Teriakan itu mengagetkan Genji* yang mengendarai sepeda motor sepulang sekolah. “Cah ngendi we, [Anak mana lo?!].” Belum sempat menoleh, hantaman keras mengenai kepalanya. Genji limbung dan jatuh. Beruntung lapisan helm menggantikan batok kepalanya untuk dipecahkan sore itu. Lebih beruntung lagi ketika dia tahu yang mengenainya tongkat kasti, bukan celurit.
Dua orang—juga berseragam SMA—berboncengan motor terbahak penuh kemenangan. Panik dan tak terima, Genji menelepon satu-satunya kenalan di geng sekolah. Bala bantuan datang. Lebih dari 50 motor anggota gengnya menggeruduk sekolah pelaku. Tawuran pecah sore itu.
Videos by VICE
Genji bertekad tak jadi laki-laki lemah. Tiga tahun setelahnya, ia tak pernah absen nongkrong, ikut tawuran, dan turut melakukan aksi kekerasan di jalan. Insiden serangan itu mengubah Genji yang sebelumnya polos, jadi anggota geng paling beringas di sekolah.
Sebuah stun gun selalu tersimpan di ransel sebagai senjata, yang kata Genji sudah dipakai menyerang puluhan lawan. Nyaris tiap malam ia keliling memburu dan menghajar musuh. Kini 10 tahun berselang, ia lebih dewasa dan bekerja kantoran. “Kalau inget zaman SMA dulu, rasanya lucu. Aku merasa saat itu jadi anggota geng dan klitih itu keren sekali,” ujarnya pada VICE.
Apa yang dialami dan dilakukan Genji biasa disebut “klitih”. Istilah yang kini kerap digunakan untuk menyebut beragam kejahatan jalan raya di Yogyakarta. Satu dekade terakhir, kasus klitih di Yogya bagai pasang-surut air laut. Sempat mereda sekian bulan, awal Februari lalu publik Yogya kembali dibuat cemas di jalan raya. Terjadi serangkaian kasus kekerasan jalanan dalam waktu berdekatan. Kepanikan warga tercermin dari tagar #DIYDaruratKlitih di Twitter.
Dilansir dari Tirto, sepanjang 2019 hingga awal 2020, terdapat 40 kasus klitih yang 70 persen pelakunya pelajar berusia 12-18 tahun. Modusnya beragam, mulai dari pembacokan hingga perampasan barang berharga milik korban. Kasus klitih umumnya terjadi setelah tengah malam di jalanan sepi. Polres Sleman sampai membentuk satuan khusus penangangan klitih untuk membasminya.
Dalam bahasa Jawa, klitih berarti keluyuran tak tentu arah. Kini maknanya jadi lekat dengan kekerasan yang dipicu dinamika permusuhan antar geng SMA Yogya. Karena hanya populer di Yogya, klitih seakan jadi kearifan lokal yang susah dihabisi.
“Aku heran lho. Klitih dulu itu enggak seekstrem sekarang, jauh dari definisi yang kami amini dulu. Sekarang kan serem korbannya random,” kata Tamao*, mantan pelaku klitih yang aktif kurun 2013-an. Kepada VICE, Tamao menjelaskan ada perubahan signifikan antara model klitih zamannya dan yang baru-baru ini terjadi.
Di awal kemunculannya, klitih hanya satu bagian dari konstelasi permusuhan antar geng SMA di Yogyakarta yang rumit. Sudah jadi rahasia umum, sejak 2000’an, pelajar SMA kota Yogya membentuk geng berbasis identitas sekolah. Dari Oestad, REM, No Cazta, Ganza, Respect, Ranger, Genep, Smick, Hammer, Sunday Morning Cartoon, dan banyak lainnya membentuk jaringan rumit kawan-musuh, rutin meramaikan jalanan dengan aksi kekerasan. “Geng itu udah kayak ekstrakurikuler,” imbuh Tamao.
Klitih adalah metode “cari gara-gara” paling gampang. Dibanding metode tawuran lain, seperti mubeng, ngedrop, atau sparing, klitih hanya butuh 1-3 motor dan senjata seadanya. Mereka akan keliling kota di lokasi-lokasi yang kerap dilewati pelajar SMA musuh, lalu menghajar target pakai senjata. Akhir pekan dan hari libur adalah waktu berburu terbaik. Biasanya, satu insiden klitih akan memicu terjadinya tawuran dalam skala lebih besar seperti dialami Genji.
“Dulu hampir tiap hari klitih. Lagi nongkrong sama kakak-kakak kelas, daripada enggak ngapa-ngapain disuruh klitih, ngisi waktu,” kata Tamao. Hal senada diungkapkan Takiya*, mantan pelaku klitih yang semasa SMA drop-out tiga kali karena keterlibatannya dalam geng sekolah. “Zaman itu kalau udah gabung geng tapi enggak pernah klitih atau berkelahi mau ngapain? Cupu!”
Pengaturan strategi klitih tak main-main. Biasanya ada pembagian peran sebagai Joki alias pengendara motor; Fighter sebutan buat orang yang dibonceng dan bertugas menyerang; serta pasukan Swiper di belakang yang bertugas mengamankan kawanannya saat situasi darurat, seperti penggerebekan polisi atau warga.
“Aku dulu sukanya bukan yang berdarah, tapi bikin kesel. Di jalan tak tendang motornya, aku ambil kunci motor, kartu pelajar, atau seragamnya. Puas banget rasanya,” ujar Genji yang masih menyimpan barang-barang korban sebagai suvenir. Sementara Takiya tak ragu menggunakan celurit atau pisau untuk menyerang musuh. Ia kerap membaret lengan dan punggung musuh di jalan. “Ketangkap warga itu lebih ngeri. Ketangkep polisi kamu dipenjara, kalau ditangkap warga kamu mati,” tambahnya.
Meski begitu, seluruh narasumber VICE mengaku klitih sejatinya punya aturan tidak tertulis yang dipatuhi seluruh geng pelajar Yogyakarta. Misalnya, hanya boleh menyerang siswa yang jelas-jelas musuh geng sekolah, dilarang menyerang pelajar sedang pacaran, dilarang menyerang siswa yang menunggu angkutan umum, dan selalu ditekankan “boleh menghajar asal tidak membunuh lawan.” Tiap geng juga punya wilayahnya, ditandai coretan vandal inisial geng di dinding bangunan. “Dulu aku enggak ingin membunuh atau membuat dia terluka parah. Aku cuma ingin menunjukkan bahwa ‘aku itu lebih kuat dari kamu lho’,” ujar Tamao.
Aturan main ini membuat pergolakan klitih satu dekade lalu hanya terjadi di kalangan SMA saja. Masyarakat umum tak mungkin kena getahnya. Pelaku klitih rajin mengidentifikasi lebih dahulu calon korban, bisa dengan bertanya atau menghafal seragam dan badge yang dikenakan. Jika salah sasaran, mereka justru dihukum gengnya sendiri.
Polisi menyebut klitih sebagai kriminalitas tanpa motif. Namun narasumber VICE mengklaim klitih populer karena memberi sensasi candu adrenalin. “Sensasinya itu lho, kejar-kejaran di jalan, acung-acungan celurit, hampir mati dihajar orang, kabur dari polisi. Deg-degannya itu yang bikin klitih seru,” ujar Takiya.
Ketiga bekas pelaku yang kami temui sepakat, kekerasan jalanan yang dua tahun terakhir meneror Yogya lebih tepat disebut aktivitas begal ketimbang klitih. Sebab dalam beberapa kasus pelaku merampas barang berharga korban. Selain itu, korbannya sudah menjangkau masyarakat umum. Genji dan Tamao ikut kena getahnya. Mereka sama-sama punya luka jahit di paha dan kepala akibat klitih liar empat tahun terakhir.
Perubahan pola klitih mulai terjadi kurun 2015-2016, ketika marak muncul geng alumni SMA dan geng liar berbasis premanisme jalanan. Salah satunya Raden Kian Santang (RKS) yang disebut-sebut pionir klitih dengan korban acak di Yogya.
Geng alumni dan geng preman di tahun itu merebak, disebabkan perebutan wilayah kekuasaan karena pertumbuhan ekonomi di Yogyakarta. Seperti dijelaskan sosiolog Ian Wilson lewat buku Politik Jatah Preman, meningkatnya perputaran uang suatu kawasan selalu dibarengi munculnya penjual jasa keamanan, seperti preman, kelompok vigilante, atau ormas. Perseteruan geng sekolah, ditambah afiliasi geng alumi, membuat 2016 jadi penuh kekisruhan dalam sejarah DIY. Terjadi 43 kasus kekerasan jalanan dalam setahun, belasan orang tewas sia-sia.
Pemerintah Kota Yogya sampai menerapkan status darurat. Kepolisian membekuk puluhan pelaku, dan menghimbau sekolah-sekolah memberlakukan aturan ketat dan ancaman drop out untuk siswa terlibat geng. Aturan ini mengurangi aktivitas kekerasan pelajar, namun menyebabkan remaja yang masih “ingin nakal” mencari wadah baru menyalurkan hasratnya. “Polisi enggak mungkin bisa ngebubarin geng, yang bisa alumni mereka sendiri. Guru, orang tua, apalagi polisi wis mesti ora digagas,” terang Takiya.
Seraya kasus salah sasaran dan penangkapan geng klitih oleh warga terus terjadi, beberapa teori muncul. Ipda Yunanto Prabowo, Kanit Jatantras Polres Sleman yang mengadakan patroli tiap malam, meyakini klitih beberapa tahun terakhir murni kenakalan remaja tanpa afiliasi geng, karenanya sulit dipetakan. “Kami itu dibuat geram dan dongkol sekali oleh klitih. Jeranya susah, kalau masuk penjara atau viral di sosmed malah bangga. Mending nangkap pencuri,” ungkapnya ketika ditemui VICE di kantornya.
Usaha pembasmian klitih pun makin sulit, menurut polisi, karena rendahnya hukuman buat pelaku. Usia pelaku yang mayoritas remaja membuat aturan pidana yang dipakai tunduk pada UU Perlindungan Anak, sekalipun kejahatan yang dibuatnya fatal. “Kalau cuma dapat diversi kurang dari tujuh tahun, pasti enggak kapok,” tambah Ipda Yunanto.
Soeprapto, sosiolog kriminalitas dari Universitas Gadjah Mada, menduga maraknya klitih dipicu aktivitas geng preman dewasa yang merekrut remaja potensial. Klitih dengan korban asal “golek getih” dia tengarai syarat bisa masuk geng. Di saat yang sama, geng preman berkepentingan menciptakan teror, agar jasa keamanan mereka laku dibeli. “Sekarang itu yang beraksi geng inti sekolah, plus geng alumi, plus geng premanisme. Yang jelas tidak perlu ikut geng sekolah untuk klitih,” ujarnya kepada VICE.
Sistem zonasi pendidikan yang kini diterapkan pemerintah, menurut Tamao berisiko memperparah pola kekerasan. “Dulu geng sekolah petanya ada sendiri. Kalau sekolah sistem zonasi, bisa jadi geng sekolah ketumpuk sama geng preman, ketumpuk sama geng bola, ketumpuk lagi sama geng ormas partai, kalau ada apa-apa geger!“
Melihat remaja kiwari lebih nekat melakukan klitih, baik Genji, Tamao, dan Takiya hanya bisa mengelus dada. Setelah bertahun-tahun menggeluti kerasnya drama jalanan, ternyata mereka sekarang gantian was-was ketika melewati jalanan sepi Yogyakarta lepas tengah malam.
Sambil membetulkan kembali letak celemek berlogo kafe tempatnya bekerja, Takiya pamit kepada VICE karena harus melayani pengunjung sampai shift malamnya selesai. Meski begitu, darahnya kadang masih bergejolak. “Kalau lagi selo, terus nongkrong, minum, suka kangen sih deg-degannya klitih. Sekali-kali pengin turun ke jalan lagi.”
*nama asli narasumber dirahasiakan untuk melindungi privasinya
Titah AW adalah jurnalis lepas yang bermukim di Yogyakarta. Follow dia di Instagram