Dari hiruk pikuk pendaftaran calon presiden dan wakil presiden, kejutan terbesar rupanya tidak datang dari kubu oposisi yang akhirnya resmi mengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno seperti isu yang beredar sebelumnya. Justru Presiden Joko Widodo lah yang melakukan manuver politik berani, karena memecah opini pendukungnya, dengan memilih sosok Ma’ruf Amin (sampai media pro-Jokowi terpaksa memuat opini defensif soal keputusan tersebut). Jokowi dianggap meredam serangan kalangan populis memakai strategi politik identitas yang selama ini coba dia hindari, mengecewakan basis pendukungnya yang lebih sekuler dan liberal.
Ma’ruf Amin adalah politikus sekaligus ulama yang jarang muncul di permukaan. Namun tak bisa dipungkiri dia telah makan asam-garam sejak dekade 60’an. Ketika generasi millenials paling mentok mencicipi politik 10 tahun belakangan, kyai berlatar Nadlatul Ulama sekaligus cucu imam Masjidil Haram ini sudah malang melintang di DPRD, lanjut ke DPR RI, menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden, hingga mengomandoi Majelis Ulama Indonesia. Terpilihnya Ma’ruf sebagai cawapres Jokowi untuk 2019-2024 menandai keberhasilan ulama 75 tahun ini selalu berada di ring satu kekuasaan. Di masa Susilo Bambang Yudhoyono dia menjadi wakil penting ulama, dan pengaruhnya terus bertahan kendati partai penguasa dan rezim presiden berganti.
Videos by VICE
Atas berbagai faktor itulah, peneliti Human Rights Watch Indonesia, Andreas Harsono, saat dihubungi VICE menyebut Ma’ruf sebagai, “politikus paling berpengaruh sejak zaman SBY.” Julukan itu sayangnya tidak bernuansa positif. Ma’ruf dengan kekuasaan yang cenderung tidak diperhatikan publik, menurut Andreas, adalah arsitek beberapa kebijakan yang intoleran terhadap penganut agama maupun kelompok seksual minoritas di Tanah Air.
Ma’ruf terlibat menyusun rancangan yang disebut Peraturan Bersama tentang pendirian rumah ibadah dan forum kerukunan umat beragama. Beleid tersebut disetujui Presiden SBY pada 2006. Dampak adanya kebijakan tersebut adalah penghalangan ibadah jemaat GKI Yasmin, atau penyerangan terhadap penganut Ahmadiyah di berbagai wilayah. “Prinsip kebebasan beragama di mana setiap warga negara itu setara, diganti dengan prinsip mayoritas-minoritas,” kata Andreas. “Prinsip itu berbahaya, buktinya sekarang di mana-mana.”
Ma’ruf juga menjadi saksi ahli memberatkan untuk kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta yang kini mendekam di bui. Akibat perannya itu, Partai Solidaritas Indonesia yang sempat berseberangan dan mengkritik terbuka Ma’ruf Amin melalui media sosial, berada dalam posisi dilematis. PSI kini mendukung Presiden Jokowi, dan menerima pencalonan sang ketua MUI.
Ketua Umum PSI Grace Natalie yang ditemui VICE di sela pendaftaran capres di KPU, membenarkan pihaknya mendukung Ahok dan tidak menyepakati sikap ataupun fatwa Ma’ruf menjelang pilkada DKI 2017. Kini, partainya memilih pragmatis dalam rangka memenangkan pemilihan presiden tahun depan. “Kalau kita men-judge Kyai Ma’ruf [atas kebijakan di masa lalu], nanti kita intoleran juga. Lebih baik kita sama-sama mulai lembaran baru,” kata Grace. “Pak Jokowi mengatakan ini adalah pasangan yang saling melengkapi, nasionalis relijius, dengan credential masing-masing.”
Adapun pengamat politik belum melihat program kerja yang konkret dari pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin sejauh ini, kecuali mengamankan segmen pemilih Islam dan mengurangi serangan politik kalangan fundamentalis. Ari Ganjar, pakar politik dari Universitas Padjajaran, menyatakan keputusan menggandeng Ma’ruf adalah balas budi Jokowi terhadap Nahdlatul Ulama yang sudah melindunginya selama tiga tahun terakhir dari citra anti-Islam. Selain itu, Amin bisa menjembatani Jokowi dengan sebagian ormas muslim yang selama ini berseberangan, termasuk Front Pembela Islam.
“NU cukup kompleks faksi-faksinya. Secara sederhana ada NU struktural dan NU kultural. Saya lihat Ma’ruf Amin ini ada di tengah-tengah. Beliau dekat dengan Rizieq Shihab, bahkan ketika Rizieq Shihab sempat menyatakan perjuangannya melawan Ahok, juga disemangati oleh Ma’ruf Amin,” kata Ari kepada VICE.
Pendapat Ari diamini oleh Ketua Umum PPP Romahurmuziy. Sejauh ini, pihaknya memang fokus terlebih dulu untuk mengakhiri sentimen sektarian dan keagamaan yang marak di media sosial antara pendukung capres. Dengan menggandeng ulama senior, politikus akrab disapa Romi itu ingin pemilih nanti fokus ke adu gagasan soal kebijakan pemerintah. Strategi tersebut juga membuat koalisi presiden tidak mempertimbangkan elektabilitas Ma’ruf yang berdasar survei terakhir tidak terlalu tinggi dibanding nama-nama populer lainnya. “Aspek agama yang paling menonjol dalam ujaran kebencian, sehingga sekarang publik bisa menilai siapa yang bersama ulama dan siapa yang meninggalkan ulama,” kata Romi saat ditemui di sela-sela pendaftaran Jokowi-Ma’ruf di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta Pusat, Jumat (10/8).
Faktor lain yang membuat Ma’ruf terpilih adalah manuver Pengurus Besar Nahdlatul Ulama beberapa hari menjelang pendaftaran. Mahfud MD adalah sosok yang sempat sangat dipertimbangkan menjadi cawapres. Namun sebagian ulama menganggap Mahfud kurang berdarah NU, seperti ditegaskan oleh Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj. “Pak Mahfud orang yang belum pernah menjadi kader NU, di IPNU juga belum pernah.”
Partai anggota koalisi petahana, mencakup PPP, PDIP, dan PKB, turut menolak Mahfud. Romi mengakui popularitas Mahfud memang besar di media sosial, hanya saja anggota koalisi realitasnya tidak menyetujui mantan Ketua Mahkamah Konsitusi itu. Dia menolak menjelaskan detail motif penolakan partai-partai, namun pertimbangan suksesi pada 2024 ketika Jokowi kelak tak lagi bisa mencalonkan diri, turut menjadi pertimbangan.
“[Mahfud sempat dianggap kandidat cawapres] itu persepsi netizen karena beliau selebtwit dibanding Kyai Ma’ruf yang tidak punya akun media sosial sama sekali. Harapan netizen kita hormati. Tapi kan bukan hanya survei elektabilitas, dan bukan pendapat orang per orang, tapi juga pendapat seluruh aspek,” kata Romi. “Dalam Pilpres, UU memberikan hak demokrasi kepada partai pengusung untuk mencalonkan. Minimal aksepsibilitas [elit partai] menjadi penting.”
Tonton dokumenter panjang VICE mengurai akar politisasi agama dan identitas yang membuat hubungan antar warga di Jakarta renggang selama pilkada 2017:
Begitulah warna-warni kiprah Ma’ruf Amin. Bola sepenuhnya ada di tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf untuk meyakinkan publik, terutama kelompok minoritas dan kelas menengah, bahwa rekam jejak intoleran Ma’ruf di masa lalu akan berubah menjadi lebih inklusif. Minimal ini harapan yang disuarakan Rudi Sinaga, salah satu relawan Jokowi, saat datang ke KPU pagi tadi untuk memberi dukungan.
“Saya sebenernya kurang begitu respek dengan Pak Ma’ruf. Ada sisi yang saya rasa untuk Ahokers [pendukung Ahok-red] mungkin merasa kurang nyaman di [pemilihan Ma’ruf sebagai cawapres],” kata Rudi. “Setidaknya saya yakin ada sisi dari Pak Jokowi yang tetap menginginkan yang terbaik untuk kebhinekaan, keberagaman kita di Indonesia.”
Untuk lebih memahami sikapnya sebagai pejabat publik maupun ulama senior terhadap berbagai isu di Indonesia, VICE merangkum pernyataan Ma’ruf Amin beberapa tahun belakangan atas kasus-kasus yang mendapat sorotan nasional:
Kasus Penistaan Agama oleh Ahok
Keadaan sudah panas beberapa waktu setelah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengeluarkan ucapan kontroversial yang menyebut-nyebut Surat Al Maidah ayat 51. Pidato tanpa naskah yang ia sampaikan di hadapan para nelayan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 segera saja bergulir jadi bola panas yang ampuh dimanfaatkan sebagai senjata menjatuhkan pamor Ahok, seorang nasrani yang saat itu sedang maju dalam pemilihan gubernur DKI melawan Anies Baswedan.
Situasi semakin panas setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI), lembaga yang dipimpin Ma’aruf, mengeluarkan fatwa yang menyebut bahwa pernyataan Ahok menghina Al Quran dan juga menghina ulama. Gelombang unjuk rasa mendorong Ahok agar segera diadili semakin besar setelah keluarnya fatwa itu. Lahirlah kemudian gerakan 411 dan 212 yang dikenang sebagai gerakan yang mampu memobilisasi massa dengan jumlah yang sangat masif. Gerakan massa semasif itu hampir tak pernah terjadi selepas demonstrasi pendongkelan Soeharto era 1998 lalu.
Dalam wawancara dengan majalah Tempo, Ma’aruf menampik jika fatwa MUI menimbulkan kegaduhan. “Bukan fatwa yang menimbulkan kegaduhan, tapi ucapan Ahok (panggilan Basuki). Fatwa itu muncul untuk mengkanalisasi gerakan yang berpotensi anarkistis. Kami keluarkan fatwa bahwa ada penghinaan, lalu salurkan ke penegak hukum,” katanya.
Fatwa Sesat Ahmadiyah
Ma’aruf Amin menyetujui langkah pemerintah Depok menyegel masjid Ahmadiyah di Sawangan. Ia menilai apa yang dilakukan pemkot Depok sudah sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah.
“Apa yang dilakukan Wali Kota tepat, karena (jemaah Ahmadiyah) dianggap melanggar, di SKB itu disebut bahwa jemaah Ahmadiyah dilarang melakukan aktivitas,” kata Ma’ruf dalam keterangan tertulis.
Lebih lanjut ia mengatakan penyegelan masjid Ahmadiyah tidak melanggar hak asasi manusia dan kebebasan beragama. Ma’aruf menyatakan bahwa ajaran Ahmadiyah adalah sesat dan menodai Islam.
Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa larangan Ahmadiyah pada 2005. Pada saat itu, Ma’aruf Amin menjabat sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI.
Ma’ruf Amin menyatakan pluralisme dalam masalah kehidupan kebangsaan memang ada dan diperbolehkan. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR pada 2005 lalu, Ma’aruf menjelaskan alasan MUI menerbitkan fatwa soal Ahmadiyah. Mengutip laman nu.or.id, Ma’aruf menyatakan bahwa pluralisme dalam masalah kehidupan berbangsa memang ada dan diperbolehkan. “Namun pluralisme dalam agama jelas tidak ada. Menyamakan semua agama jelas tidak benar,” katanya.
Pemidanaan Komunitas LGBT
Sikap MUI soal isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender tegas sejak dulu. Ma’aruf mendukung kitab undang-undang hukum pidana bisa memidanakan pelaku LGBT. Dalam rapat dengar pendapat dengan DPR, Ma’aruf tak setuju jika dewan menetapkan hukuman ringan bagi pelanggar aturan LGBT. Tak hanya itu, MUI juga ingin pasal mengenai LGBT berlaku bukan hanya bagi orang dewasa yang usianya di atas 18 tahun, tapi juga anak-anak yang belum dewasa.
Dalam acara penutupan ijtima ilama komisi fatwa MUI di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Ma’aruf secara tegas menyatakan bahwa LGBT adalah perilaku menyimpang yang tidak dibenarkan dan tak sesuai dengan Pancasila serta UUD 1945. “Fatwa MUI nomor 57 tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan menyatakan aktivitas dan perilaku LGBT diharamkan karena suatu bentuk kejahatan,” katanya sebagaimana dikutip kantor berita Antara.
Boleh Ucapkan Selamat Natal
Setiap menjelang natal, hari besar bagi umat nasrani, selalu muncul perdebatan perihal bolehkah pemeluk Muslim memberi selamat pada warga nasrani. Ada kelompok yang menyatakan hal itu dilarang, dan ada pula yang membolehkan. Dalam hal ini, Ma’aruf Amin termasuk dalam kelompok yang membolehkan pemeluk Muslim mengucapkan selamat natal. “Saya kira silahkan saja, yang tidak boleh itu menggunakan atribut Natal,” ujarnya 2017 lalu seperti dikutip Tribunnews.
Kepercayaan Penghayat Ditulis di KTP
Sejak November 2017, kelompok penghayat aliran kepercayaan akhirnya dapat pengakuan resmi dari negara. Mahkamah Konstitusi memutuskan negara harus menjamin setiap penghayat dapat menulis aliran kepercayaannya di KTP maupun di Kartu Keluarga. Putusan itu memberi angin segar bagi para penganut kepercayaan warisan leluhur yang selama ini terpaksa menulis satu di antara enam agama resmi di KTP mereka.
Menanggapi keputusan itu, Ma’aruf menyatakan tak setuju. Ia lebih setuju jika kolom agama dikosongkan saja bagi para penganut aliran kepercayaan. “Justru sudah tidak ada masalah karena ada kelompok orang yang dulu sudah diposisikan bahwa dia itu bukan agama. Sedangkan identitas itu agama, maka kalau dia tidak mau mengisi agama itu, ya dikosongkan. Selesai,” ujar Ma’ruf seperti dikutip Kompas.
Pernikahan Beda Agama
MUI secara resmi mengeluarkan fatwa soal pernikahan beda agama pada 2005. Fatwa yang ditandatangani oleh Ma’aruf itu menyatakan perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. MUI menambah landasan kultural atas larangan pernikahan beda agama yang sebelumnya secara struktural telah dilarang lewat Undang-undang Perkawinan tahun 1974.
Undang-undang ini sempat digugat oleh sekelompok alumni Fakultas Hukum UI pada 2014. Menanggapi gugatan itu, Selaku Wakil Ketua MUI, Ma’aruf menyatakan bahwa pernikahan beda agama tak ada untungnya bagi masyarakat.
“Ini mengundang kemarahan, coba (lihat) nanti akan ada demo-demo yang menolak ini, dan ini justru memancing reaksi sehingga menimbulkan suasana panas,” kata Ma’aruf pada 2014 lalu seperti dikutip Dream dari laman resmi MUI.
*Arzia Wargadiredja dan Yvette Tanamal turut berkontribusi dalam artikel ini