Situs Visual Interaktif Ini Menjelaskan Akar Masalah dan Dampak Perbudakan di Era Modern
Sumber gambar dari CFR.

FYI.

This story is over 5 years old.

Perbudakan Modern

Situs Visual Interaktif Ini Menjelaskan Akar Masalah dan Dampak Perbudakan di Era Modern

Platform baru tersebut dikembangkan CFR, tujuannya menceritakan kisah 40 juta anak dan remaja di dunia yang diperbudak lintah darat, industri multinasional, dan sistem kapitalisme global.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Impact.

“Saya mengobrol dengan pria ini lewat SMS dan dia bertanya, ‘Ada yang bisa kubantu? Kamu mau pergi ke mana?’ Saya pun membalas ‘Bisakah kamu menjemputku?’ Waktu itu saya tidak tahu kalau ternyata dia germo,” kata Natalie. “Waktu itu saya masih 15 tahun dan seharusnya tidak berhubungan seks dengan pria-pria tua di mobil mereka dan ada anak-anak mereka di jok belakang. Saya tahu itu salah. Saya seharusnya tidak berpacaran dengan pria yang menjual saya ke orang lain.” Natalie baru berusia 15 tahun saat dia menjadi budak seks.

Iklan

Dia menceritakan pengalamannya hidupnya yang pahit melalui Modern Slavery, sebuah situs berisi platform informasi visual interaktif, dirancang memberi siapapun wawasan tentang praktik industri multinasional yang melanggengkan perbudakan dalam bentuk modern. Platform ini dibuat oleh Dewan Hubungan Internasional (CFR). Situs tersebut juga dirancang menjadi sarana berbagi bercerita bagi korban perbudakan modern. Selain itu, platform CFR tersebut menyediakan data, peta, hingga riset mendalam mengenai bukti masih terjadinya perbudakan manusia secara massif di Abad 21. Tujuan pembuatan platform ini adalah menyoroti lingkup masalah dan meningkatkan kesadaran publik, bahwa ada 40,3 juta orang yang diperbudak di seluruh dunia. Sebanyak 1,95 juta orang di antaranya, seperti Natalie, mengalami perbudakan riil di negara maju seperti Amerika Serikat.

“Situs interaktif macam ini adalah cara terbaik menggambarkan situasi korban perbudakan modern yang sebenarnya,” Eleanor Albert, ketua peneliti perbudakan modern di CFR saat diwawancarai VICE Impact.

Korban lainnya adalah Jihyun. Dia lahir di Korea Utara, sampai akhirnya kabur ke perbatasan Cina bersama adik laki-lakinya yang desersi dari dinas militer. “Saat kami tiba di perbatasan, saya bertemu dengan seorang penyelundup manusia. Dia mengatakan saya harus membayar lebih mahal kalau mau adik saya ikut diselamatkan. Si calo itu akhirnya memaksa saya menikah dengan pria di Cina, atau dia akan memberitahu polisi dan memulangkan kami ke Korea Utara. Saya setuju menikah dengan pria tersebut.”

Iklan

Sayangnya solusi pernikahan itu tidak seperti yang dibayangkan Jihyun. Adiknya dipulangkan ke Korea Utara. Sudah 17 tahun dia tidak mendengar kabar dari sang adik. “Saya tidak tahu dia selamat atau tidak.”

Penelitian CFR memberikan gambaran suram bagi kita semua tentang realitas perbudakan modern. “Pada 2014, PBB menemukan bukti konkret bila Korea Utara menjatuhkan hukuman penjara atau kamp kerja paksa kepada warga yang dituduh telah mengkhiati negara. Diperkirakan antara 80.000 sampai 120.000 tahanan bekerja di kamp pertambangan, pabrik, peternakan, dan penebangan kayu tanpa bayaran.”

Vicky berasal dari India, dan seperti jutaan orang lainnya di Negeri Sungai Gangga itu, dia menjadi budak akibat jeratan utang. Dia dipaksa bekerja oleh lintah darat, akibat utang yang diturunkan dari nenek lalu ke ibu. “Saya mulai bekerja pukul 5:30 atau 6:00 pagi. Saya harus mencuci pakaian, memotong sayuran, bersih-bersih, atau mencuci piring. Mereka membuat saya melakukan pekerjaan ini. Saya bekerja tanpa jadwal dan harus siap kapanpun mereka membutuhkan saya. Saya tidak mendapat gaji sama sekali,” katanya.

Situs visual interaktif Modern Slavery merupakan pemenang Emmy Award ke-9 setelah “Deforestation in the Amazon,” “ The Time of the Kurds,” “ The Eastern Congo,” “ The Taliban,” “ The Sunni-Shia Divide,” “ The Emerging Arctic,” “ Child Marriage,” dan “ China’s Maritime Disputes."

VICE Impact mewawancarai ketua tim peneliti bidang perbudakan modern CFR, Eleanor Albert, yang terlibat pembuatan situs Modern Slavery untuk mengetahui lebih jauh apa saja yang dia harapkan bisa dipahami publik dari informasi temuannya.

Iklan

VICE Impact: Dari kerja paksa di Korea Utara sampai perdagangan seks di AS, situs Modern Slavery menyatukan berbagai penelitian dan kesaksian mendalam para korban. Bagaimana tim kalian melakukannya?
Eleanor Albert: Setiap proyek memiliki periode yang berbeda, tapi saya meneliti sepanjang waktu untuk mendapatkan lebih banyak laporan. Perbudakan modern terjadi di mana-mana, jadi platform ini menggabungkan berbagai studi kasus yang menunjukkan unsur berbeda di berbagai daerah dan faktor probabilitas, karena menurut saya ini cara terbaik untuk menunjukkan bahwa perbudakan terjadi di mana saja.

Kami menata sebaik mungkin agar informasi bisa lebih masuk akal. Kami pun meringkas dan membaginya menjadi beberapa topik, isu dan studi kasus yang berbeda untuk menguraikannya. Kami ingin meningkatkan kesadaran orang tentang perbudakan modern dengan cara memberi informasi yang mudah diakses dan dipahami.

Apakah proyek ini didorong oleh krisis migrasi yang sedang santer dibicarakan berbagai negara tiga tahun terakhir?
Kami ingin menunjukkan bahwa dunia sudah jauh lebih transparan daripada dulu. Sekarang, semua orang bisa mengetahui jumlah manusia yang terpaksa kabur dari negaranya. Anda sekarang lebih sadar tentang migrasi dan perdagangan manusia karena bisa melihat langsung kejadiannya.

Berdasarkan penelitian ini, apa kesalahpahaman publik soal perbudakan modern?
Pertama, orang-orang mengira bahwa perbudakan modern hanya terjadi di negara berkembang. Itu tidak benar. Perbudakan adalah masalah global dan terjadi di mana saja. Kedua, orang mengira prostitusi adalah jenis perbudakan yang paling dominan. Sebenarnya, jenis perbudakan ini hanyalah sebagian kecil dari masalah. Apabila Anda melihat perkiraan terbaru yang dikeluarkan oleh International Labour Organisation dan Walk Free Foundation, mereka menunjukkan bahwa 50 persen orang menjadi budak karena perbudakan utang.

Iklan

Ketiga, penelitian kami dan diskusi dengan pakar menunjukkan bahwa banyak orang sering mengira kalau korban perbudakan datang dari luar negeri. Perbudakan tidak selalu berhubungan dengan migrasi. Kenyataannya, pelaku perdagangan manusia bisa mempekerjakan siapa pun untuk menjadi budak. Korban bisa saja mereka yang kenal dengan pelaku perdagangan. Perbudakan bisa terjadi di tempat yang Anda kira bebas dari hal itu. Anda memercayai mereka, tetapi mereka malah merusak kepercayaan itu.

Korban yang diperbudak juga bisa laki-laki.

Sebagai konsumen, apa yang bisa kami lakukan agar tidak mendukung perbudakan modern?
Sekarang ini, sudah banyak perusahaan yang terang-terangan menunjukkan bahwa bisnis mereka ramah lingkungan dan tidak ada unsur eksploitasi. Termasuk membuktikan pabrik rekanannya tidak memperbudak manusia. Seseorang yang termotivasi tidak mendukung perbudakan modern bisa mencari tahu sendiri dan membuat pilihan etis saat berbelanja, berdasarkan sumber produk yang dijual suatu perusahaan. Beberapa perusahaan global mencoba berbagai program mengetahui dari mana mereka mendapat bahan baku. Sayangnya inisiatif itu masih dalam tahap permulaan.

Menurut saya, langkah terbesar adalah mengakhiri pandangan kalau perbudakan sudah berakhir. Selama ini ketika kita bicara perbudakan, persoalan tersebut cenderung dibahas dalam konteks sejarah dan dihubungkan dengan perdagangan manusia Abad ke-19. Kita perlu memahami kalau perbudakan masih terjadi, yaitu dengan mencari tahu sendiri dan menyebarkan informasi bahwa fenomena tragis itu terus berlangsung kepada orang lain. Ini bisa menjadi langkah awal bagi siapa saja yang ingin melakukan perubahan sosial yang riil.

What can we as consumers do to ensure that we don’t support modern slavery?
There is an increasing number of companies that are making a point to not only be sustainable, for example but also exploitative free, either of labor or the material that they make they goods of. So someone who is motivated to play a larger role can inform themselves and make consumer choices based on how companies are sourcing their products. Some businesses are trying out different pilot programs to find out more about their supply chain, but this is just the start.

For me, the biggest step, especially in the U.S., where slavery tends to be discussed in a historical context and linked to the trade of the nineteenth century, is for people to educate themselves and spread awareness by simply having conversations with other people about the phenomenon. This would be a great starting point for anyone that wants to do something about modern slavery.

Wawancara ini telah disunting agar lebih ringkas dan enak dibaca.