Dunia Kerja

Anak Muda Workaholic Tak Butuh Glorifikasi, Seringkali Mereka Tak Punya Pilihan Lain

Di kota besar Indonesia, pekerja muda yang kerja belasan jam saban hari dianggap berdedikasi. Benarkah? Ini alasan sebagian melupakan work-life balance, dan memilih penyatuan ritme kerja dan hidup.
Penyebab Anak muda Indonesia kecanduan kerja workaholic
Ilustrasi kelelahan bekerja [kiri] via Getty Images; ilustrasi lembur sampai malam via Pixabay

Mohammad Nuruzzamanirridha sudah biasa dicap teman-temannya sebagai sosok no life. Siklus harian lelaki 27 tahun itu adalah bangun, bekerja, lalu tidur lagi selepas tengah malam. Di antara waktu kerja, ia sempat melanjutkan kuliah jarak jauh dan menekuni bisnis sampingan. Andai tak punya kekasih, yang kini sudah menjadi istri, jam kerja itu bisa semakin panjang.

Ucup, panggilannya, bekerja sebagai network engineer di sebuah perusahaan pemeliharaan jasa telekomunikasi. Rata-rata ia bekerja 10-12 jam sehari (50-60 jam seminggu, lebih 10-20 jam dari aturan resmi ketenagakerjaan). Kadang kerjaan meruah sampai 16 jam (80 jam seminggu) di waktu khusus. Akhir pekannya tak selalu lowong karena ada jadwal jaga. “Pas wiken aku jadi bawa laptop buat jaga-jaga jika harus ngecek,” katanya kepada VICE. 

Iklan

Ia mengaku tuntutan kantor sebenarnya tak seberapa berat. Ia sekadar suka terus-menerus menghadap pekerjaan. “Kadang pas nonton film aku masih suka lihatin WA atau login email. Atau pas di luar, masih penasaran buat cek email kerjaan.”

Ucup mulai bekerja pada 2016. Mulanya dengan ritme masuk akal. Dua tahun kemudian ia diserahi proyek yang “customer-nya bawel”. Kultur Overwork dimulai, dan selanjutnya tak berkesudahan. Cara Ucup mencandui bekerja sudah sampai tahap, “kalau lagi enggak banyak kerjaan, aku suka cari sidejob”. Menurutnya, bekerja berlebihan sesekali mendatangkan stres, namun pikirannya jauh lebih sumpek jika tak mengerjakan apa-apa.

 “Aku gelisah kalau lama enggak pegang hape. Kepikiran ada yang nyariin. Soalnya sering pas hape ditinggal itu malah banyak yang nyariin. Heran juga.”

Dia bilang, ambisinya bekerja sekeras-kerasnya karena ingin hidup lebih sejahtera. Secepat mungkin kalau perlu, demi membahagiakan istri. “Lebih ke tanggung jawab sama buat nambah income lewat sidejob sih. Status [sosial] aku tidak butuh. Aku butuhnya cepet kaya, hahaha.”

Nurzaman, digital marketer berusia 30 tahun di sebuah startup baca buku online, mempercayai kredo yang sama. Sebab, menurutnya, “serem banget enggak punya uang di Jakarta tuh. Asli.”

Zaman tak segila kerja Ucup. Ia memerah tenaga 8-9 jam sehari (40-45 jam seminggu), atau hingga 12 jam (60 jam seminggu) ketika ada tenggat. Baru setengah tahun terakhir Zaman bergabung di kantornya sekarang. Ia merasa lebih bahagia karena kini bisa menikmati waktu luang di akhir pekan. Di kantor sebelumnya, ia merasa tak kenal libur.

Iklan

Zaman memaklumi bila industri digital menuntut pelakunya kerja keras. Opininya: tak mengapa bekerja lebih dari ketentuan jam yang dipatok pemerintah, sepanjang imbalannya pantas. “Kebetulan di bisnis digital dan startup butuh banyak dicek dan dioptimasi karena belum ada template dan best practice-nya. Dan dari pengalamanku: di dunia digital ini yang pasti adalah ketidakpastian. Jadi ya harus dicek secara mikro sih.”

Overwork sudah jadi masa lalu, namun satu kebiasaan lama tak bisa Zaman hilangkan: terus-menerus mengecek pekerjaan. Jika tak memeriksa email, dia merasa sangat gelisah.

“Menurutku sih iya [aku workaholic]. Tapi itu karena aku lebih menghargai apa yang aku dapet sekarang, jadi bukan karena kebutuhan dan kewajiban. Tanggung jawab aja, dan aku mau kasih best result.”

Kecanduan kerja atau workaholism adalah obsesi bekerja berlebihan (overwork). Sebagaimana umumnya candu, seorang workaholic tak akan merasa puas jika belum menyentuh tugas. Ia akan mulai stres, merasa bersalah, dan diserang rasa cemas jika menghabiskan waktu tanpa bekerja.

Pada 2011, pemeringkatan negara dengan warga paling gila kerja menempatkan Jepang, Australia, dan Afrika Selatan di peringkat satu sampai tiga. Di Jakarta, kota paling sibuk di Indonesia, kita bisa melihat tanda-tanda kecanduan kerja di antara para salaryman berusia muda.

Fenomena ini masuk akal terjadi di Asia ketika kesuksesan karier dinilai mendahului kebahagiaan karena dianggap sudah sepaket. Apabila kamu lahir sebagai orang miskin, yang harus dilakukan adalah menyingsingkan lengan baju, bukan mengutuk privilese orang kaya. Moralitas demikian, lewat dongeng tentang pedagang yang tak pernah terkena matahari (karena pergi kerja di waktu subuh dan pulang saat malam), serta omelan untuk tidak bangun kesiangan agar rezeki tidak dipatuk ayam, akrab mengisi masa kecil banyak anak muda di Tanah Air.

Iklan

Tekanan untuk harus sukses hadir karena persepsi anak harus lebih sejahtera dari orang tua apalagi kakek-nenek. Bekerja di jam yang sangat panjang jadi dimaklumi oleh lingkungan terdekat: keluarga. Setidaknya kita sudah digembleng sejak masa sekolah, didukung belajar sampai larut malam bahkan dini hari, agar berhasil dalam ujian.

Kisah sukses tokoh besar sebelas-dua belas. Leonardo Da Vinci, salah seorang paling jenius dalam sejarah dan karena itu menggoda untuk diteladani, punya siklus tidur bernama Uberman sleep untuk memaksimalkan vita brevis kodrat manusia. Uberman sleep adalah rutinitas tidur 20 menit setiap empat jam, sehingga dalam sehari akumulasi waktu tidur hanya dua jam.

Belakangan, kritik terhadap glorifikasi kerja lembur di medsos mulai mencuat. Tidak selayaknya para pekerja mengapresiasi hidup yang penuh tekanan macam itu.

Kecanduan kerja menurut psikolog adalah persoalan mental serius. Ciri-cirinya ditandai dengan ketidakmampuan mengatur keasyikan bekerja, bisa karena ada ambisi untuk sukses, mendapat harta, atau mengejar status. Pencandunya mencurahkan segenap raga pada pekerjaan untuk meredam perasaan cemas di diri mereka karena khawatir menjadi orang gagal. Mereka benci tidak produktif. 

Didikan keluarga, contoh dari lingkungan, bawaan kepribadian, warisan genetik, hingga kultur masyarakat bisa membentuk “masalah” perilaku ini. Anda bisa membaca 20 kriteria workaholism di sini, tapi saya akan sebutkan beberapa indikasi menonjol.

Iklan

Misalnya terus mencari waktu untuk bekerja; menghabiskan waktu untuk bekerja lebih banyak dari yang direncanakan; mendapati bahwa bekerja bisa mengurangi rasa bersalah, kecemasan, ketidakberdayaan, depresi, atau tanggung jawab lain (singkatnya: pelarian); sudah pernah diperingatkan untuk mengurangi durasi kerja oleh lingkungan sekitar namun tidak mendengarkan; merasa stres jika dilarang bekerja; kesehatan menurun akibat bekerja; dan memilih mengesampingkan hobi, aktivitas hiburan, dan olahraga hanya demi bekerja.



Fenomena ini lebih banyak ditemukan pada sosok perfeksionis, umum terjadi di antara lulusan perguruan tinggi yang sudah bekerja di level manajemen, berusia 18-45 tahun, serta lahir di keluarga pekerja keras. Jika sampai di sini Anda tak terpikir apa bahaya kecanduan kerja, inilah dia: depresi, kecemasan, insomnia, ketergantungan, penurunan kesehatan, hingga hubungan antarmanusia yang merenggang.

Tiga belas tahun lalu saya sempat terkagum-kagum pada protagonis novel islami Ketika Cinta Bertasbih. Azzam, mahasiswa miskin di Kairo, seperti hidup hanya untuk produktif. Semua waktunya didedikasikan untuk belajar, bekerja, dan beribadah. Tak ada anxiety, tak overthinking, tak ada quarter life syndrome

Ia bisa mengendalikan nafsu manusiawinya dengan senantiasa positif sehingga surga membuka pintu lebar-lebar sejak ia masih lalu lalang di tepi Sungai Nil. Di tahun-tahun selanjutnya, saya juga pernah ngefans pada ide menerapkan disiplin militeristik demi menduplikat kepakaran “10 ribu jam latihan” para atlet.

Iklan

Situasi sudah berubah hari ini. Lecutan untuk stay positive, stay productive kini disadari bisa memicu derita mental dan fisik. Jika Anda akrab dengan ide marxis, mungkin pernah pula mendengar seruan “hak untuk malas” yang mengkritik penghambaan diri kelas pekerja pada aktivitas bekerja, tapi ujung-ujungnya tetap tidak bisa menikmati hasil kerja.

Sebenarnya, gambaran ini sangat mudah kita temukan tak hanya di Jakarta. Di kota kecil maupun desa-desa, “hidup untuk bekerja” adalah rutinitas para pekerja menengah ke bawah. Lebih ekstrem, mereka biasanya bekerja bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk memakmurkan keturunan. Misal, agar adik atau anak bisa sekolah tinggi, dengan harapan kelak mampu menaikkan taraf hidup.

Orientasinya sudah berbeda dengan dua narasumber tadi. Ucup dan Zaman mengaku memacu diri agar bisa pensiun lebih cepat dan sesudah itu barulah menikmati hidup.

“Kayaknya masih kudu kerja kayak kuda kek gini sampai 40 deh, abis itu nabung dan enjoy my time. Tapi jangan salah ya, aku enjoy banget kerja kek gini karena merasa berguna dan dihargai. Dibayar gede pula,” kata Zaman.

Ucup sendiri bercita-cita bisa pensiun dini. “Penginnya [pensiun] sebelum 40. Doakan 35, hahaha.” Ia juga berharap, di masa depan bisa mengurangi jam kerja namun mendapat penghasilan lebih besar.

Untuk mewujudkan cita-cita tadi, Ucup secara sadar menampik konsep work-life balance yang mulai sering dipromosikan agar anak muda memiliki kehidupan lebih berbahagia. Riset sumber daya manusia belakangan juga makin sering menemukan korelasi penurunan jam kerja dan kenaikan produktivitas. Tapi buat Ucup, gagasan macam itu tak berpijak pada kenyataan.

Iklan

“Untuk kondisi seperti ini dan culture kantor sekarang, enggak percaya. Yang lebih mungkin work-life integration.” Jadi, bukan keseimbangan, tapi sekalian merayakan penyatuan ritme kerja dan hidup.

Obrolan yang sama saya peroleh dari Widianto Rozaqi teknisi di perusahaan jasa teknologi informasi di Jakarta. “Widi, tujuan hidupmu sekarang apa?”

“Kok jadi mikir ya?”

“Kaya raya bukan?”

“Hahaha, iya.”

Demi kaya raya (ia sebenarnya juga bilang demi membantu keluarga), Widi bisa bekerja 12-16 jam (60-90 jam seminggu) ketika menangani proyek. Polanya serupa dengan dua tokoh kita sebelumnya, meski ia masih punya waktu luang untuk hobi (yakni main bola yang dilakukannya setahun sekali). Widi kecanduan pula mengecek pekerjaan di grup WA kantor. “Udah kek kebiasaan ga sih?” kata lelaki 27 tahun ini membela diri.

Dan ya, Widi sungguh serupa. Tak punya problem dengan bekerja seperti kuda selama imbalan masih pantas dan ada bonus jika melembur. Semua itu sudah ia dapatkan sekarang.

Apakah Ucup, Zaman, dan Widi kecanduan kerja? Psikolog lebih otoritatif menilainya. Yang pasti, ritme mereka berlawanan dengan semangat Hari Buruh “8 jam kerja, 8 jam rekreasi, 8 jam istirahat”, belum lagi kebutuhan momen spiritual bagi orang-orang tertentu.

Sepertinya sih, yang perlu dikoreksi adalah cara pandang dibayar tinggi = overwork. Meski gaji naik, jika bayaran per jam tetap setara gaji lama yang durasi kerjanya lebih pendek, jadi sama aja kan?

Konsep gaji tinggi adalah penghargaan pada keahlian, pengalaman, dan kesetiaan pada satu tempat kerja, bukan alat melegalkan eksploitasi. Tapi, biasanya emang pekerja otomatis menganggap overwork itu bentuk dedikasi agar, dalam bahasa Zaman tadi, kita tak replaceable

Duh, jadi keinget isu pesangon di UU Cipta Kerja….