Hubungan

Seperti Inilah Pengalaman Napi Berhubungan Seks Dalam Penjara

“Seks bukanlah segala-galanya bagi kami. Yang terpenting, kami bisa berpelukan tanpa perlu khawatir diperhatikan sipir penjara.”
Ilustrasi dua orang berpelukan di dalam penjara
Ilustrasi: Emel Aydin

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Belgia.

Kedekatan emosional sangatlah penting bagi kelangsungan suatu hubungan, terutama soal asmara. Keharmonisan itulah yang sulit dijaga ketika salah satunya mendekam di penjara. Hampir tidak ada cara memenuhi kebutuhan biologis karena terbatasnya waktu kunjungan.

Iklan

Lembaga pemasyarakatan di sejumlah negara di Eropa telah berupaya mengatasi masalah ini dengan mengizinkan narapidana menghabiskan beberapa jam bersama pasangan tanpa didampingi sipir. Sudah tersedia ruangan khusus untuk mereka bercengkerama. Kunjungan suami-istri dilaporkan dapat mempererat ikatan keluarga, meski napi tengah menjalani hukuman di balik jeruji. Hasil riset juga menunjukkan rendahnya tingkat kekerasan pada penjara-penjara di Amerika Serikat yang memfasilitasi kunjungan semacam ini. Penelitian lain bahkan menggambarkan kunjungan suami-istri sebagai “hadiah” bagi para napi yang berkelakuan baik, agar hak-hak dasar mereka tetap terpenuhi.

Di Belgia, pasangan harus punya bukti sudah menikah atau menjalin hubungan serius supaya mendapat privasi untuk berduaan saja. Pada umumnya, mereka bisa berkunjung sebulan sekali selama dua jam. Akan tetapi, tak sedikit lapas yang memberikan kelonggaran.

Florence* sudah tujuh tahun lebih mendekam di penjara — awalnya di kota Mons, tapi kemudian dipindahkan ke Berkendael. Di lapas tempatnya menjalani hukuman saat ini, para napi boleh bertemu pasangan mereka dua kali sebulan dengan durasi waktu maksimal empat jam. Kesempatan ini dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Florence dan pasangannya, Daniel, untuk melepas kangen.

Iklan

Kepada VICE, keduanya menceritakan segala rintangan yang mereka lalui agar hubungan tetap langgeng. Simak nukilan wawancara mereka dalam Sexualité Sous Surveillance (Seksualitas di Bawah Pengawasan), podcast berbahasa Prancis yang menyelami kehidupan di dalam lapas perempuan.

Florence: Saya berdandan secantik mungkin sebelum bertemu Daniel — saya merapikan rambut, merias wajah dan sebagainya. Saya semakin deg-degan menjelang waktunya tiba. Ketika sipir datang menjemput, mereka bertanya saya sudah siap atau belum. Saya cuma bisa bilang sudah siap, padahal sebenarnya belum. Semua mata tertuju padaku saat sipir membimbing saya menyusuri lorong-lorong menuju ruangan tempat saya akan bertemu dengan Daniel. Mereka melontarkan kata-kata kotor, seperti “Mau ngewe ya?”, tapi tak ada satu pun sipir yang menegur mereka.

Selama berjalan, saya mencoba mengabaikan mereka dan fokus memikirkan pasangan yang sangat saya rindukan. Tapi sulit bagiku membayangkan kelembutannya, yang sering saya kaitkan dengan bercinta. Ada yang melempar seprai dan handuk besar ke arahku.

Kami lalu memasuki sayap baru, yang juga berupa lorong penuh pintu. Saya muak mendengar komentar semacam “Dasar pelacur!” — rasanya ingin kabur saja. Saya ketakutan, tapi sipir malah menertawakanku. Mereka lalu menyuruh saya masuk ke sebuah ruangan dan menunggu Daniel di sana.

Iklan

Lantainya lengket, sedangkan sofa yang ada di sana terlihat begitu menjijikkan. Saya melihat toilet portabel, tapi shower-nya sudah rusak — sesuai peringatan teman-teman napi. Ruangan itu bau apak. Pokoknya benar-benar tidak nyaman. Cowok saya akhirnya datang, dan saya mendengar orang berteriak “selamat ngewe!” sebelum dia menutup pintu.

Daniel: Kondisi ruangan sangat mengerikan. Kami cuma diberi seprai tanpa selimut, dan itu pun dilapisi plastik. Radio sengaja dinyalakan untuk meredam suara, baik suara napi yang berteriak di sebelah ruangan maupun suara kami. Juga ada kondom di sana. Setelah sipir meninggalkan kami berdua, kami berusaha sekuat tenaga melupakan kondisi ruangannya. Itu satu-satunya cara supaya kami bisa menikmati waktunya. Di sana, kami cuma berpelukan dan kelonan.

Florence: Saya cuma bisa menangis, jadi kami terus berpelukan. Waktu terasa sudah banyak berlalu, padahal baru berjalan 45 menit. Kami baru memasang seprai setelah keadaan di luar sudah agak lebih tenang. Setelah itu, kami melepas pakaian dan kelonan di atas sofa. Pada saat itulah saya baru merasakan kembali kelembutan dari pasangan.

Kami cuma tiduran, tidak melakukan apa-apa. Kami hanya bisa merenungkan realitas di depan kami.

Daniel: Bagi kami, ikatan emosional lebih penting dari segalanya, dan itu tak melulu tentang seks. Bisa berpelukan dan mencium pasangan tanpa perlu khawatir diperhatikan orang saja sudah cukup untuk kami.

Iklan

Selama kunjungan, kami tak sempat berfantasi atau mengenakan pakaian seksi. Mau tak mau kami harus puas dengan semua ini karena tidak ada alternatif lain.

Florence: Kami baru bisa bercinta pada pertemuan keempat, setelah kami beradaptasi dengan situasi yang ada. Kami masa bodoh ruangannya kayak gimana, dan menutup telinga dari komentar para napi di luar ruangan.

Berhubung sofanya sudah reyot, kami harus hati-hati supaya tidak jatuh. Kami cuma bisa tertawa saat beneran jatuh, soalnya absurd banget. Meski begitu, kami kadang-kadang saja berhubungan seks. Kami sadar jarang sekali bisa bertemu, tapi kami tidak melakukannya setiap Daniel datang berkunjung.

Daniel: Saya rasa hubungan hanya bisa bertahan jika kalian benar-benar saling cinta. Kunjungan ini memang kurang memuaskan, dan takkan bisa menggantikan momen kedekatan seperti saat kamu bangun tidur sambil memeluk pasangan di pagi hari. Tapi kamu harus menerimanya.

Mereka bilang kami berhak menyalurkan perasaan, tapi dibatasi pada hari tertentu dari pukul setengah tiga sore hingga setengah tujuh malam. Urusan cinta seharusnya tidak terbatas, tapi begitulah sistem yang ada di penjara. Untung saja, kami bisa mengakali segala keterbatasan selama 7,5 tahun supaya kehidupan seks tetap menggelora.

Kamu mesti mematuhi peraturan jika ingin mendapatkan hakmu di penjara. Kamu harus puas dengan fasilitas yang diberikan. Saya memang memiliki kebebasan karena tidak dipenjara seperti Florence. Tapi kalau kita berbicara soal psikologis, saya merasakan hukuman yang sama seperti yang dihadapi pasanganku.

*Nama telah diubah