Pameran Seni

Mengarsipkan Warna-Warni Kehidupan di Lereng Gunung Berapi Paling Aktif Indonesia

Pameran Seni Bertajuk '900Mdpl' mengajak kita piknik jalan kaki, sambil membongkar berbagai cerita warga Kaliurang dalam konstelasi sejarah sosio-politik Indonesia.
Pengunjung berfoto dengan latar karya Maryanto
Pengunjung Pameran '900Mdpl' di Kaliurang berfoto dengan latar instalasi karya seniman Maryanto. Semua foto oleh Umar Wicaksono

Selain populer sebagai kawasan wisata dengan motel murah, tur jip ke gunung api, sate kelinci, atau rumah-rumah angker peninggalan Belanda, ternyata Kaliurang—di Sleman, Yogyakarta—menyimpan banyak lapisan sejarah dan cerita menarik yang patut disimak. Saya menyadari ini sembari berjalan kaki menikmati pameran seni bertajuk "900dmpl: Hantu-hantu Seribu Percakapan" di Kaliurang yang diinisiasi oleh LIRSpace, sebuah kolektif kurator independen dari Yogyakarta.

Iklan

Proyek seni ini memakai konsep site=specific berkelanjutan, sebagai usaha pengarsipan dan respons ruang di Kaliurang. Mira Asriningtyas dan Dito Yuwono, pasangan kurator yang juga warga setempat, merasa ada urgensi mengabadikan sejarah alternatif dan kearifan lokal desa yang rawan terdampak aktivitas vulkanik Gunung Merapi, gunung berapi paling aktif di Indonesia.

"Setiap Merapi meletus, pasti mempengaruhi kehidupan di sini," ujar Dito di sela-sela tur. "Tahun 2010 erupsi besar Merapi membuat desa-desa tetangga rusak. Saat itu aku merasa sangat ingin membuat semacam arsip atas ruang (Kaliurang) yang bukan sekedar jumlah penduduk, luas, dan lainnya. Tapi lebih ke tentang masyarakat, kehidupan, dan kisah-kisah yang sering aku dengar saat masih kecil," ujar Mira saat dihubungi VICE.

Ia sadar betul obrolan sambil lalu, dongeng, dan mitos yang melingkupinya sejak kecil adalah pintu masuk ke lanskap realita yang lebih luas dan kompleks. Diadakan secara bienalle, proyek ini juga bertujuan untuk mentransfer pengetahuan antar generasi di komunitas Kaliurang.

Gelaran 900mdpl pertama digelar pada 2017 lalu, fokus pada cerita-cerita warga Kaliurang sebagai komunitas. Sementara tahun ini, pameran berangkat dari isu soal Kaliurang dalam sejarah. Secara umum, pengetahuan orang tentang Kaliurang terbatas bahwa area ini dikembangkan oleh Geolog Belanda sebagai tempat plesir dan pos amatan vulkanik semasa kolonial. Namun kini posisinya dalam linimasa setelahnya seolah senyap. Selebihnya hanya rumah-rumah tua yang kini hampir dijalari semak. Desa kecil ini di lereng Merapi ini tenggelam dalam ingar bingar catatan sejarah Indonesia.

Iklan
1575359730279-peta-rute-pameran

Peta rute pameran '900Mdpl'

Selama 18-27 Oktober 2019 lalu, sepuluh seniman undangan LIR Space memamerkan karya hasil residensi mereka. Seluruh karya disebar di berbagai titik yang lebih maksimal bila kita nikmati dengan berjalan kaki menyusuri rute yang telah disiapkan. Saya mengikuti salah satu tur jalan kaki berpemandu yang memang dijadwalkan oleh LIRSpace tiap akhir pekan selama pameran. Nyatanya banyak rombongan yang melakukan tur sendiri berbekal peta yang bisa dibeli di titik kumpul RM Djoyo.

Setelah berkendara satu jam dari pusat kota Yogya, lalu berkenalan dengan 20-an peserta tur lain, rombongan berangkat. Dito Yuwono, kurator yang memandu kami hari itu, menjelaskan tak hanya soal karya, juga konteks tempatnya dipamerkan.

Di kawasan yang dipenuhi loji-loji (bungalow) tua yang megah di dekat jalan utama penghubung Kaliurang dan Yogyakarta, dipajang dua karya. "Kunjungan ke Pasar Kanjengan" karya komikus Yudha Sandy dan “Mati, Kita Bersatu Lagi” dari Freyool Darma. Rasanya, hanya dengan berjalan kaki, detail-detail Kaliurang segera menampakkan dirinya.

Kami sempat berhenti di halaman luas sebuah villa bercat kuning-hijau yang nampak kosong. Ternyata bangunan tersebut adalah Pesanggrahan Ngeksigondo, lokasi perumusan Notulensi Kaliurang pada 1948 oleh Komisi Tiga Negara. Sukarno, Moh. Hatta, Syahrir, dan Jenderal Sudirman hadir di sana.

Sedikit menanjak, peserta tur disuguhi tiga deret bendera warna-warni yang dijejerkan di tali bak jemuran. Warna-warnanya yang cerah terlihat kontras dengan puing gedung di belakangnya yang muram. Karya "Rukun Tresna" dari Maryanto ini menyoroti kekerasan ormas yang marak sesudah lengsernya Suharto, sekaligus ingin menunjukkan sifat komunal dan toleran warga Kaliurang sendiri. Wisma Astorenggo di belakangnya rusak dibakar ormas yang berkembang di masa rezim Orde Baru.

Iklan
1575359751165-Pengunjung-berusaha-mencerna-karya-milik-Jompet

Pengunjung menyaksikan instalasi seni karya Jompet Kuswidananto

Bendera-bendera itu berisi logo dari komunitas yang disetor warga ke Maryanto selama residensi. Beberapa bahkan sangat unik, seperti Sembada Boga (komunitas pegiat restoran), Rukun Penjaga Rumah Kaliurang IRIT (Iyo Rukun Iyo Tresno), bahkan komunitas pecinta lampu sorot kendaraan yaitu Pocilam (Pokoke Clingak Clinguk Ndeloke Lampu). Komunitas yang terakhir berisi gerombolan anak muda hobi nongkrong di pinggir jalan demi memburu momen ketika badan mereka tersorot lampu kendaraan yang sedang lewat.

Seniman yang terlibat tak melulu berlatar dunia seni rupa. Musisi Rara Sekar contohnya. Dia memajang instalasi "Buku Resep Kaliurang" yang ditempatkan di Warung Podjok. Selama dua bulan, Rara Sekar ngobrol bareng pemilik-pemilik warung makan di sekitar Kaliurang dan mengumpulkan cerita soal kuliner dalam sebuah buku resep. Makanan, karena sifatnya yang sangat dekat dengan keseharian, punya potensi sebagai medium untuk mengurai konteks sosio historis dari sejarah yang terjadi di sebuah kawasan. Selain membuat buku, Rara juga merekam video ulasan makanan, serta mengadakan demo masak. "Dari makanan, aku belajar banyak soal Indonesia dari perspektif Kaliurang," tuturnya.

Sambil mencicipi sepiring Bistik London yang menunya diwarisi dari kakek pemilik resto, seorang koki Belanda, saya membuka-buka karya tersebut. Dari hasil obrolan dengan warga, Rara menuliskan kembali resep-resep yang telah punah, juga cerita soal kuliner misalnya seperti fakta bahwa selama dekade 60’an, kondisi politik yang memanas membuat warga Kaliurang kesusahan pangan hingga harus berburu monyet, burung emprit, kucing, dan ular untuk dimakan.

Iklan

Mira menjelaskan, kurasi didasarkan pada seniman yang metode penciptaan karyanya sudah sering berhubungan dengan warga, juga yang sesuai dengan kebutuhan pengarsipan ruang di Kaliurang. "Lala Bohang misalnya, dipilih karena ia juga punya background arsitektur," ujarnya.

Lala Bohang membuat karya berjudul "The Many Faces of Herstory" di salah satu kamar villa. Menceritakan tragedi penculikan oleh militer Belanda dalam perspektif relasi sepasang suami-istri. Sementara dua seniman lain, Agung Kurniawan dan Jompet Kuswidananto, menggali isu-isu historis Kaliurang.

Jompet, mewawancarai empat sesepuh desa dan menggali memori soal kelamnya masa penjajahan Jepang yang traumatis. "Kaliurang (Setelah Matahari Terbit)” menyuguhkan instalasi berupa bola-bola lampu sebagai metafora slogan 'Nippon cahaya asia' yang dikelilingi empat mahkluk yang sedang menghaturkan seremoni dalam bahasa jawa. Instalasi ini ditempatkan di bangunan bekas barak Romusha—pekerja paksa zaman Jepang—saat pembangunan Goa Jepang yang saat ini jadi salah satu destinasi wisata.

Dari karya-karya yang ditampilkan, terlihat para seniman melakukan usaha untuk menggugah memori kolektif warga Kaliurang terhadap peristiwa-peristiwa bersejarah di Indonesia seperti penjajahan Belanda, Jepang, kemerdekaan 1945, tragedi 1965, hingga reformasi 1998.

Tragedi berdarah 1965 yang memakan korban jutaan jiwa di berbagai daerah di Indonesia ternyata juga berdampak bagi warga Kaliurang. Hal ini ditangkap oleh Agung Leak di karya 900mdpl paling wingit, berjudul “Raung Terakhir”. Ia menempatkan speaker yang melolongkan rekaman pidato terakhir Soekarno pada 17 Agustus 1966.

Iklan
1575360209364-Pidato-terakhir-Soekarno-dari-balik-pepohonan

Instalasi pidato terakhir Sukarno di balik pepohonan.

Dalam pidato berdurasi 150 menit itu, Soekarno terdengar bak harimau yang memamerkan raungan terakhirnya sebelum dikalahkan oleh penyakit dan pengkhianatan. Ia bicara ideologi, generasi muda, juga soal supersemar. Ia seolah bangkit gentayangan menjenguk warga Kaliurang yang konon pada masa itu pendukung PNI. Diletakkan dengan potongan siluet Soekarno yang khas, instalasi ini ditempel di hutan pohon kayu putih di depan rumah yang konon paling angker se-Kaliurang, Pesanggarahan Sarjanawiyata Taman Siswa.

Karya ini dibuat setelah Agung Leak menyelidiki sisa-sisa tragedi berdarah itu di benak warga lewat wawancara mendalam. Dalam salah satu catatan di akun instagramnya, ia menulis, "Afiliasi politik membelah hubungan antar manusia seperti lahar di Kali Kuning. Penduduk anti komunis di desa ini dipaksa untuk berburu simpatisan komunis di Klaten, berjalan kaki berhari-hari melewati gunung dengan membawa parang dan sten gun. Ketika pulang mereka menemukan, tetangga, sanak saudaranya yang berafiliasi dengan partai komunis sudah hilang."

Lolongan Soekarno sayup-sayup masih terdengar saat rombongan melanjutkan perjalanan ke karya selanjutnya. Saya bergidik menimbang-nimbang, lebih menakutkan mana teror oleh hantu penasaran—seperti kuntilanak, pocong, wewe, dan lainnya—atau hantu sejarah—kebenaran yang dibungkam atau diabaikan? Dua-duanya sama-sama tak kasat mata, sama-sama menyentil kenyamanan kita.

Iklan

Bicara hantu, Mira juga sempat menjelaskan bahwa Kaliurang memang benar-benar angker. "Karena kami banyak pakai rumah lama yang beberapa memang berhantu, selama proses kami beneran punya spiritual advisor. Mereka ngasi tahu bagian mana yang boleh dan enggak boleh diakses sebagai risk management supaya tidak ada kesurupan massal misalnya," tutur Mira.

Satu-satunya karya yang secara literal membahas hantu adalah “What Bungalows Can Tell” dari Paoletta Holst, berupa video-video rumah kolonial kosong. Di situs yang sama, Arief Budiman mengajak kami berkenalan dengan legenda tiga perempuan idaman yang dielu-elukan di Kaliurang.



Selain kamar dan perabotan yang dibayangkan Arief sebagai tempat tinggal tiga perempuan itu, ia membuat video berisi dialog-dialog nakal dari film era 70’an yang dibredel sejak keputusan Menteri Penerangan no. 194A tahun 1977 yang bertendensi mengurusi moral warga negara. Sejak itu, warga seolah diajari jadi hakim moral terhadap sesama. Kini tiga perempuan itu telah tiada, namun dalam momen 900mdpl, Arief menghadirkan tiruan kamar lengkap dengan barang-barang mereka.

Berjalan kaki juga membuat kami punya waktu mengobrolkan hal-hal trivial, seperti vila Van Resink yang konon adalah vila pertama yang dibangun belanda, hingga rekomendasi sate kelinci terenak di Kaliurang. Justru perkara renik itu yang membuat kita makin mengerti komplekstitas suatu ruang.

Secara tersirat, rute yang disiapkan seolah membuat kita berjalan kaki menyusuri mesin waktu historis baik secara fisik dan cerita. Setelah melewati kawasaran kolonial, rombongan masuk ke area pemukiman warga. Karya “Jalan-jalan” milik Mark Salvatus diletakkan di ruang tamu warga, jadi sebelum masuk kami berkali-kali mengucapkan permisi. Si empu “galeri” dadakan santai saja merokok di teras rumahnya. "Tadi dengar nggak ada suara jebar-jebur orang mandi di sebelah karyanya Jompet?" celetuk seorang peserta. Kami tertawa.

1575359805497-Sepanjang-perjalanan-pengunjuhkan-juga-disuguhkan-dengan-bangunan-bangunan-sisa-era-kolonial-Belanda

Peserta jalan-jalan menyaksikan berbagai bangunan di Kaliurang peninggalan era kolonial.

Tujuan terakhir kami adalah Museum Seribu Percakapan, mock-up dari MUKKA (Museum Komunitas Kaliurang) yang jadi muara proyek ini kelak. Mereka menyulap rumah tua ini jadi ruang pamer berisi artefak program-program seni yang terkait Kaliurang, serta aneka relik warga.

"Ada warga yang minta kami menulis temuan-temuan riset 900mdpl dengan cara mudah terus masuk jadi modul pelajaran muatan lokal di SD negeri Kaliurang, aku pingin banget mewujudkan itu," ujar Mira.

Pada akhirnya, pameran ini telah menempatkan Kaliurang dalam lanskap sejarah sosio-politik Indonesia yang lebi luas. Titik kecil dalam peta ini kini punya nyawa kembali, bangkit dari ancaman jadi kota hantu. "Harapannya pameran ini bisa reclaim posisi Kaliurang dalam lanskap besar sejarah Indonesia," tutup Dito.