Entertainment

Novel Grafis ‘Chinese Whispers’ Ungkap Luka Kerusuhan ’98 dari Kacamata Perempuan Tionghoa

Karya seni ciptaan Rani Pramesti menjelajahi kompleksitas jati diri. Saat seniman keturunan Cina, Jawa, dan Australia ini memutuskan untuk menghadapi salah satu kejadian yang paling suram dalam sejarah Indonesia akhir-akhir ini – kerusuhan Mei ‘98 – ia menekankan perspektif-perspektif pribadi dari perempuan Indonesia keturunan Tionghoa yang menyaksikan dan menjadi sasaran kerusuhan tersebut.

Komik multimedia digital Rani yang berjudul Chinese Whispers dirilis tahun 2014 di Melbourne International Fringe Festivals. Komik ini adalah tanggapan pribadi terhadap kekerasan kerusuhan ‘98 yang dia alami sendiri, dan diceritakan melalui persepsi Rani sendiri dan perempuan-perempuan keturunan Tionghoa lain yang ia wawancarai di Australia. Awalnya proyek ini merupakan pengalaman labirin sensoris, tapi kini telah bertransformasi menjadi novel digital yang telah diterjemahkan ke bahasa Inggris. Novel ini akan ditampilkan di Ubud Writers and Reader Festival nanti bulan ini.

Videos by VICE

A preview of the English language digital version of ‘Chinese Whispers,’ which will debut this month in Ubud.

Ketika kerusuhan ’98 terjadi 20 tahun lalu, Rani hanya berumur 12 tahun. Tidak seperti 1.200 orang yang terbunuh dan ratusan perempuan yang diperkosa pada saat kerusuhan tersebut, Rani dan keluarganya untungnya relatif aman, apalagi setelah membeli tiket pesawat satu arah ke Australia.

Tetapi terornya tidak berhenti di situ. Saya berbicara dengan Rani, yang sekarang umurnya 30-an, mengenai kenangan-kenangannya terkait kekerasan, ketegangan rasial, dan bagaimana Chinese Whispers membantu dia untuk mengerti dan menyembuhkan diri dari kejadian-kejadian yang menimbulkan kerusuhan ‘98.

VICE: Apa dampaknya menyaksikan kekerasan berdasarkan ras dan gender sebagai anak kecil? Waktu itu umur kamu hanya 12, jadi apakah pada saat itu kamu sudah mengerti kompleksitas situasi itu? Bagaimana perasaanmu tentang insiden itu?
Salah satu tujuanku membuat Chinese Whispers adalah untuk menunjukkan contoh rasisme yang bermotivasi politik. Dampaknya nyata, konkret dan psikologis, juga pada anak kecil. Kerusuhan ‘98 terjadi saat umurku 12. Walaupun aku belum mampu mengerti kompleksitas situasi itu, aku menginternalisasikan kebencian yang diarahkan kepada orang Indonesia keturunan Tionghoa. Itu sebabnya ada satu bab di Chinese Whispers yang berjudul “Mewarisi Kebencian.”

Kecenderungan untuk membenci diri sendiri baru mulai luntur saat aku kuliah di University of Sydney. Aku lulus dengan gelar S-1 di bidang antropologi dan aktivitas sosial. Sejumlah kelas yang saya ambil dengan gamblang membahas etnis Tiongkok di Asia Tenggara. Makanya, saya akhirnya tahu kalau kerusuhan Mei ’98 adalah hanyalah sebagian kecil dari sentimen anti-Cina yang sudah lama dipupuk. Sentimen yang sama juga tumbuh dari politik segregasi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda saat menjajah Indonesia. Ini menjadi kerangka politis dan historis untuk lebih jauh memahami yang terjadi pada Mei 1998 dan menyadari bahwa itu bukan salahku sama sekali.


Menurut saya, rasisme yang bercorak politis berbeda dengan rasisme yang interpersonal, struktural dan sudah kadung terinstitualisasi. Apa menurutmu kerusuhan 1998 punya elemen interpersonal?
Nah, ini yang membuat kerusuhan Mei ’98 sebagai sebuah insiden yang kompleks karena memang jelas-jelas ada yang mendalanginya. Berkali-kali, para saksi mata menegaskan bahwa oknum-oknum berbadan tegap dan berambut cepak dimobilisasi ke area kerusuhan dengan truk. Etnis Tiongkok yang tinggal di area di mana kerusuhan terjadi tak mengenal mereka tapi orang-orang itu segera berteriak-teriak dan mengincar toko-toko milik etnis Cina. Jadi, kerusuhan Mei ‘98 tak cuma dipicu oleh kebencian laten terhadap etnis Cina, tapi memang kebencian ini sengaja dimanfaatkan.

Jangan lupa pula, ada segregasi interrasial dan kecurigaan antar ras—yang bisa kita sebut sebagai aspek interpersonal Mei ‘98. Tapi, apa yang ditunjukkan oleh pola kekerasan yang terjadi pada waktu itu adalah bagaimana terorganisasinya dan disengajanya itu. Kebencian interpersonal dimanfaatkan pada Mei ‘98.

Apa yang kamu harap capai lewat versi Inggris Chinese Whispers?
Chinese Whispers pertama kali ditampilkan sebagai sebuah instalasi performa dalam bahasa Inggris. Jadi, audio aslinya memang dalam bahasa Inggris. Versi bahasa Indonesianya baru direkam setelah itu. Saat pertama kali dipamerkan pertama kali di Melbourne dalam bahasa Inggris, penonton dari segala macam latar belakang budaya bisa memahami Chinese Whispers. Tujuannya pembuatannya adalah untuk menciptakan komunitas yang mau berdiskusi tentang kondisi yang kompleks dan tidak mengenakkan ini.

Saat kami mulai membuat versi digitalnya Mei lalu, tujuan kami tetap sama: membangun komunitas dan memulai diskusi. Kami secara khusus menargetkan audiens muda di Indonesia. Kini dengan mengikutsertakan Chinese Whisper di Ubud Writer Festival, harapannya diskusi yang berusaha kami bangun bisa meluas hingga ke tingkat global.

Apa yang ingin saya capai sebenarnya adalah menginspirasi orang untuk memulai berdiskusi dan melakukan refleksi diri. Lewat karya ini, saya ingin memicu sebuah perubahan sosial.

Ada audiens yang jadi emosional setelah menyimak karyamu enggak?
Instalasi Chinese Whispers dipandu oleh seorang aktris Indonesia keturunan Tionghoa. Salah satu tugasnya adalah mengelola sesi tanya jawab. Para pengunjung bisa berada di sekitar instalasi ini selama berjam-jam untuk ngobrol tentang pengalaman mereka. Kadang mereka sekadar mau didengarkan atau ngobrol tentang bagaimana karya ini nyambung dengan kehidupan mereka. Itulah yang kami temukan. Temuan yang sama juga muncul dari versi digital Chinese Whispers.

Bagi warga Indonesia keturunan Tionghoa yang hadir, karya ini mendorong mereka untuk bercerita tentang pengalaman mereka, yang kadang terasa sangat mengiris karena itu adalah pengalaman terburuk mereka dalam hidup. Bagi saya, ini luar biasa karena masih ada yang percaya bahwa kekerasan terhadap etnis Tiongkok—terutama kekerasan seksual pada perempuan Tionghoa Indonesia—tak pernah terjadi.

Masih ada pemegang kekuasaan yang tak menyangkal bahwa itu pernah terjadi. Orang-orang yang datang melihat Chinese Whispers menceritakan apa yang mereka alami dan karya saya memang menciptakan ruang untuk itu. Bagi saya, ini bagian paling penting dalam usaha memunculkan diskusi dan refleksi yang akan menyebabkan perubahan sosial.

Menurutmu apakah trauma insiden 98 juga akan berdampak pada generasi muda?
Tentunya. Banyak orang Indonesia keturunan Tionghoa yang berterima kasih kepadaku dan tim karena sudah melakukan proyek ini. Lalu mereka akan bertanya, “Memangnya kamu tidak takut?”

Ini sangat menjelaskan kondisinya sekarang, dalam hal diaspora dunia tentang orang Indonesia keturunan Tionghoa. Orang tua mereka mungkin mengirim mereka ke luar negeri karena tragedi Mei 1998. Belum lagi ada kasus mantan gubernur Jakarta yang dipenjara. Dari sini, kita bisa lihat kalau orang keturunan Tionghoa dianjurkan untuk tidak membuka mulut.

Banyak orang bertanya kenapa saya tidak takut karena orang tua mereka sendiri sangat takut. Ada yang memberitahuku kalau orang tuanya menyuruh mereka menghapus postingan Chinese Whispers dari Facebook mereka. Mereka sama sekali tidak dikasih tahu alasannya. Secara tidak langsung, ada semacam trauma antar generasi.

Sekarang mari kita bicara tentang penyembuhan traumanya, yuk. Bagaimana kamu menyikapinya?
Saya selalu ingat satu hal dan ini semua berkat teman saya, Max Leigh. Dia sejarawan dan penulis sejarah Indonesia. Dia bertanya kepadaku, “Apa bisa kamu menyembuhkan trauma tanpa mendapat keadilan?” Jujur saja sih, enggak bisa.

Masih banyak kekebalan, kebungkaman, penyangkalan dan usaha untuk menutup-nutupi fakta. Kasus ini sama sekali tidak berusaha diselesaikan. Impunitas ini musuh terbesar proses penyembuhan.

Aku enggak mau asal bilang kalau proyek ini memang dimaksudkan untuk menyembuhkan trauma, karena aku rasa ruang lingkup karyaku tidak sebesar itu. Aku suka bercerita, dan kontribusiku ya melalui cerita ini.

Chinese Whispers diceritakan melalui sudut pandang Rani saat masih 12 tahun. Orang merasa terwakili oleh ceritaku. Banyak anak muda yang memberitahuku kalau perasaan dan hal-hal yang mengganggu pikirannya serasa diakui. Keluarganya merasakan dampaknya, dan mereka sadar kalau mereka tidak sendiri. Aku enggak bisa mengklaim kalau proyek ini akan menyembuhkan luka, tetapi setidaknya aku tidak akan diam saja. Aku akan bercerita sebagai cara untuk mengakui kepedihan. Aku rasa ini juga bagian dari penyembuhan trauma.


Wawancara ini sudah kami sunting agar lebih ringkas dan enak dibaca.

Edisi bahasa Inggris Chinese Whispers akan diputar di Ubud Writers Festival pada 27 Oktober. Cari tahu lebih banyak soal pemutarannya di sini .