Budaya

Sudah Saatnya Opini 'Kalau Enggak Suka Aturan di Sini, Pergi Saja' Berhenti Dipakai

Arogansi menyuruh orang angkat kaki hanya karena beda preferensi adalah benih persekusi. Kata akademisi hukum, ujaran kayak gitu contoh sesat pikir dan melawan HAM.
Opini bernuansa ancaman persekusi bisa diperkarakan karena melawan
Foto ilustrasi dari unjuk rasa di Jakarta pada 5 Desember 2018 oleh Bay Ismoyo/AFP

“Kalau enggak suka sama aturan di sini, cabut aja ke tempat lain.”

Kamu kemungkinan besar pernah mendengar opini jelek barusan karena jumlahnya banyak dan biasa dipakai di beragam isu. Secara kualitas, nilainya seburuk pendapat sejenis “no debat” atau “semua kembali ke masing-masing orang”. Tapi rupanya banyak orang menganggap opini seperti ini valid. Enggak terkejut sih, mengingat orang terang-terangan bilang rindu petrus aja ada.

Iklan

Pertanyaannya, kenapa sih kalau enggak sepakat sama sesuatu, orang itu malah disuruh minggat? Bukannya diajak diskusi, misalnya? Atau sekalian ngadain debat terbuka dan disiarin di YouTube gitu, biar ada variasi konten selain seleb yang mengumbar kehidupan pribadi.

Kami enggak tahu dari masa datangnya gagasan “sepakat atau cabs” kayak gini. Yang kami tahu, gagasan ini problematis dan, di derajat tertentu, bisa membuahkan persekusi.

Pertama, Indonesia (masih) negara demokrasi yang menjamin hak warga berpendapat dan menyampaikan keberatan atas isu apapun. Negara juga menjamin hak kita buat merasa aman dan memilih tinggal di mana aja. Semua jaminan itu enggak main-main, tercantum dalam konstitusi yang notabene hukum tertinggi Indonesia.

Kedua, buat melindungi hak itu, jalur berpendapat sudah disediakan lewat ruang publik, pers, hingga jalur politik dan hukum. Di tataran negara Presiden Jokowi sendiri bilang pemerintah butuh dikritik, walau kenyataannya kini orang makin takut buat vokal karena ada UU ITE.

Jauh lebih mudah memaklumi penguasa bermental represif yang galak sama opini publik. Masalahnya, rupanya masyarakat juga enggak segan-segan membabat ekspresi berbeda dari sesama warga negara. Salah satu jurus ampuh mereka ya pendapat jelek tadi: kalau enggak suka sama sesuatu, silakan pergi saja.

Iklan

Sebagai orang yang tinggal di Yogyakarta, contoh terbaik yang bisa saya kasih adalah peliknya polemik upah minimum regional (UMR). Biaya hidup yang diklaim murah bikin batas terbawah untuk mengupah pekerja di sini ikut rendah. Ini masalah buat saya yang punya kerjaan musikus. Lah, harga senar gitar di Jakarta enggak beda dengan di Bantul untuk merek yang sama. Upah yang lebih rendah dari musisi Jakarta jelas memicu masalah finansial. 

Opsi perjuangan paling masuk akal buat saya ya protes, bukan minggat dari Jogja ke kota lain. Tapi justru opsi terakhir yang paling sering disuarakan para penentang wacana menaikkan UMR. Buat yang belum tahu, di Jogja, menanyakan domisili KTP adalah salah satu cara intimidasi paling populer.

Opini jelek jadi jauh lebih rumit dan memakan korban. Ketika cuma diucapkan, imbauan minggat mungkin sebatas ngeselin. Tapi mindset kayak gitu ternyata bisa jadi benih tindak persekusi.

Dalam lingkup keluarga, Tirto.id pernah menulis kejadian pengusiran seorang perempuan di Jakarta Timur oleh keluarganya sendiri, hanya karena ia memutuskan bercadar. “Saya dikata Wahabi, Syiah, ISIS, teroris, disebarin ke siapa-siapa. Sampai Oktober tahun lalu didatangi polisi, Ketua RW dan RT, karena dikira sedang merakit bom,” ujar korban yang bernama Herlina Sari kepada Tirto.

Iklan

Di Bantul, Yogyakarta, Slamet Riyadi dan keluarganya harus pindah dari rumah kontrakan mereka setelah ketua RT setempat tidak memberi izin tinggal. Alasannya, Slamet tidak beragama Islam. Padahal pria asal Semarang ini sudah mencapai kata sepakat dengan pemilik rumah kontrakan sehingga posisinya jelas di mata hukum. Pada kesepakatan tersebut, ia pun sudah menginformasikan agamanya.

“Dan mungkin karena saya terlalu emosi, kemudian saya langsung lapor ke Sekretaris Sultan HB X [Sekda DIY]. Laporan saya ditindaklanjuti dan kemudian diarahkan ke Sekda Bantul, terus dari Sekda Bantul diantar ke Kelurahan Pleret. Nah, di sana saya bertemu Pak Lurah dan Pak Dukuh dipanggil, Pak Ketua Kampung juga dipanggil untuk musyawarah, tapi hasilnya tetap ditolak,” kata Slamet kepada Detik.

Negara, yang harusnya membela hak Slamet, tak berani menempuh jalur hukum dan memilih mediasi nihil hasil. Lantas muncul pertanyaan besar, apakah hak kita atas tempat tinggal bisa gugur ketika kita mengambil jalan hidup yang berbeda dari warga atau norma umum di sekitar? Untuk menjawabnya, VICE meminta pencerahan kepada akademisi hukum dari Universitas Gadjah Mada Hendry Julian Noor.

“Ini berkaitan dengan kebebasan berpendapat, maka tentunya cara kita menyampaikan pendapat harus disampaikan dengan cara-cara sopan dan patut meskipun itu bersifat kritik, misal tidak setuju UMR atau kebijakan pemerintah. Kalau sudah pakai cara begitu [sopan dan patut], sudah tidak terbuka celah untuk dipojokkan,” kata Hendry kepada VICE.

Iklan

Hendry menilai pertentangan sudut pandang seharusnya tidak memengaruhi hak tinggal seseorang di satu tempat. “Selama ia memiliki alasan, maka secara hukum ia berhak untuk tinggal. Misal, ia memiliki tanah di situ dan [bisa menunjukkan] sertifikatnya, ya sudah, berarti dia sah. Biar pun hanya mengontrak sekalipun, demi hukum ya [hak tinggalnya] wajib dihormati,” tambah Hendry. “Kalau sudah sampai persekusi, [warga salah karena] itu ranahnya penegak hukum.”

Fenomena diminta minggat karena berbeda ekspresi disebut Hendry sebagai kesesatan berpikir. Ia melihat intensitas kasus begini meningkat sejak tahun politik 2014.

“[Pengusiran] itu pribadi, ranah personal. Kalau nyerangnya pribadi itu udah enggak tepat. Kalau berdebat [pandangan] itu [pada] substansi, bukan pada orangnya. Ada beberapa teori mengatakan bahwa kesesatan argumentasi di pengadilan adalah ketika kita bukan menyerang substansi, tapi pada pribadinya,” kata Hendry.

“Hak tinggal itu hak untuk hidup, termasuk hak asasi. Hak untuk mendapat tempat layak. Bagian dari HAM, dan dilindungi itu,” tambahnya lagi.

Kami berharap, penjelasan barusan bisa dimengerti, bahwa enggak ada ceritanya beda pendapat diselesaikan dengan salah satu pihak angkat kaki. Satu, karena itu mindset berbahaya yang bisa menjurus ke persekusi. Dua, enggak suka sama pendapat orang terus malah nyuruh orangnya minggat jelas merupakan kesesatan berpikir. Tiga, persekusi berupa pengusiran adalah pelanggaran hukum dan HAM.

Emang, negara punya rekam jejak tidak bagus dalam menangani kasus pengusiran akibat masyarakat tidak bisa menerima perbedaan. Warga Syiah di Sampang, Madura salah satu korbannya. Tapi, sementara negara tak bisa konsisten dengan hukumnya sendiri, paling tidak kita bisa lebih baik. Iya, kan?