Kekerasan Tak Kunjung Sukses Dienyahkan Dari Budaya Sekolah Kedinasan

Kekerasan senior terhadap junior di SMK Tri Dharma Palu

Aldama Putra Pongkala meregang nyawa di tangan seniornya. Siswa Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan (ATKP) Makassar berusia 19 tahun tersebut menderita lebam di dada dan perut, setelah dipukul senior bernama Muhammad Rusdi, dua tingkat lebih tua darinya. Aldama pingsan dan ditolong oleh rekan-rekannya, namun nahas nyawanya tak tertolong. Pangkal masalah tersebut ternyata sepele, Aldama kedapatan mengendarai motor tanpa helm.

Ayah korban Daniel Pongkala mengatakan bahwa Aldama pernah mengatakan bahwa hampir setiap hari putranya tersebut mengalami kekerasan yang dilakukan seniornya. Dia selalu menjadi bulan-bulanan senior bahkan untuk kesalahan yang tidak dilakukannya.

Videos by VICE

“Jadi dia cerita kalau dalam satu hari tidak dapat pukulan syukur sekali katanya,” ujar Daniel dikutip awak media.

Hal serupa pernah terjadi pada November 2016. Ari Pratama, seorang taruna tingkat dua di Seorang taruna tingkat 2 ATKP Makassar, ditemukan tewas tenggelam di kolam renang di dekat komplek akademi. Sebulan setelah kejadian tersebut, keluarga korban baru melapor ke polisi setelah ditemukan adanya lebam di tubuh Ari. Namun kasus tersebut tak terungkap lantaran keluarga menolak otopsi.

Dunia pendidikan di Indonesia tak luput dari catatan kelam kekerasan. Pola senioritas dan sistem pendidikan militeristik, tak jarang membuat nyawa melesat. Pada 2017, setidaknya tiga orang siswa tewas dianiaya oleh seniornya. Salah satunya adalah kekerasan di lingkungan Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta yang merenggut jiwa Amirullah Aditya Putra.

Jika ditarik lagi ke belakang, sepertinya masih segar di ingatan soal budaya kekerasan di institusi pendidikan yang membuat orang miris dan mengelus dada. Di mana lagi kalau bukan di lingkungan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang berada di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri. Disinyalir, sebanyak 35 praja IPDN meninggal sepanjang kurun 1993 sampai 2007. Sayangnya hanya 10 kasus saja yang terungkap ke publik. Kebanyakan dari korban tewas dianiaya senior.

Banyaknya korban tewas tersebut sempat membuat desakan menutup IPDN santer pada medio 2007. Berdasarkan polling yang dibuat Detikcom kala itu, 89,98 persen responden setuju jika IPDN dibubarkan.

Akar kekerasan, bagi sejumlah pengamat, tak cuma terletak pada gaya pendidikan yang militeristik. Tapi justru terletak pada aparatus negara di bidang pendidikan yang fungsinya malah represif. Represi tersebut pada akhirnya diejawantahkan lewat gaya militeristik baik dari mulai praktik pendidikan sampai ke pengawasannya, tulis Sarwono sosiolog dari Universitas Negeri Sebelas Maret. Salah satu contoh paling mendasar adalah adanya upacara bendera.

“Sebagai sebuah ritus yang mempunyai nilai simbolis,” tulis Sarwono. “Upacara bendera tidak lepas dengan adanya kekuasaan dan mekanisme pengawasan seperti halnya militer yang terdapat di dalam penyelenggaraannya.”

Semangat militerisme yang masuk ke aparatus pendidikan justru bersifat membelenggu dan justru menyulitkan siswa untuk mengembangkan dirinya, menurut Sarwono. Hal ini tak cuma membuat siswa menyalurkan agresinya lewat jalan kekerasan, tapi juga menjadikan individu kurang kreatif dalam menghadapi masalah di realita, lantaran terbiasa digerakkan dan diatur oleh perintah-perintah dari pendidik tanpa inisiatif sendiri.

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Aditya Rinaldhi dalam risetnya menulis proses panjang militerisme di Indonesia, sejak zaman kolonial hingga era Orde Baru, tanpa disadari atau tidak telah berubah menjadi pola pikir yang diinternalisasi di beberapa aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali di sektor pendidikan umum dan vokasi, serta kedinasan.

Pada sekolah vokasi yang memakai sistem ikatan dinas, militerisme sinonim dengan kedisiplinan dan nasionalisme sehingga pemakaian simbol militer, pengawasan, praktik belajar mengajar yang rigid menjadi keniscayaan. Sementara di dunia pendidikan umum, contoh gampangnya adalah adanya resimen mahasiswa (menwa) yang menjadi refleksi paling jelas dari semangat militerisme.

“Militerisme sendiri pernah menjadi persoalan ketika muncul pendidikan kewiraan, bela negara dalam organisasi sekolah, perploncoan, kedisiplinan, dan penggunaan simbol militer di dalam sekolah,” tulis Aditya. “Dalam ranah tersebut militerisme tumbuh subur dan menjadi bagian dari praktik proses keberlangsungan terutama dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler.”

Yang patut digarisbawahi, gejala kekerasan tak cuma mendominasi dunia akademi kedinasan seperti IPDN, STIP, atau ATKP, tapi juga di semua lini pendidikan. Mulai dari SD hingga tingkat tinggi. Tradisi perploncoan setiap kali Masa Orientasi Siswa (MOS) tak jarang juga merenggut korban. Tiga orang mahasiswa Universitas Islam Indonesia Yogyakarta harus kehilangan nyawa saat kegiatan berkemah di Gunung Lawu, Jawa Tengah pada Januari 2017.

Imbauan untuk mengadakan masa orientasi sekolah yang lebih positif sudah banyak didengungkan. Tapi siapa yang bisa menjamin, lantaran kebanyakan ‘masa orientasi’ diadakan secara sembunyi-sembunyi oleh siswa senior.

Perploncoan mungkin adalah salah satu tradisi yang mungkin lebih tua dari usia negeri ini. Dalam buku Bunga Rampai dalam Sejarah Jilid 3 Mohamad Roem menulis bahwa praktik plonco sudah ada sejak zaman kolonial Belanda dengan istilah ontgroening yang diterapkan bagi siswa baru di sekolah Stovia. Tradisi tersebut berlanjut ketika Jepang masuk ke Indonesia. Pada masa itu, anak sekolah baru wajib digunduli yang menjadi asal kata plonco. Siapa sangka tradisi tersebut masih bertahan hingga sekarang, bahkan menjadi lebih ekstrem.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Mei 2018 mencatat setidaknya 84 persen siswa di seluruh Indonesia pernah mengalami kekerasan baik dari guru maupun sesama siswa. Sebanyak 40 persen siswa usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik oleh teman sebaya. Sedangkan 75 persen siswa mengaku pernah melakukan kekerasan di sekolah. Selain itu, 50 persen anak melaporkan mengalami perundungan (bullying) di sekolah.

Pengamat pendidikan Doni Koesoema mengatakan civitas akademika dan siswa harus sama-sama memahami arti dan akar kekerasan. Menurutnya akar kekerasan ditakik dari tradisi ejek mengejek (verbal bullying) yang pada akhirnya berujung pada kekerasan. Di sini peran guru untuk memahami terminologi dan dampak dari kekerasan menjadi penting untuk memutus mata rantai horor di dunia pendidikan.

“Sistem pendidikan harus diubah dengan sistem yang ramah dan tidak ada unsur militernya,” kata Doni.

Mengingat biaya pendidikan di Indonesia yang makin mahal, sulit membayangkan nyawa peserta didik justru masih saja dianggap murah. Sudah saatnya masyarakat serius mempertimbangkan upaya menghapus semua kegiatan militeristik di lembaga pendidikan sipil—termasuk sekolah kedinasan. Toh, nasionalisme bisa ditumbuhkan tanpa harus menghormat kepada bendera.