Kerumunan pelajar tampak menghalau tembakan gas air mata dengan payung. Seperti itulah pemandangan yang terlihat di Bangkok akhir-akhir ini.
Mereka mengikuti jejak rekan-rekannya di Hong Kong selama menyuarakan demokrasi dan reformasi monarki.
Videos by VICE
“Ada banyak kesamaan antara aksi pelajar Thailand dan demonstrasi Hong Kong,” Roger Huang, dosen ilmu politik Universitas Macquarie di Australia, memberi tahu VICE News.
“Sebagian besar massa masih berstatus pelajar dan mahasiswa. Kebanyakan jago internet dan memahami prinsip keadilan sosial. Bisa dibilang mereka aktivis muda paling berani di Thailand sejak 1970-an.”
Aksi demo besar-besaran tak hanya sekali dua kali terjadi di Thailand. Warga berjuang keras mengakhiri sejarah panjang keterlibatan negara dan kudeta militer dalam membungkam kritik terhadap kekuasaan monarki. Gerakan pelajar ini menjadi contoh terbarunya. Mereka menuntut perubahan konstitusi dan pengunduran diri perdana menteri yang menjabat saat ini.
Demonstrasi biasanya dilakukan secara sporadis. Namun, semuanya berubah pekan lalu, setelah beberapa pemimpin aksi diamankan polisi dan gas air mata ditembakkan untuk menghentikan aksi. Alih-alih mematahkan semangat, tindakan represif polisi dan larangan demo justru memicu gerakan yang lebih besar dan meluas di Bangkok. Banyak pengunjuk rasa menyatakan dukungan mereka terhadap Milk Tea Alliance, gerakan solidaritas online informal yang diprakarsai oleh aktivis pro-demokrasi Thailand, Hong Kong dan Taiwan.
Berikut sejumlah kesamaan yang dimiliki gerakan Thailand dan Hong Kong.
Membawa payung sebagai bentuk perlawanan
Bangkok berubah menjadi lautan jas hujan dan payung sejak Jumat pekan lalu. Puluhan ribu orang turun ke jalan di sejumlah wilayah, tak peduli sedang musim hujan. Aksi unjuk rasa juga digelar di provinsi-provinsi yang jauh dari ibu kota.
Penampakan demonstran berpayung sangat mirip dengan Gerakan Payung yang melumpuhkan Hong Kong pada 2014. Gerakan ini kembali muncul tahun lalu sesudah RUU Ekstradisi yang kontroversial diusulkan.
Payung bukan sebatas alat melindungi diri dari guyuran hujan, melainkan untuk mencegah tembakan gas air mata dan melindungi pengunjuk rasa yang terluka.
Pedagang kaki lima melihatnya sebagai peluang bisnis menguntungkan. Mereka menjajakan kacamata, helm dan jas hujan untuk memenuhi kebutuhan para demonstran.
Sama seperti di Hong Kong, polisi anti-huru-hara menyemprotkan cairan biru untuk membubarkan kerumunan besar pada Jumat malam. Cairan ini diduga mengandung bahan kimia yang mirip gas air mata.
Aksi kemanusiaan
Aktivis terkemuka Hong Kong Joshua Wong mengunggah foto kesamaan demonstrasi di Thailand dengan negaranya. Viral di Twitter, foto itu menunjukkan lautan massa yang terbelah untuk memberi jalan pada ambulans. Momen ikonik ini pernah terjadi sebelumnya di Hong Kong pada Juni tahun lalu.
Penangkapan Aktivis
“Saya menyanyikan ‘Glory to Hong Kong’ untuk semua rakyat Hong Kong yang memperjuangkan kebebasan mereka,” bunyi twit aktivis pelajar Bunkueanun “Francis” Paothong yang ditujukan kepada Joshua Wong dan Nathan Law, rekan seperjuangan Wong.
“Aksi kalian menginspirasiku untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya demokrasi yang bebas dan adil di negara kami,” lanjutnya dalam sebuah utas. “Kalian berdua akan selalu menjadi pahlawanku.”
Francis kini terancam menjalani hukuman seumur hidup setelah memberi salam tiga jari bersama massa lainnya ke arah iring-iringan mobil kerajaan yang ditumpangi sang ratu. Dia sempat ditahan dan dibebaskan dengan syarat. Ini hanyalah satu dari lusinan penangkapan yang terjadi kepada para pengkritik negara.
Wong, yang terkenal frontal mengkritik Beijing, berulang kali mengapresiasi demonstran Thailand.
“Warga Thailand yang pemberani berbondong-bondong turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka dan menentang hukum negara yang kejam,” Wong berkicau. Dia membuat utas dan mengunggah berbagai video aksi di Bangkok ke akun Twitter-nya. “Kita bisa melalui ini bersama-sama.”
Charlie Thame, dosen ilmu politik Universitas Thammasat di Bangkok, mengatakan banyak demonstran muda terinspirasi oleh perjuangan di tempat lain.
“Kedewasaan dan kreativitas mereka sangat mengesankan,” tuturnya.
Melawan pembatasan negara terhadap kebebasan media
Menanggapi aksi protes yang terjadi selama akhir pekan, pemerintah Thailand mengancam akan menyensor kantor berita yang memberitakan demonstrasi. Hal ini dilakukan sebagai upaya membungkam sikap kritis terhadap pemerintah dan kerajaan. Tindakan kontroversial tersebut kurang lebih mirip dengan yang terjadi di Hong Kong. Hampir tak ada kebebasan media di sana, mengingat jurnalis Hong Kong kerap menjadi sasaran karena meliput topik sensitif.
“Walaupun sifatnya sementara, penangkapan jurnalis yang terjadi pada Jumat malam menyoroti ancaman baru terhadap media Thailand,” ujar Foreign Correspondents Club of Thailand (FCCT) dalam pernyataan resminya.
“Dengan berlanjutnya aksi protes di Thailand, FCCT mengkhawatirkan keselamatan semua pihak yang terlibat. Jurnalis bisa menjadi sasaran penangkapan hanya karena mereka menjalankan tugasnya sebagai pembawa berita.”
Pada 10 Agustus, pengusaha Hong Kong Jimmy Lai yang anti-pemerintah digiring ke kantor polisi dari rumahnya. Dia dituduh bersekongkol dengan pihak asing, yang dikategorikan sebagai pelanggaran dalam undang-undang keamanan nasional yang baru disahkan. Lebih jauh lagi, kantor berita Apple Daily yang didirikan Lai pada 1995 digerebek polisi.
Pengunjuk rasa Thailand mengakali sensor dengan bermigrasi ke Telegram. Sebelumnya lokasi demo disebarkan lewat Facebook, tapi sekarang sudah menjadi target sensor negara. Dalam hitungan hari, grup Telegram untuk menggerakkan massa diikuti oleh 160.000 orang. Di Hong Kong, Telegram juga berperan penting dalam aksi protes. Aktivis pro-demokrasi menggunakan Telegram supaya identitas demonstran tidak terbongkar.
Namun, menurut surat perintah yang beredar di internet pada Senin, pemerintah Thailand berusaha membatasi akses aplikasi tersebut.