Pelanggaran HAM

Ide Pemerintah Picu Kontroversi, Pelanggaran HAM Berat Bisa Selesai Tanpa Proses Hukum

Kemenkumham menunggu satu RUU dan satu perpres disahkan sebelum mengeksekusi wacana itu. Keluarga korban kasus 1965, Tanjung Priok, hingga penembakan Semanggi tak dilibatkan.
Kemenkumham godok aturan kasus Pelanggaran HAM Berat Bisa Selesai Tanpa Proses Hukum
Peserta aksi rutin Kamisan menolak lupa pada dugaan pelanggaran HAM di masa lalu, di seberang Istana Negara. Foto via Getty Images 

Solusi damai dikedepankan pemerintah saat menangani deretan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di masa lalu. Tanpa melibatkan korban maupun keluarga, pemerintah menggodok aturan agar kasus pelanggaran HAM berat bisa “didamaikan” tanpa lewat mekanisme pengadilan atau lewat jalur non-yudisial.

Ide ini digarap dengan serius. Jumat dua pekan lalu (12/3), Direktur Jenderal Bidang HAM Mualimin Abdi dari Kemenkumham telah menggelar rapat dengan Menko Polhukam Mahfud MD, membahas perkembangan upaya tersebut. Namun, mereka masih harus menunggu dasar hukum RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) diketok DPR RI. Saat ini RUU KKR masuk prolegnas 2021.

Iklan

Pemerintah rupanya juga tengah merancang perpres tentang Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (UKP-PPHB), demikian dilaporkan Tirto.

Rancangan perpres tersebut berisi 23 pasal yang menjelaskan mekanisme kerja UKP sebagai eksekutor UU KKR. Cara kerjanya ialah menyelidiki kasus pelanggaran HAM berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, dengan tujuan “memulihkan” para terdampak kasus pelanggaran HAM berat. Tim bekerja di bawah menkopolhukam, dengan bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Segala kegiatan UKP-PPHB akan dibiayai APBN.

Pembahasan RUU KKR dan pembentukan UKP-PPHB jadi usaha kesekian pemerintah agar kasus HAM berat di masa lalu tidak diselesaikan lewat pengadilan. Pada 2018, Direktur Diseminasi dan Penguatan HAM Dirjen HAM Kemenkumham Bambang Iriana Djajaatmadja mengklaim cara damai semacam inilah yang bisa diterima semua lapisan masyarakat. 

“Dalam prinsip penyelesaian HAM ada istilah to forgive and to forget. Walaupun sudah ketahuan siapa pelakunya, dihindari jangan sampai malah timbulkan persoalan baru. Jangan sampai timbulkan persoalan baru seperti melalui mekanisme yuridis atau ada pembalasan berikutnya. Nanti tidak akan ada habisnya,” kata Bambang, dilansir Kompas.

Iklan

Masalahnya, penyelesaian yang baik menurut pemerintah dan pelaku ini tidak mempertimbangkan aspirasi korban maupun keluarga. Padahal ini prinsip dasar restorative justice yang belakangan makin sering didengungkan pemerintah. (Ironinya, Ketika Menko Polhukam Mahfud MD menjelaskan cara kerja keadilan restoratif, contoh yang ia pakai justru dikritik ahli hukum karena tidak berpihak kepada korban.)

Aktivis Aksi Kamisan Maria Catarina Sumarsih, ibu dari korban tembak mati dalam Tragedi Semanggi I 1998, menilai wacana penyelesaian pelanggaran HAM berat lewat skema non-yudisial sama saja memberi impunitas atau absennya hukuman kepada penjahat.

“Apakah dengan menghidupkan kembali KKR dimaksudkan untuk melindungi para penjahat HAM? Bagi kami, rekonsiliasi tanpa proses hukum itu sama saja dengan impunitas,” ujar Maria kepada Tempo.

Menurut catatan Komnas HAM, hingga saat ini ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan negara. Daftarnya meliputi:

  • Peristiwa 1965-1966 di berbagai provinsi
  • Penembakan misterius di berbagai provinsi 1982-1985
  • Peristiwa Talangsari di Lampung 1989
  • Peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II di DKI Jakarta 1998
  • Peristiwa penghilangan orang secara paksa di berbagai provinsi 1997-1998
  • Kerusuhan Mei di berbagai provinsi 1998
  • Peristiwa penembakan Simpang KKA di Aceh 3 Mei 1999
  • Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003
  • Peristiwa pembunuhan dukun santet di Jawa Barat dan Jawa Timur 1998-1999
  • Peristiwa rumah geudong di Aceh 1989
  • Peristiwa penembakan pelajar di Paniai di Papua 2014
  • Peristiwa Wasior, Papua Barat, 2001-2002 dan Wamena, Papua, 2001

Iklan

Kasus tersebut melibatkan nama sejumlah jenderal militer yang mendapat jabatan di pemerintahan Presiden Jokowi. Misalnya Jenderal Purnawirawan Hendropriyono yang diduga terlibat pembantaian Talangsari, menjadi kepala Badan Intelijen Negara 2016-2018. Lalu Jenderal Purnawirawan Wiranto, eks menko polhukam 2016-2019 yang kini menjabat ketua Dewan Pertimbangan Presiden, diduga punya andil dalam tragedi 1998.

Namun tokoh paling kontroversial tentu Letjen Purnawirawan Prabowo Subianto, kini menteri pertahanan. Hingga saat ini ia masih diyakini terlibat dalam penculikan aktivis 1997-1998, namun tidak pernah disidang di pengadilan militer. Keyakinan itu tampaknya juga dipegang Presiden Jokowi sampai-sampai ia, semasa kampanye di pilpres 2019 melawan Prabowo, pede berkata di hadapan alumni Universitas Trisakti, “Saya bukan diktator, juga bukan penjahat HAM.”

Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar menyebut, upaya non-yudisial kasus HAM berat sudah dilakukan pemerintah sejak 2015, namun masih tidak memenuhi unsur penyelesaian kasus, seperti pengungkapan kebenaran, reformasi institusional, dan mekanisme pengadilan.

“Karena di rancangan perpres tidak mendorong pengungkapan kebenaran, upaya untuk membawa pelaku ke mekanisme pengadilan menjadi hilang,” kata Rivanlee kepada Tirto.

Dari rilis pers Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) yang diterima VICE, proses pembentukan UKP disebut tidak berlangsung transparan serta mengabaikan partisipasi masyarakat sipil dan korban. Berkaca dari proses pembahasan rancangan perpres UKP, KKPK menyorot beberapa hal.

Pertama, proses pembahasan rancangan perpres harus terbuka, transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi masyarakat sipil, termasuk kelompok korban pelanggaran HAM berat. Kedua, negara wajib memenuhi hak korban atas reparasi yang efektif dan menyeluruh, termasuk pengungkapan kebenaran dan proses penegakan hukum yang adil, serta reformasi kelembagaan untuk mencegah keberulangan.

Ketiga, mekanisme pemulihan korban harus mengacu pada lima elemen hak yang diakui komunitas internasional: kompensasi materiil dan imateriil, restitusi, rehabilitasi, kepuasan, dan jaminan ketidakberulangan.