Mulyadi, masih 16 tahun, berjalan bersama ratusan orang lain menuju pusat perbelanjaan Tomang, Jakarta Barat. Sore itu sengatan matahari cukup terik, ketika kalender sampai di lembaran 14 Mei 1998. Ia rela berpanas-panasan di jalan bersama gerombolan manusia lain, gara-gara mendengar kabar kawannya sukses “membawa pulang” kasur dan sejumlah pakaian dari pusat perbelanjaan Tomang. Mulyadi ingin memperoleh barang yang sama, apalagi benar semua itu bisa didapat cuma-cuma. Sesudah menempuh tiga kilometer jalan kaki, sampailah dia di komplek pertokoan yang kini dikenal sebagai Roxy Mas (kini ITC Roxy Mas) dan Topas (sekarang disebut Roxy Square).
Sampai sekarang, Mulyadi membahasakan pengalamannya datang ke Roxy, dalam pekan paling kacau di Indonesia sesudah kemerdekaan itu, sebagai “Hari Kebebasan.” Sepanjang 13-15 Mei, penjarahan dan pembakaran toko—terutama yang dituduh milik etnis Tionghoa—terjadi di berbagai kota Indonesia. Jakarta mengalami intensitas penjarahan terparah.
Videos by VICE
“Memang itu hari kebebasan kali. Bebas aja bisa masuk ke mana aja dijarah-jarahin karena memang saking rusuh-rusuhnya Mei,” kata Mulyadi yang ditemui VICE di sebuah warung kopi di Grogol, Jakarta Barat.
Ketika Mulyadi tiba di Roxy Mas, seingatnya situasi masih tenang. Hanya ada beberapa aparat berjaga. Namun rombongan Mulyadi tidak seberuntung massa sebelumnya. Mereka tidak bisa masuk. Tiba-tiba terdengar suara beberapa orang. Mereka gigih mengajak massa lain menjarah toko-toko yang konon milik pengusaha Tionghoa. Segelintir orang itulah yang mulai melempar kaca pertokoan dengan batu. Massa ikut beringas, dan mulai merangsek masuk. Sebagian terpaksa mundur kembali karena ada serangan balik aparat yang menembakkan peluru karet sambil sesekali menghujani calon penjarah dengan gas air mata.
“Ada unsur provokator sih. Karena dulu sempat di Roxy Mas sempat belum terjadi apa-apa, kaca belum pecah, eh tiba-tiba ada yang nyambit kaca pakai batu jadi pecah kaca,” kata Mulyadi. “Akhirnya jebol juga [pertahanan aparat], massa lewat basement depan, polisi nembakin gas air mata di dalam.”
Tak semua polisi menghalau massa. Seingat Mulyadi, ada yang beberapa aparat yang meyilahkan massa untuk mengambil barang-barang, asal jangan terlalu banyak. Mulyadi termasuk rombongan yang berhadapan dengan aparat yang lebih “ramah” tersebut. Setibanya dalam komplek Roxy Mas, ia kalap melihat tumpukan baju tak terjaga. Lebih dari satu kodi pakaian segera ia masukkan dalam karung. Namun hanya sampai di sana keberuntungannya. Ketika keluar, mendadak ada orang berambut cepak menodongnya dengan senapan laras panjang. “Disuruh taruh [lantai] barangnya. Jadi sisa luka-luka doang kaki nih,” ujarnya.
Mulyadi tidak langsung pulang, Ia dan beberapa remaja lain masih penasaran. Anak-anak ingusan ini menuju Topas, dekat Roxy, yang kala itu lebih minim penjagaan aparat. Barang-barang di Topas sendiri ludes dibobol, bangunannya pun terbakar. Pada akhirnya, Mulyadi hanya pulang dengan sekaleng biskuit yang ia ambil sekenanya dan luka-luka akibat pecahan kaca.
Sampai sekarang, Mulyadi tidak benar-benar paham apa yang membuatnya dulu berani menerjang gas air mata, gedung yang terbakar, dan todongan laras panjang aparat. Semua marabahaya dia tempuh hanya demi sekaleng biskuit. “[Mungkin] karena ramai, dan itu spontanitas aja. Karena kan kita juga orang Pribumi, yang dibasmi kan Cina [waktu itu]. Jadi berani aja, karena enggak [akan diapa-apain].”
Ketika kerusuhan pecah di jantung perdagangan Glodok, Jakarta Barat, pertengahan Mei 1998, Junaedi dan kelima kawannya yang belum tamat Sekolah Menengah Atas bergegas mendekati sumber keributan. Situasi jalanan kala itu sepi, tak ada mobil lalu lalang di jalanan yang biasanya sibuk, hanya tank dan mobil aparat siap berjaga. Asap mengepul dari belakang gedung pusat perbelanjaan elektronik Plaza Orion dan Harco Glodok sesekali diselingi letupan peluru karet dari kejauhan, banyak orang berlarian. Bukannya kabur, Junaedi yang baru 17 tahun saat itu mendekat ke Plaza Orion yang jendelanya sudah hancur berserakan.
“Sudah, ambil aja ini mah bebas, setahun sekali nih… setahun sekali,” kata orang yang berpapasan dengan Junaedi. Mereka tak saling kenal. Orang-orang itu menyuruh Junaedi dan kawan-kawannya mengambil barang apapun yang berserakan di jalan depan Plaza Orion.
Nurani Junaedi berada di persimpangan.
“Saya bimbang, ‘ambil.. jangan… ambil… jangan ya,’ waktu itu. Berhubung pada dilempar-lemparin barang-barangnya dari dalam [Plaza Orion],” kata Junaedi.
Puluhan orang masuk ke Plaza Orion, saling lempar barang elektronik dari TV tabung 32 inch hingga barang elektronik sekecil walkman. Sama seperti Mulyadi, Junaedi ingat ada beberapa orang yang meyakinkan mereka untuk berani mengambil barang.
“Ada [yang nyuruh ngambil], tapi enggak kenal, yang saya tahu cuma temen-temen yang sama saya doang. Kalaupun ada anak [setempat], mereka diam saja,” kenangnya.
Junaedi dan kawan-kawannya pulang membawa sebuah walkman yang sudah tergeletak di depan Plaza Orion. Ia mengaku tidak masuk ke dalam, situasi terlampau ngeri untuk diterobos. Di perjalanan pulang, Junaedi bertemu seorang lelaki tua yang memberinya TV 14 inch. Ia pun pulang membawa televisi, walkman, dan sebuah speaker aktif.
“Dia [bapak tak dikenal] itu nitip, ‘sini luh, nitip nih [TV]. Elo satu, gue satu,’” kenang Junaedi. “Besoknya pas di Jembatan Lima itu ada konveksi, baju dibuang-buangin. Dapat tuh saya baju selusin atau dua lusin. Ya sudah kita bawa saja.”
Tonton dokumenter VICE tentang akar sentimen rasial seputar pilkada DKI Jakarta 2017 yang mengingatkan sebagian orang pada trauma Tragedi Mei 1998:
Junaedi menceritakan semua detail yang masih mampu ia ingat pada sore yang tenang di persimpangan Glodok, persis di seberang Plaza Orion. Setelah 20 tahun berselang, tak ada lagi kekalutan dan kobaran api. Jalanan Glodok macet, orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sementara Junaedi duduk santai di bangku kayu, disertai kepulan asap rokok kreteknya, mengenang salah satu hari terburuk yang pernah dialami Republik Indonesia.
Junaedi mengaku menyesali pilihannya tidak mendengar suara nurani. Dia sadar, menjarah toko-toko milik WNI etnis Tionghoa itu keliru besar.
“Nyesel mah nyesel sih,” kata Junaedi. “Jangan sampai ada lagi lah [penjarahan].”
Selama momen menjelang tumbangnya Orde Baru, situasi di Klender Jakarta Timur tak kalah kacau. Terbakarnya Yogya Plaza Klender menyebabkan lebih dari 400 orang tewas. Beberapa saksi mata mengaku ada sekelompok orang terlatih yang memprovokasi massa atau warga menjarah barang di dalam gedung. Samsul Hilal, saat itu berusia 33 tahun, ada di dalam gedung Yogya Klender mencari ponakan dan tetangganya yang diduga masuk ke gedung Yogya Plaza Klender.
Samsul masuk ketika mulai terlihat ada api di lantai atas yang kemungkinan segera menyebar ke lantai bawah. Di lantai dasar tempatnya berdiri, Ia melihat tumpukan ban tergeletak di sekitar tangga menghalangi akses naik-turun antar lantai. Dirinya dan ratusan orang lain saat itu terjebak di dalam gedung. Samsul yakin saat itu mereka bukan terjebak, melainkan dijebak.
“Ban dibakarin di dalam. Tangga tuh dibakar,” ujar Samsul yang kutemui di kediamannya di daerah Klender sekitar 2 kilometer dari Yogya Klender. “Kayak sudah di-setting semua. Awalnya kan ada yang tawuran, habis itu diancur-ancurin mall-nya.”
Kerumunan di dalam gedung didominasi anak-anak usia SD dan remaja. Mereka berniat mencari barang-barang yang bisa dibawa pulang. Samsul ingat, saat itu ada seorang anak kecil meminta tolong padanya untuk mengambilkan lampu gantung hias di dalam mal yang sudah dilalap api. Samsul bersedia mengambilkan, dengan harapan anak tersebut langsung keluar gedung mal. Ternyata dugaannya keliru. Bukannya lari ke luar gedung, anak itu malah naik ke lantai atas mencoba mengambil barang lain yang tersisa. Hal itu ternyata terjadi pada ratusan orang lainnya yang nekat naik dan tak bisa turun.
“Dari bawah itu bukannya pada takut, tapi malah pada naik. Yang dari atas kan enggak bisa turun, tangga penuh dan pada kejepit. Ada yang terinjak, ada yang jatuh,” kata Samsul. “Waktu itu memang zaman lagi susah-susahnya. Makanya, orang rela ngambilin. Ekonomi lagi susah-susahnya.”
Sebelum Samsul meninggalkan gedung, Ia sempat mampir ke swalayan lantai dasar dan mengambil tujuh botol obat nyamuk cair dan sebuah teko air panas untuk dibawa pulang.
“Kita ingat pada waktu itu lagi musim demam berdarah. Saya ambil Baygon kalau enggak salah. Terus kita bagi-bagi. Pokoknya itu Baygon saya taruh di kardus, terus saya tenteng aja. Terus saya bagi-bagi ke tetangga buat disemprot-semprotin.”
Kerusuhan Mei 1998 adalah salah satu fragmen sejarah terburuk yang pernah dialami Indonesia sesudah merdeka. Setahun sebelum tragedi Mei 1998 terjadi nilai tukar rupiah jatuh ke titik nadir, mencapai Rp16 ribu per Dollar Amerika. Dalam waktu bersamaan Indonesia gagal membayar utang dalam kurs Dollar AS. Tak sampai 12 bulan, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia terpangkas 13,5 persen. Di tengah impitan ekonomi, pemerintahan Orde Baru menaikkan harga jual BBM hingga 70 persen. Alhasil, pemutusan hubungan kerja marak terjadi, memicu lonjakan jumlah rakyat menganggur. Ketidakpuasan masyarakat pada kebijakan Presiden Suharto selama mengelola krisis ekonomi menyulut demonstrasi dan seruan terbuka agar kepemimpunan rezim militeristik Orde Baru diakhiri.
Di tengah momen frustrasi akibat krisis ekonomi, pejabat rezim Orde Baru mengkambinghitamkan etnis Tionghoa, yang dianggap menguasai perekonomian dan menjadi biang kerok kesenjangan ekonomi dalam era krisis finansial tersebut. Sejak saat itu, sentimen anti-Cina berkobar lewat serangkaian aksi penculikan aktivis, pemerkosaan, dan kerusuhan yang disebut banyak pakar dan peneliti sebagai hasil operasi yang rapi dan terstruktur.
Terkait kronologi “kerusuhan”, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dalam laporannya menemukan indikasi bila peristiwa penembakan mahasiswa di Trisakti awalnya menciptakan faktor martir yang menjadi pemicu “kerusuhan”. Namun kerusuhan yang terjadi di seantero Jakarta, serta terulang di beberapa kota besar lain, bukan akibat massa yang marah melihat mahasiswa jadi martir. Semua insiden memiliki pola awal mirip: bermula dari berkumpulnya massa pasif yang terdiri dari massa lokal dan pendatang.
Setelah itu muncul provokator yang bertugas memancing massa dengan modus tindakan seperti membakar ban atau memancing perkelahian. Tak jarang, massa pendatang ini memanas-manasi suasana atau merusak fasilitas umum. Jika modus awal mereka berhasil, segelintir orang tadi mulai memancing massa melakukan penrusakan, penjarahan, dan pembakaran gedung.
Laporan yang sama disebutkan bahwa provokator merupakan orang-orang yang secara fisik terlatih, sebagian memakai seragam sekolah seadanya, dan tidak ikut menjarah. Hal ini konsisten dengan keterangan Samsul yang mengatakan bahwa peristiwa Klender bermula dari sekelompok orang yang diduga siswa sedang tawuran dan berujung di gedung Yogya Plaza Klender. Para provokator merupakan orang-orang yang menyiapkan alat-alat untuk merusak.
Kerusuhan Mei 1998, bermula dari wilayah sekitar Universitas Trisakti, Grogol pada 13 Mei. Keesokan harinya, kerusuhan menyebar dan meluas ke seantero Jakarta dengan rentang waktu mulai pukul 08.00 sampai 10.00 WIB. Pertokoan dan mal dijarah dan dibakar, fasilitas umum seperti pom bensin dan rambu lalu lintas dirusak, kendaraan dijarah dan dibakar, tak terkecuali pos polisi ikut jadi tumpukan abu.
Dalam tiga hari, di Jakarta saja, 1.188 orang dilaporkan tewas. Itu angka resmi, sementara yang tak tercatat diyakini jauh lebih banyak lagi.
Sandyawan Sumardi, salah satu anggota TGPF, menyatakan pada awalnya timnya dibentuk pemerintah sebagai formalitas agar seakan-akan Indonesia sudah menangani kejahatan terhadap kemanusiaan. Seiring berjalannya waktu, investigasi dan laporan TGPF menjadi lebih luas dari tugas awal.
Sayangnya, setelah laporan TGPF dirilis pada 1999, tidak pernah ada aktor intelektual yang diseret ke pengadilan untuk bertanggungjawab.
“Tragedi Mei, pada dasarnya adalah operasi militer, bukan karena [konflik] rasial, bukan juga karena krisis ekonomi yang jadi penyebab utama. Nah ini publik salah besar dalam menilai. Apalagi kalau ini dinilai sebagai masalah konflik dengan orang keturunan Cina. Itu terlalu bodoh menurut saya, karena kita digiring pada problem superfisial,” ungkap Sandyawan ketika ditemui VICE di kantornya. “Tragedi Mei, dibuktikan oleh TGPF totally operasi militer. Konflik itu digunakan untuk mencapai tujuannya supaya pemerintahan [Orde Baru] berkuasa kembali.”
Sandyawan mengatakan bahwa TGPF berhasil membuktikan adanya pola yang dipersiapkan oleh aktor intelektual untuk menciptakan kerusuhan. Misalnya adanya sejenis “pelatihan”, tiga bulan sebelum Tragedi Mei. Pelatihan ternyata tidak hanya diikuti personel militer tapi juga dilakukan masyarakat sipil seperti organisasi masyarakat dan paramiliter yang kelak disebut “pasukan siluman.”
“Pertama ditiupkan isu besar bahwa ‘ini saatnya kalian yang sudah begitu lama ditindas dan begitu lama menjadi korban miskin, mengambil alih hak kalian. Jadi barang-barang besar di toko elektronik seperti TV silahkan ambil,’ Balas dendam publik [dihembuskan oleh] intelijen kepada masyarakat,” ungkap Sandyawan.
“Isu itu ditebarkan begitu luas. Ketika masyarakat mulai bergerak, ada yang memimpin yang disebut orang-orang sipil berbadan tegap, plontos, betul-betul militeristik.”
Mulyadi, Junaedi, dan Samsul masih bisa pulang dengan selamat selama kerusuhan terjadi. Lain cerita dengan Muhammad Saparudin, biasa disebut Endin. Sore 14 Mei, kakak Endin, Siti Prihati sempat melarangnya mendekati Yogya Plaza Klender karena situasi kacau. Tapi Endin berkeras, dengan alasan bukan menjarah melainkan pergi ke rumah kawannya. Itulah momen terakhir kalinya Siti melihat Endin yang belum genap 17 tahun. Siti tak pernah sekalipun punya kesempatan menguburkan jasad adiknya—kalau benar ia turut jadi korban kebakaran mal. Selain kehilangan Endin, keluarga Siti harus rela seumur hidup diberi cap “keluarga penjarah”.
“Ada yang berhasil itu bolak-balik bawa [barang], tapi adik saya mah enggak. Enggak pernah pulang. Enggak kelihatan jasadnya, ya kita mau gimana lagi? Mau nyari ke mana?” ujar Siti. “Kita ikhlaskan saja, kalau enggak ikhlas juga kasihan.”
Feri Kusuma, selaku Deputi Bidang Strategi dan Mobilisasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), terlibat dalam rehabilitasi keluarga korban Tragedi Mei 1998. Fokus utama yang dia dampingi adalah mereka yang meninggal dalam “kerusuhan”, baik etnis Tionghoa maupun korban kebakaran saat momen penjarahan terjadi. Menurut Feri, hal terberat yang mesti dihadapi adalah stigma yang melekat pada korban dan keluarganya.
“Sampai hari ini stigma itu masih melekat pada para korban dan keluarganya ketika mereka dinamai ‘para penjarah’ atau ‘keluarga penjarah’,” kata Feri saat diwawancarai VICE di bilangan Cikini, Jakarta Pusat. “Sehingga, hal itu menegasikan substansi dari peristiwa itu. Peristiwa ini kan sebetulnya pelanggaran HAM berat dan dibuat secara sistematis oleh aktor-aktor Orde Baru untuk menciptakan sebuah situasi yang chaos.”
Feri memandang bahwa pada situasi kacau saat itu tidak mudah bagi warga biasa yang kebanyakan remaja dan anak-anak untuk berani melakukan “penjarahan” dalam jumlah massa yang besar. Kebanyakan pasti takut pada aparat yang berjaga seperti tentara atau polisi yang berjaga.
“Mengapa dalam situasi itu mereka berani? Kalau saya lihat polanya begini, mereka dijebak untuk melakukan penjarahan lalu dibakar. Mereka jadilah korban penjarahan, sehingga [dianggap] wajar mereka dibakar atau dibantai karena mereka penjarah. Itu logika yang selama ini banyak diterima,” kata Feri.
Mulyadi, Junaedi, dan Samsul hanyalah sebagian kecil orang yang kala itu terprovokasi masuk ke dalam pusaran politik Mei 1998. Setelah diwawancarai VICE, mereka semua mengaku menyesal ikut mengambil barang elektronik, berkarung-karung baju, atau sekaleng biskuit, yang bukan haknya.
Setelah 20 tahun berselang, aktor intelektual kerusuhan massal dan penjarahan tak pernah ketahuan rimbanya sampai sekarang.
“Enggak mungkin ada kejadian penjarahan masif, terorganisir kalau enggak ada kekuatan politik yang mendorong mereka,” kata Feri. “Dalam kasus 13-15 Mei [memang] ada orang-orang yang kelihatannya ‘menjarah’. Pertanyaannya, apakah benar itu semua karena kesalahan mereka?”