Kisah Tragis Atlet Sepakbola Pertama Mengaku Gay

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports

Waktu berusia 12 tahun, saya menonton Justin Fashanu bermain di Belle Vue, Stadion kawasan Doncaster, bekas markas klub sepakbola kesayangan saya: Doncaster Rovers. Hari itu Fashanu turun membela Torquay United. Jujur saja, laga hari itu tak istimewa-istimewa amat, hanya sebuah pertandingan standar Divisi Empat Inggris yang kebetulan harus saya tonton tiap hari sabtu saat masih bocah karena diajak ayah. Kendati begitu, pertandingan tersebut punya tempat penting dalam perjalanan saya sebagai penggemar sepakbola. Hari itu, saya menyaksikan pelecehan paling rasis dan homofobik yang pernah saya saksikan di lapangan hijau.

Videos by VICE

Banyak kenangan yang luntur setelah beberapa dekade berlalu, tapi itu tak berlaku pada apa yang saya lihat hari itu. Pelakunya masih saya ingat jelas. Dia sudah ompong, sudah kelihatan sepuh. Saya masih ingat ludah yang mengumpul di tepi bibir pelaku begitu nenek-nenek itu meneriaki pemain centre-forward kesebelasan yang dia dukung. Saya masih ingat rasanya ingin mendoakan sisa hidup nenek bangsat itu tinggal hitungan hari atas perilaku homofobiknya. Masih membekas pula betapa saya merasa iba kepada sosok yang dicerca si nenek bedebah itu. Saya iba kepada Justin Fashanu—yang dicerca hanya karena dia penyuka sesama jenis.

Empat tahun berselang, tepat pada 2 Mei 1998, Justin Fashanu, pria yang dilecehkan sang nenek iu, ditemukan tewas gantung diri pada sebuah garasi di Kota Shoreditch.

Forbidden Games: The Justin Fashanu Story adalah dokumenter yang menggambarkan kisah hidup Fashanu yang acak-acakan sejak awal. Terlahir pada Februari 1961 di Hackney, Fashanu lahir dari ayah seorang pengacara Inggris berdarah Nigeria dan perawat asal Guyana. Tak lama sesudah lahir, Fashanu langsung dititipkan di panti asuhan Barnardo bersama adik lelakinya John, saat masih sangat belia. Pearl, ibu Fashanu, muncul sekelebat saja dalam film dokumenter tersebut. Persis seperti apa yang dia lakukan dalam hidup Fashanu.

Saat berusia enam tahun, Fashanu dan adiknya diadopsi oleh Alf dan Betty Jackson, pasangan yang mulai menua dan tinggal di Shropham, Norfolk. “Saya awalnya ragu mengadopsi anak kulit berwarna,” ujar Betty dalam dokumenter itu, sebelum akhirnya mengatakan bahwa “tekstur” kulit kedua anak itu memenangkan hatinya. Adegan ini memicu perasaan yang saling bersebrangan. Di satu sisi, kita bisa terharu melihat rasa sayang Betty pada dua anak asuhnya. Di sisi lain, kita teringat betapa rasisnya penduduk Inggris pada masa itu.

Bahkan sebelum kita jauh menyelami tragedi kehidupan Fashanu, film ini menjajarkan potret Inggris yang muram sebagai latar belakang kehidupan Fashanu. Pidato politikus ultranasionalis Enoch Powelll yang sangar rasis dulu pernah disambut gegap gempita; Partai rasis Front Nasional berbaris di jalanan dengan mamasang muka sangar bak anjing herder. Sementara, Perdana Menteri Inggris saat itu, Margaret Thatcher, mengeluarkan peringatan dan ancaman halus pada generasi yang menganggap “homoseksual itu bukanlah sebuah kesalahan.”

Di tengah segala kemuraman ini, di Norwich, seorang pemuda kulit hitam—satu-satunya pemuda kulit hitam selain adiknya John dalam radius satu mil—menemukan sepakbola sebagai panggilan jiwa.

John dan Justin saat masih kecil.

Justin meneken kontrak dengan Norwich City pada 1978, menjalani debut liganya setahun kemudian. Pada 1980, Fashanu melesakkan gol yang tak hanya mencuatkan namaya, namun sekaligus memulai kehancurannnya. Fashanu mungkin sudah mencatat 103 cap bersama tim senior Norwich, mengumpulkan 40 dan punya catatan lumayan di timnas Inggris U21. Akan tetapi, gol-nya ke gawang Liverpool lah—salah satu gol paling keren dalam sejarah persepakbolaan, sebuah tendangan voli kaki kiri yang mengarahkan bola ke sisi kiri gawang Liverpool; sebuah gol yang diganjar Gol Terbaik versi BBC untuk musim kompetisi 1979/1980—yang menyadarkan publik akan keberadaan Justin Fashanu.

Setidaknya sampai saat itu.

Pinangan dari Brian Clough, manajer yang membawa Nothingham Forest juara Piala Champions datang setahun kemudian. Tak mau melewatkan kesempatan emas, Fashanu menandatangani kontrak senilai £1 juta (setara Rp19 miliar) pada bulan Agustus 1981. Fashanu jadi pemain berkulit hitam pertama yang dibayar sebesar itu. Kendati demikian, nilai kontrak yang besar sebetulnya sepadan dengan tugas berat yang diemban Fashanu. Dia masuk menggantikan Trevor Francis, sosok yang pemain yang begitu dicintai oleh pendukung the Tricky Trees—julukan Nottingham Forest.

Tak pelak, Fashanu bermain di bawah bayang-bayang Travis. Hubungan dengan Clough juga memburuk. Penyebabna adalah desas-desus bahwa Fashanu kerap kedapatan muncul di skena gay Nothingham. Di Nothingham, Clough punya banyak bawahan yang siap memberinya informasi tentang segala hal—termasuk tingkah polah anak asuhnya. Singkatnya, nyaris tak ada yang luput dari pantauan sang manajer.

Begitu berita kurang mengenakkan itu sampai ke kupingnya, Clough langsung berang. Dalam buku biografinya yang terbit pada 1995, Clough masih mengingat kalimat yang keluar dari mulutnya saat menegur keras Fashanu. “Kamu harus pergi kemana kalau mau nyari roti?’ tanyaku. “Ke Toko Roti, mungkin.’ ‘Lalu ke mana kalau kamu pengin nyari kaki domba?’ ‘ke toko daging.’ ‘Terus kenapa kamu terus-terus nongol di kafe homo itu?”

Akibatnya, Justin dilarang ikut berlatih dengen rekan-rekan satu timnya. Rasa percaya dirinya ambrol dan karirnya menukik tajam ke level yang paling bawah.

Selepas keluar dari Nottingham Forest, Fashanu menjalani hidup bak seorang gelandangan sepakbola, tak pernah punya rumah tetap. Karir Fashuna diwarnai tur melewati klub-klub yang kini tersisa namanya belaka semacam Los Angeles Heat and Edmonton Brickmen, Hamilton Steelers, Atlanta Ruckus, hingga Toronto Blizzard.

Fashanu pernah sejenak merumput di Manchester City dan West Ham United, bermain satu laga di Trelleborg, Swedia, berlabuh di Scotland Hearts, Leyton Orient, Notts County dan puluhan klub semenjana lainnya. Di sela-sela pengembaraannya, Fashanu menyempatkan diri pulang ke Nigeria untuk sekali lagi berdamai dengan sang ayah.

Sayang, Fashanu kembali dengan hati yang terluka karena penolakan ayahnya, setelah tahu bila dia seorang gay. Fashanu sempat mengklaim punya hubungan spesial dengan anggota parlemen dari Partai Konservatif.

Pada 1990, Fashanu dibayar £70.000 (setara Rp1,3 miliar) oleh The Sun untuk melela, membuka identitas sosialnya. Sang adik, John yang kini telah merasakan menjadi kampiun piala FA dan masuk timnas senior Inggris serta sudah jauh lebih terkenal dari Fashanu—menawarinya £100.000 (setara Rp1,9 miliar) agar tutup mulut karena malu atas orientasi seksual sang kakak. “Aku tak mau ganti baju dan dekat-dekat dengannya lagi,” kata John muda dalam Forbidden Games, sebelum menyebut kakaknya sebagai “seorang musuh bebuyutan.”

Fashanu mengakhiri karir profesionalnya pada 1997, jauh dari Inggris, tepatnya di Selandia Baru. Dia bermain untuk kesebelasan asal Wellington, Miramar Rangers. Saat itu, Fashanu tak lebih dari catatan kaki sepakbola global yang sudah banyak dilupakan orang.

Setahun kemudian, saat sedang bermukim di Ellicott City, Maryland, Amerika Serikat, seorang pemuda berumur 17 tahun mengaku jadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh Fashanu. Dia lantas diperiksa pada 3 April 1998, tapi tidak sampai ditahan. Polisi setempat lantas menggeledah rumah Fashanu dan berusaha menangkapnya atas tuduhan melakukan kekerasan seksual tingat dua. Sebelum diringkus aparat, Fashanu berhasil terbang ke London.

Surat bunuh diri Fashanu, yang ditemukan dekat jasadnya sebulan kemudian, berisi pembelaan bila hubungan seksual yang dijalani bersama pemuda yang melaporkannya dilakukan atas dasar suka sama suka. Namun, dia tak mau “mempermalukan kawan dan kerabatnya lagi.”

Justin Fashanu adalah pesepakbola berbakat, meski tidak luar bisa. Begitu pula dokumenter Forbidden Games. Film ini punya potensi, tapi akhirnya tidak memberi banyak perspektif baru. Tapi untuk usahanya menggambarkan kehidupan sosok yang luar biasa—tepatnya, kehidupan seorang atlet sepakbola yang tak dikenal bahkan oleh orang-orang terdekatnya— Forbidden Games adalah film menarik. Musik pengiring film dipilih dengan baik dan sesuai dengan alur cerita dari dekade 70’an, 80’an dan 90’an. Namun, narasinya bikin kepala berkerut. Sebagai pembanding, Forbidden Forward, buku biografi tentang Fashanu karangan Nick Baker yang keluar pada 2013, punya narasi yang lebih runut dan jelas. Masalahnya, ini adalah buku dan selamanya bakal jadi buku.

Cacat lainnya datang dari kecenderungan sinas penggarap film Forbidden Forward menggusur detail-detail penting ke tempat sampah. Kesusahan Fashanu menerima seksualitasnya sebagai seorang pria berkulit hitam dan gagal sistem penunjang dalam hidup Fashanu tak banyak disentuh. Dalam film ini, kontradiksi antara identitas Fashanu sebagai lelaki gay dan tugasnya sebagai teladan di lingkungan gereja, cuma disentuh sekelebat. Butuh waktu sampai penonton bisa memahami konteks kenapa adik kandungnya sangat membenci Fashanu. Begitu kita sampai di pengalaman gereja, kita akhirnya mafhum sebetulnya cerita tragis Fashanu bersaudara dipicu persaingan kakak beradik.

Kehadiran John juga bikin runyam saja. Dirinya antara ada dan tiada dalam film. Film ini keluar hanya lima tahun setelah John berkata pada TalkSPORT sambil mengatakan tak percaya sang kakak adalah lelaki gay.

Dia mengatakan bahwa kakaknya cuma seorang “pencari perhatian.” Lebih jauh, dia berujar bahwa sepakbola, “adalah cabang olah raga untuk lelaki macho dan saya rasa tak akan ada pemain sepakbola gay—dalam 20 tahun karir saya, saya tak pernah bertemu pemain sepakbola gay.” Ada sebuah adegan yang sengaja dibikin wah saat mata John penuh air mata. Lalu ada juga adagen ketika dia bilang “Kayaknya cukup dulu deh.”

Di hari yang sama Forbidden Games pertama kali tayang di London, ikut tayang pula serial Gone to Pot—sebuah tayangan reality show yang menampilan pesohor-pesohor seperti Pam St Clement, Christopher Biggins, dan John Fashanu mengisap ganja untuk pertama kali. John tak sempat meluangkan waktu untuk diwawancarai VICE untuk artikel ini. Hidup sepertinya terus berlanjut, kecuali untuk beberapa orang.

Pada akhirnya, pertanyaan “kenapa sampai sekarang belum ada lagi pemain sepakbola gay yang melela?” masih sering didengungkan. Forbidden Games adalah jawaban untuk pertanyaan tersebut. Sepakbola rupanya memusuhi mereka yang berusaha melela.