FYI.

This story is over 5 years old.

Hak Pekerja Seks

Berbagai Kesulitan yang Dialami Pekerja Seks Lansia di India

Kekhawatiran mereka tak sekadar seputar Penyakit Seks Menular.
foto oleh Justin Heifetz

Saat Kohinur Begam pertama kali diberikan kondom pada 1992, dia meniup kondom itu seperti balon. Kohinur, beserta perempuan-perempuan lain di sebuah rumah bordil di Kolkata, tidak paham soal kondom. Dia mencemooh para pembimbing yang jauh-jauh ke Sonagachi, lokalisasi terbesar di India, untuk memberi penyuluhan soal pencegahan HIV.

Kohinur, yang kini berusia 57 tahun, termasuk perempuan paling beruntung di Sonagachi. Separah-parahnya, dia hanya terjangkiti beberapa Penyakit Seks Menular (PSM) yang bisa diobati. Dibalut sari yang kuyup akibat hujan, Kohinur lebih sering menggerutu soal hari tuanya. Tapi di Sonagachi, yang dipadati sekitar 10.000 pekerja seks, kehidupan pekerja seks seusia Kohinur semakin menantang. Mereka yang selamat dari krisis penyakit seks di era 90-an kini menghadapi masa pensiun. Hal ini menimbulkan serangkaian kekhawatiran yang berbeda, dibandingkan saat mereka muda dulu. "Sekarang saya sudah enggak punya tenaga untuk menjadi pekerja seks," ujar Kohinur. Kini Kohinur menghabsikan hari-hari merawat kawannya, seorang lansia pengidap HIV. Ia mempersilakan temannya itu untuk tinggal di rumahnya.

Iklan

Baca juga artikel Vice lain seputar seksisme:

Kini Sonagachi tak memiliki masa depan yang pasti. Meski ketiga klinik di situ (klinik PSM, ginekologi, dan penyakit umum) amat penting bagi komunitas, mereka tidak bisa menyediakan obat-obatan mendasar dan layanan untuk penyakit-penyakit sederhana yang tidak menular seperti encok atau radang sendi.

Di India, di mana industrialisasi sedang pesat-pesatnya, jenis penyakit tersebut umum ditemukan terutama di area-area urban seperti Kolkata. Pada 2014 saja, penyakit-penyakit tidak menular, seperti kanker, diabetes, dan kondisi kardiovaskular menjadi penyebab 61 persen kematian di India. Angka tersebut diprediksi meningkat jadi 67 persen pada 2030. Pada tahun itu, kematian di India yang disebabkan oleh penyakit-penyakit tidak menular diprediksikan dua kali lebih tinggi dibandingkan di Cina, dan sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan di Amerika Serikat. Layanan kesehatan India mahal bukan main, dan sektor swasta telah mendominasi sistem ini karena pemerintah baru mengalokasikan hampir 1 persen anggaran APBN untuk dana kesehatan. Jika dibikin pemeringkatan untuk mengukur kualitas akses kesehatan, India menempati posisi menyedihkan. Kegagalan mereka soal sistem layanan kesehatan masyarakat jelas; kini, pertanyaannya adalah, apa pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi akan bertanggung jawab atas kegagalan tersebut? Menurut data pemerintah, hampir 22 persen populasi India masih hidup di bawah garis kemisikinan. Itulah sebabnya layanan kesehatan masyarakat menjadi satu-satunya pilihan mereka—beberapa bahkan tak punya pilihan sama sekali. Saat populasi Sonagachi menua, tantangan terbesar yang dihadapi komunitas ini adalah cara merawat perempuan-perempuan lanjut usia yang secara alami terpapar penyakit-penyakit tidak menular.
Pada 1992, pekerja seks komersil di Sonagachi membentuk serikat yang disebut Durbar (dalam Bahasa Bengali artinya "tak dapat dihentikan"). Meski perubahan terjadi dengan pelan, menurut para pekerja seks yang saya wawancarai, serikat ini pada akhirnya mengubah budaya di Sonagachi. Kepolisian tidak lagi bisa menggerebek rumah-rumah bordil dan menyiksa pekerja seks; para mucikari tak lagi bisa memberi upah dalam bentuk agar-agar dan pakaian; dan, yang terpenting, pekerja di Sonagachi memiliki layanan kesehatan. Sebuah klinik yang mudah diakses untuk pencegahan dan perawatan penyakit seks dan HIV. Klinik itu didirikan di jantung lokalisasi setelah serikat terbentuk, dengan pendanaan penuh dari pemerintah pusat. Sebuah penelitian dari Durbar yang digelar pada 1992 mengungkap fakta bahwa 81 persen pekerja seks di Sonagachi mengidap sekurang-kurangnya satu penyakit seks menular. Sejauh yang diamati para peneliti, tidak ada yang menggunakan (atau bahkan paham soal) kondom. Tahun lalu, pengidap penyakit seks menular menurun drastis, hanya ditemukan pada 7 persen pekerja seks. Itu karena ada peningkatan dalam penggunaan kondom. Sebanyak 95 persen pekerja seks telah menggunakan kondom. Sementara itu, pengidap HIV/AIDS juga menurun dari 11 persen pada 1998 menjadi 2 persen pada 2016. Penyakit menular di Sonagachi akhirnya mereda berkat upaya serikat. Namun, menurut Smarajit Jana, epidemiolog di Kolkata, "Penyakit-penyakit tidak menular kini ditemukan di mana-mana." Smarajit menggagas rencana layanan medis Durbar, dan kini menjabat sebagai penasehat medis bagi serikat tersebut. "Pekerja seks lansia tidak memiliki sarana untuk bertahan hidup. Sebagian pindah ke pedesaan. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, mungkin mereka akan meninggal pelan-pelan," ujar Smarajit. Jenis nyeri sendi yang dialami perempuan-perempuan di Sonagachi membutuhkan terapi fisik rutin, yang tak terjangkau oleh warga miskin di kota. Sebagian besar pekerja seks di sana tidak memiliki asuransi kesehatan. Banyak pekerja seks lanjut usia di Sonagochi juga memiliki gula darah tinggi, sehingga berisiko mengidap diabetes. "Kesulitannya timbul dari penyakit mereka, dan juga sistem pendukung," ujar Smarajit. "Pengidap diabetes perlu pasokan obat rutin yang tidak bisa kami berikan. Sama saja dengan gangguan penglihatan, kami tidak bisa memberikan kacamata atau apapun selain operasi sederhana untuk mengobati katarak." Pasien dengan infeksi saluran pernapasan di kalangan lansia kini banyak ditemukan di klinik-klinik. Kapasitas paru-paru biasanya menurun setelah usia 50 dan kota Kolkata urban kini menjadi kota dengan tingkat polusi tertinggi di India. Untuk mengobati infeksi ini, pasien membutuhkan mesin nebulizer yang harganya tak terjangkau oleh para dokter Durbar di Sonogachi. Selain itu, baru-baru ini ada laporan mengenai segelintir kasus kanker yang menjangkit pekerja seks berusia di atas 50 tahun di Sonagachi. Biaya perawatannya, jika tanpa asuransi, tidak masuk akal. Penyakit-penyakit tersebut menjadi tak terobati. Saat usianya 17 tahun, suami Abeda Bibi minggat. Seorang perempuan di desanya menawarkan pekerjaan di rumah bordil. Dia bilang apartemennya terletak di Kolkata; saat Abeda tiba, ternyata apartemennya berada persis di Sonagachi. Berdiri di gerbang lokalisasi, Abeda tahu dia telah dikelabui supaya menjadi pekerja seks. "Si mamih memaksa saya menerima pelanggan kalaupun saya lagi enggak mau," ujar Abeda. Kini, saat usianya 45 tahun, dia masih ingat mucikarinya menolak membayarkan upahnya dan jarang memberinya makanan. Dulu, Kohinur juga dipaksa hidup di lokalisasi oleh seorang laki-laki yang berjanji akan menikahinya. Saat masih tinggal di desanya, yang terletak di Bengal Barat, Kohinur kecil unggul di sekolah, terutama pada pelajaran sastra India. Akan tetapi, laki-laki yang dijodohkan dengan Kohinur memiliki rumah bordil di Sonagachi. Saat dia berusia 17 tahun dan siap dinikahkan, laki-laki ini menjualnya pada dua anggota laki-laki keluarganya. "Mereka berhubungan seks dengan saya selama tiga bulan. Mereka sering bilang, 'Kamu harus ikutan jadi pekerja seks,'" ujar Kohinur. "Ya saya enggak bisa ngapa-ngapain. Saya pasrah." Bertahun-tahun setelah serikat dibentuk, Abeda dan Kohinur akhirnya bisa mandiri dan meninggalkan mamih-mamih mereka yang kejam. Alih-alih menawarkan layanan seks pada orang-orang yang seliweran di sekitar lokalisasi, mereka mencari seorang babu -istilah yang digunakan untuk menyebut seorang klien berdedikasi yang bisa dianggap kekasih. Saat mengobrol dengan saya, mereka berdua sering menyebut sang babu sebagai "suami." Kohinur memiliki dua orang anak dari hubungannya dengan babu. Anak-anaknya kini telah dewasa; anak perempuannya meninggalkan Sonagachi di usia 18 tahun dan menikah dengan perwira tentara India.
"Dulu kami sangat tersiksa, sebelum ada serikat," ujar Kohinur. "Sekarang ada ginekolog di klinik, jadi saya bisa memeriksakan diri… dan bisa mendapatkan pinjaman dari koperasi." Durbar mendirikan Koperasi Multifungsi Usha pada 1995 untuk mendanai serta mensubsidi kondom dan pembalut untuk siapapun yang tinggal di Bengal Barat, ujar pengelolanya, Santany Chatterjee. Dengan pinjaman dari koperasi, Kohinur membeli tiga bajaj: Dia menyewakan satu untuk anak laki-lakinya, yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi bajaj. Meski komunitas ini telah mengalami kemajuan dalam hal akses terhadap kebutuhan mendasar, seperti pinjaman kecil dan kondom, ribuan pekerja seks masih mengalami kesulitan. Perempuan-perempuan seperti Kohinur dan Abeda tidak memiliki pendidikan dan perencanaan finansial untuk bertahan hidup ketika mereka tak lagi bisa mencari uang sebagai pekerja seks. "Dalam sepuluh tahun, saya enggak bisa bekerja seperti biasanya karena saya sudah tua. Saya harus mikirin cara lain," ujar Abeda. Dia memiliki sepetak tanah di desa, dan rencananya dia akan kembali ke sana nanti. Dia bilang, rekan-rekannya tidak seberuntung dia, dan mereka boleh jadi tidur di jalanan saat tua nanti. "Coba pemerintah bisa menyediakan naungan bagi para pekerja seks yang tidak punya rumah," ujarnya. Bagi Kohinur, bisnis bajaj dan pinjamannya dari koperasi tidak cukup untuk mempersiapkan masa pensiun, atau untuk merawat penyakit-penyakitnya. Penggantian lutut dan osteoartritis, masalah kesehatan yang semakin sering ditemukan di kalangan lansia, memerlukan biaya tiga kali lipat dari yang disediakan asuransi standar, menurut Smarajit. Kohinur bahkan masih kesulitan balik modal. Upaya mendapatkan sponsor, untuk memperluas klinik-klinik dan memperbaiki layanan kesehatan di Sonagachi, belum berbuah. Durbar, sebagian besarnya, terus bertahan berkat pendanaan kecil-kecilan dari pemerintah atau donatur asing, seperti Bill & Melinda Gates Foundation yang mendanai program percobaan untuk mengobati ratusan pekerja seks pengidap PrEP (profilaksis pra-paparan). Akan tetapi, pendanaan ini tidak menjamin masa depan mereka. "Kami tidak bisa membuat rencana untuk masa depan, karena kami membutuhkan dukungan lebih banyak," ujar Smarajit. "Kami telah membuka dialog dengan perusahaan-perusahaan, tapi mereka tidak tertarik untuk mendukung penyembuhan penyakit-penyakit tidak menular." "Saya rasa tidak akan ada perubahan besar bagi Sonagachi dalam waktu dekat. Pemerintah kurang mendukung kelompok-kelompok marjinal dan sekarang alokasi dana kesehatan di bawah 2 persen APBN," ujar Smarajit.

Pada akhirnya, perempuan-perempuan seperti Kohinur adalah yang paling rentan di Sonagachi. Tapi, dia menolak meratapi hidupnya. Kohinur tetap percaya, terlepas segala kesulitan hidup yang dialaminya, kehidupan di Sonagachi cukup berfaedah. Anak perempuannya menerbangkannya ke Kanada untuk berlibur selama 22 hari, yang sangat jarang terjadi bagi penduduk kawasan kumuh Kolkata. Kedua anaknya telah menikah, dan dia bangga bukan main; inilah sumber kebanggaan bagi para ibu miskin di India. Dan dia telah berlatih untuk hidup tanpa rasa hina. "Saya pekerja seks, dan saya enggak peduli dengan omongan orang," kata Kohinur.