partner kita bahagia dengan orang lain. Ketika Johnson mengunjungi pacar jarak jauhnya, partnernya Luke merasa bahagia; dan Johnson menulis, “Kini setelah saya mengalami semuanya, saya mengerti daya tariknya. Compersion terasa luar biasa. Rasanya seperti mendapat float root-beer gretongan.”
Tulisan Johnson kadang-kadang terasa manis, sama seperti simile yang dia gunakan. Untuk mengimbangi nuansa sentimentil, saya berharap bab yang menceritakan seks sedikit lebih ‘seru’. Tapi memang bukan itu inti Many Love. Kalau kamu mencari deskripsi seks grup atau tips untuk memperpanas kehidupan ranjang, kamu bakal kecewa (biarpun beberapa ilustrasinya lumayan provokatif).
Yang akan kamu temukan adalah hubungan poliamori yang dimulai tanpa deskripsi seks sama sekali. Di pengantar Many Love, Johnson dan Luke mencoba memiliki malam romantis dengan pasangan lain, tapi malam mereka rusak setelah kucing mereka sakit dan harus segera dilarikan ke dokter binatang. Percakapan antara empat orang tersebut tidak bernada menggairahkan, tapi penuh kasih sayang: Pasangan yang lain mengasihi Johnson dan Luke, menanyakan kebutuhan mereka, memasak makan malam, bersih-bersih, dan merawat mereka.
Kemampuan untuk benar-benar mendukung satu sama lain hanya bisa datang setelah ada pengertian yang mendalam—tentang diri sendiri dan partner—dan penerimaan bahwa hidup itu bersifat cair. “Poliamori artinya menerima bahwa cinta akan berubah dan menjaga diri sendiri dan partner untuk menerima setiap perubahan ini—ini cara yang bagus untuk melepaskan sedikit ego,” ujar Johnson.
Namun dalam skenario liberal seperti ini pun, Johnson menunjukkan bahwa masih mungkin untuk memegang tradisi romantis konvensional. Many Love berakhir dengan pertunangan antara Luke dan Johnson: sebuah akhir dongeng yang terasa kelewat konvensional. Saya bahkan sempat tidak sadar kalau saya bukan sedang membaca memoir romansa tradisional. Tapi penjelasan Johnson sangat sederhana: “Saya pro-komitmen.”
“Saya ingin orang berpikir tentang komitmen dalam cara yang berbeda, karena saya mendukung gagasan komitmen, tapi komitmen itu bukan tentang seks atau batasan-batasan satu norma saja,” ujar Johnson. Inilah yang berhasil dilakukan Many Love, dalam kanon tulisan tentang poliamori: Secara jujur menggambarkan seperti apa komitmen abad 21. Johnson menunjukkan bahwa dalam hubungan non-monogami, bukan seks lah yang mengatur keterlibatan seseorang dengan lebih dari satu partner, namun kemampuan untuk berkorban, untuk selalu mengembangkan diri, untuk hadir dan bertanggung jawab.
Faktanya, penuturan Johnson tentang komitmen sangat mengharukan, hingga saya tergesa-gesa membuka internet setelah menutup telepon. “Tiket pesawat dari New York ke New Orleans” saya ketik—ingin terus menjadi saksi kisah romansa Johnson berikutnya.