Saat masyarakat Indonesia panik akibat virus Corona, orang dengan HIV/AIDS di Indonesia punya masalah yang tak kalah menakutkan: menipisnya stok obat yang bisa memperpanjang nyawa mereka. Temuan itu disampaikan Indonesia AIDS Coalition (IAC), lembaga advokasi beranggotakan orang-orang yang terdampak AIDS. Berdasarkan pantauan IAC, seperti dikutip Suara Merdeka, ada lebih dari 40 kabupaten/ kota di Tanah Air yang mengalami kesulitan stok obat ARV sejak awal Februari 2020.
Terapi obat-obatan antiretroviral (ARV) adalah prasyarat penting agar kondisi penderita HIV tidak memburuk, dan status pasien tidak naik menjadi pengidap AIDS. Sejak 2004, terapi ARV diberikan gratis oleh pemerintah Indonesia kepada penderita, lewat puskesmas dan rumah sakit. Dengan total 130 ribuan orang dengan HIV/AIDS di seluruh Indonesia, kelangkaan stok jelas mengancam nyawa banyak orang.
Videos by VICE
“Beberapa obat ARV sudah menunjukkan stok di ambang kekurangan atau dalam kondisi ‘merah’,” kata Aditya Wardhana selaku Direktur Eksekutif IAC lewat keterangan tertulis. “IAC menilai respons pemerintah terkait pengadaan obat ARV ini dirasa kurang padahal dananya sudah tersedia dan bahkan beberapa obat sudah tercantum dalam E-Katalog.”
Siapa sangka, stok menipis ini dipicu oleh kegagalan tender pada 2019 dan terkait pula dengan dugaan korupsi yang terjadi dua tahun sebelumnya. Itu kenapa Kejaksaan Agung sampai terlibat meneliti apa saja faktor yang mengganjal pengadaan obat ARV.
Kasus ini bermula awal 2016, ketika tercium dugaan penggelembungan harga ARV yang dibeli Kemenkes dari dua distributor lokal. Harganya jadi dua kali lipat lebih tinggi dari banderol di pasaran. “Harga obat AIDS di pasaran internasional sekitar US$8 per botol, tapi kemudian pemerintah kita membelinya dengan harga Rp400 ribu rupiah pada 2016. Artinya kan ada potensi kerugian negara di situ,” kata Aditya Wardhana dilansir Suara Merdeka.
Hanya dua distributor lokal yang mendapat izin dari Kemenkes dan BPOM untuk menjual obat ARV impor dari India, yakni Kimia Farma Trading & Distribution dan Indofarma Global Medika. ARV jenis FDC dijual Kimia Farma seharga Rp400.000 per botol, Indofarma menjualnya Rp385 ribu.
Menurut IAC, kalau berpatok pada harga internasional Rp112 ribu per botol, plus biaya cukai dan lain-lain serta 20 persen keuntungan perusahaan, seharusnya harga obat ARV di Indonesia hanya Rp175.000. Pemerintah bisa menghemat 40 persen anggaran pengadaan ARV sebesar Rp1,3 triliun pada 2017.
Dengan kontras harga yang nyata seperti itu, menurut Aditya, “kasus [korupsi] ini rasanya tidak sulit dibuktikan ada.”
Oktober 2018, Kejagung mulai memeriksa dugaan korupsi tersebut. Sebanyak 26 saksi diperiksa, enam di antaranya petinggi Kimia Farma Trading & Distribution. Mei tahun lalu, dua pejabat Kejagung sudah optimistis akan menetapkan tersangka sebentar lagi mengingat mereka telah memeriksa puluhan saksi. Faktanya sampai sekarang tidak ada satupun orang ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus itu lantas menggantung. Ditutup tidak, beranjak dari tahap penyidikan pun tak. Sementara itu, pada akhir 2018 Kemenkes melakukan rutinitasnya menggelar lelang tender terbatas pengadaan ARV untuk periode 2019.
Tender terbatas itu diikuti oleh, tidak lain dan tidak bukan, Kimia Farma dan Indofarma. Namun, tak satu pun perusahaan itu menang karena menurut Kemenkes, harga yang dipatok terlalu mahal: Rp404 ribu dari Kimia Farma, Rp385 ribu dari Indofarma. Alhasil, anggaran pengadaan sebesar Rp340 miliar pun dikembalikan ke Kemenkeu.
Separuh orang dengan HIV di Indonesia yang menerima terapi ARV mengonsumsi obat ARV tipe fixed dosed combination (FDC), gabungan tiga obat tenofovir, lamivudin, dan efaverens (biasa disingkat TLE) dalam satu tablet. Untuk menjaga kesehatannya tetap stabil, penderita HIV harus meminumnya rutin setiap hari di jam yang persis sama selama seumur hidup. Melanggar jadwal rutin minum obat ARV bisa membuat kondisi penderita turun yang mana untuk memperbaikinya, ia harus berpindah ke obat lain yang lebih mahal.
Untuk mengisi suplai ARV di 2019, Kemenkes kemudian membeli sendiri 220 ribu botol ARV jenis FDC dari produsennya di India, Mylan. Uang yang dipakai Kemenkes berasal dari lembaga donor Global Fund. Namun, stok sebanyak itu cuma cukup memenuhi kebutuhan 43 ribu orang dengan HIV yang biasa mengonsumsi ARV FDC sampai April 2019.
Kebutuhan ARV kemudian diisi dengan jenis lain yang bukan FDC, yang memang sudah dikenal di Indonesia. Jenis yang disebut “ARV pecahan” ini bisa dibuat sendiri oleh perusahaan farmasi lokal, berbentuknya tenofovir, lamivudin, dan efaverens masing-masing berupa tablet tersendiri. Obat pecahan inilah yang kemudian dibagikan kepada orang dengan HIV pengguna FDC sepanjang 2019 lalu.
Anehnya, menurut IAC, obat pecahan ini pun tak lebih murah karena dijual jauh dari harga pasaran internasional. IAC mencontohkan tenovir yang di luar negeri seharga Rp47 ribu, di Indonesia dihargai Rp252 ribu per botol.
Obat pecahan ini menimbulkan masalah bagi pasien. Ada keluhan bahwa obat “pecahan” sulit dihafal karena dosis dan waktu minumnya berbeda. Jika dengan FDC sehari cukup minum 1 tablet, ketika berganti obat pecahan pasien harus minum 4 tablet. Ada pula laporan efek samping lebih keras serta muncul gejala pusing serta ruam kulit dialami pasien yang tadinya mengonsumsi tipe FDC.
Sudah selesai? Belum. Laporan investigasi jurnalis Aulia Adam dari Tirto.id menemukan sejumlah aduan pasien yang mendapat obat ARV pecahan kedaluwarsa. Mereka tak bisa memaksa untuk diberi ARV FDC. Karena menurut tenaga kesehatan, stok pecahan harus dihabiskan dulu sebelum ARV FDC dikeluarkan.
“Saya curiga tender ini memang diatur supaya gagal sehingga pemerintah harus beli ARV pecahan,” kata Aditya, dikutip Tirto.