Kekerasan Seksual

Predator Seksual SMA SPI Dituntut 15 Tahun, Jaksa Masih Pakai UU Perlindungan Anak

Pendiri SMA SPI Julianto Eka Putra didakwa memperkosa dan mencabuli 15 siswa. Sejauh ini belum ada kasus kekerasan seksual diproses memakai UU TPKS.
Pendiri SMA SPI Malang Julianto Eka Putra Dituntut 15 tahun penjara lecehkan murid
Ilustrasi predator seksual via Getty Images

Predator seksual Julianto Eka Putra menghadiri sidang pembacaan tuntutan kasusnya di Pengadilan Negeri (PN) Kota Malang secara daring dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Lowokwaru, Malang. Pendiri SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) tersebut resmi dihadapkan pada tuntutan 15 tahun penjara setelah dianggap terbukti melakukan kekerasan seksual, pemerkosaan, dan pencabulan terhadap siswanya sendiri. Agenda pembacaan tuntutan dilakukan secara tertutup pada Rabu (27/7) hari ini. Julianto dijerat UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Iklan

Selain menuntut hukuman penjara, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Agus Rujito juga menuntut pembayaran restitusi, atau ganti rugi, untuk korban Julianto. “Terdakwa dituntut 15 tahun. Denda Rp300 juta subsider 6 bulan. Ada juga tuntutan membayar restitusi kepada korban sebesar Rp44 juta,” ujar Agus yang juga Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Batu, dilansir Detik.

Mekanismenya, apabila terdakwa tidak mampu membayar, harta bendanya akan disita untuk dilelang. Apabila hasil lelang belum mencukupi, masa kurungan penjara akan bertambah enam bulan.

Berbicara kepada wartawan usai persidangan, penasihat hukum terdakwa, Hotma Sitompul, belum mau mengomentari tuntutan tersebut. Sementara, pendamping korban sekaligus Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA) Arist Merdeka Sirait tampak puas atas tuntutan JPU.

“Ini kami masih menunggu putusan dari majelis hakim. Ini membuktikan bahwa peristiwa itu [kekerasan seksual] memang terjadi bukan konspirasi seperti yang dituduhkan. Ini menunjukkan bahwa keadilan patut kita tegakkan,” ujar Arist, dilansir Jatim Now. Yang dimaksud Arist adalah tuduhan bahwa laporan kekerasan seksual ini mengada-ada, salah satunya dilayangkan oleh kepala sekolah SMA SPI Risnah Amalia.

Iklan

Selama persidangan, kelompok sipil berkumpul melakukan orasi di luar gedung, menyerukan dukungan pada korban. Para aktivis perlindungan anak sejumlah daerah dan alumni SPI menuntut Julianto untuk dihukum seberat-beratnya. Beberapa poster memperlihatkan kelompok ini meminta terdakwa dituntut penjara seumur hidup atau kebiri. Namun, orasi damai ini akhirnya dibubarkan oleh sekelompok orang yang tak dikenal. 

Julianto dilaporkan oleh Komnas PA ke Polda Jawa Timur pada Mei 2021 atas dugaan kekerasan seksual kepada setidaknya 15 siswa SMA SPI. Statusnya naik menjadi tersangka pada Agustus 2021, lalu naik lagi menjadi terdakwa pada Februari 2022. Walau begitu, polisi baru menahan Julianto pada 11 Juli lalu. Setelah menjalani 19 kali persidangan dalam keadaan bebas, Julianto ditangkap karena dilaporkan mengintimidasi korban.

Selain perkara kekerasan seksual, SMA SPI juga dituding melakukan eksploitasi ekonomi terhadap anak muridnya. Meski pendidikannya bersifat gratis, SMA SPI disebut memberi beban kerja kepada siswa, misalnya ditugaskan mengelola unit usaha berupa hotel di kompleks sekolah. SMA SPI dikenal menyediakan sekolah gratis bagi kalangan ekonomi bawah dari berbagai daerah. Reputasinya kini sedang babak belur setelah kasus Julianto terkuak.

Sepanjang 2021, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 207 anak menjadi korban kekerasan seksual dengan rincian 126 perempuan dan 71 laki-laki. Mayoritas kasus terjadi di satuan pendidikan dengan fasilitas asrama, seperti di SMA SPI, dan pelaku terbanyak adalah guru.

Sejak UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan, terpantau belum ada kasus kekerasan seksual yang diproses hukum menggunakan beleid ini. Dalam kasus Julianto, penyebabnya karena kasus masuk persidangan sebelum UU TPKS diundangkan.

Akan tetapi ada kekhawatiran bahwa UU TPKS masih enggan digunakan. Indikasinya, sejumlah kasus kekerasan seksual yang muncul setelah UU TPKS masih diakhiri secara “damai”. Bahkan ada penyelesaian kasus yang justru melanggar UU TPKS, yakni dengan menikahkan korban pemerkosaan dengan pelakunya. Disinyalir ini karena penegak hukum, pemerintah, dan keluarga korban belum memiliki perspektif gender yang berpihak pada korban.