Pengakuan Anak Muda yang Terpaksa Menunda Resepsi Akibat Pandemi Corona di Indonesia

Anak Muda Indonesia Terpaksa Menunda Resepsi Pernikahan Akibat Pandemi Virus Corona

Dunia seperti sedang gemar bercanda dengan umat manusia. Ingat enggak, awal tahun ini kita semua sempat mengira dunia akan hancur gara-gara bencana perubahan iklim. Eh, belum juga kebakaran hutan parah di Australia reda, tahu-tahu Amerika Serikat memancing Iran berperang, bikin kita ganti teori kalau kiamat pasti datangnya lewat Perang Dunia III.

Sekarang sambil kerja dari rumah, saya mengangguk-angguk sambil mikir, “Ternyata semua teori itu salah” karena keduluan bencana lain bernama pandemi SARS-Cov-2, jenis baru virus corona penyebab gangguan pernapasan akut bernama COVID-19.

Videos by VICE

Pandemi ini hingga Senin (23/3), menewaskan 49 orang di seluruh Indonesia, menjangkiti 579 lainnya, dan baru 30 pasien sembuh. Baru kali ini Indonesia mengalami pandemi sedemikian massif karena mudah menular, sampai-sampai berbagai aspek kehidupan berubah total. Nongkrong dibatasi, jutaan orang sekolah atau kerja harus dari rumah, sampai menggelar pesta pernikahan pun mulai dilarang oleh pemerintah, kecuali mau melengkapi sekian syarat yang ribet dalam kasus DKI Jakarta.

Eits tunggu dulu. Masyarakat diminta tidak menggelar resepsi pernikahan dulu sampai situasi kembali normal? Saya benci menuliskannya. Bukankah ini sejumput kabar bagus buat banyak anak muda Indonesia selalu jiper dan kalah mengaspirasikan keinginan nikah tanpa pesta?

Sebelum pandemi corona meluas, kita bisa mengggali ingatan atas beragam argumen yang melimpah di media sosial soal urgensi menikah tanpa resepsi. Banyak anak muda mengakui, pesta pernikahan hanya mengundang teman dan kerabat yang intim, atau minimal tidak makan banyak biaya, merupakan konsep paling ideal.

Namun banyak juga yang bilang kalau mewujudkannya mustahil, karena adat berbagai etnis di Indonesia menjunjung tinggi konsep pesta pernikahan melibatkan sebanyak mungkin tamu undangan (belum lagi adat yang rumit dan mahal di ongkos). Nekat bikin pernikahan sederhana, bisa-bisa tak dapat restu orang tua.

Pada akhirnya, bukan teladan pernikahan amat sederhana selebgram Suhay Salim atau grafik komparasi tren biaya nikah vs pendapatan dari masa ke masa yang mengubah budaya tersebut. Semua kekeraskepalaan keluarga menentang penyederhanaan tradisi justru di-fait accompli oleh sebuah virus.

Tapi sebaiknya saya langsung bertanya pada anak muda yang harus mengurungkan niat menggelar pesta gara-gara virus corona. Bisa jadi asumsi saya keliru besar, dan mereka sebenarnya menginginkan syukuran tetap digelar.

Maka, mari kita mendengar pengakuan Safar Nurhan, 26 tahun. Resepsi pernikahannya dengan Nyimas, sang calon istri, pada 28 Maret mendatang di Jakarta harus batal. “Aku dan Nyimas syukur alhamdulilah. Senang banget dengan pembatalan itu,” kata Safar kepada VICE.

Oke ini plot twist sih. Doi malah bersyukur tuh.

“Nyimas introver, dan aku memang enggak suka perayaan kayak gitu. Namun, kami hargai orang tua Nyimas. Yang sedih kayaknya ibunya Nyimas deh, tetapi enggak sedih-sedit amat, soalnya dia udah tahu juga kondisi [penularan COVID-19] di Jakarta.”

Safar memutuskan resepsinya dengan Nyimas, calon istrinya, dibatalkan saja setelah berembuk dengan ayah Nyimas. Sebenarnya dia udah mikirin untuk membatalkan acara ketika ada satu korban meninggal di Indonesia. Namun, ide itu baru jadi obrolan dengan keluarga calon istri setelah ayah Nyimas mendapat imbauan ini dari Kantor Urusan Agama Jakarta Timur.

Apalagi setelah di kelurahan Jati, Pulo Gadung, Jakarta Timur—domisili mempelai perempuan sekaligus lokasi resepsi—muncul satu pasien positif corona, keluarga Safar dan Nyimas sepakat acara batal. Bukan diundur, tapi benar-benar ditiadakan.

“[Waktu ada satu pasien yang meninggal] orang tua Nyimas belum memutuskan, sebab Ketua RT bilang gubernur belum melarang. Nah, pada saat Anies Baswedan mengumumkan bahwa kegiatan yang mengundang banyak orang sebaiknya dibatalkan, salah satunya resepsi pernikahan, aku langsung hubungi orang tua Nyimas agar dibatalkan aja,” kata Safar. “Mereka langsung hubungi Ketua RT dan RW, dan benar, sudah ada instruksi dari Anies Baswedan: resepsi pernikahan sebaiknya dibatalkan. Kalau ngotot diadakan maka banyak persyaratannya. Repot juga kalau penuhi syarat-syarat itu.”

Keputusan itu terjadi seminggu sebelum hari-H. Mereka segera mengontak teman-teman yang sudah dibagi undangan untuk mengabarkan ralat. Tiket pesawat ibu dan adik Safar dari Banggai, Sulawesi Tengah, juga segera dibatalkan. “Alhamdulillah,” Safar menambahkan, “uang bisa kembali karena pihak dekor, panggung dan tenda, dan katering paham juga kondisi Jakarta sekarang.”

Beda dengan Safar, Azka Maula, 28 tahun, masih harus berdebar. Resepsinya 19 April nanti dipastikan tertunda, entah sampai kapan, sementara sebagian ongkos belum bisa kembali sebagian seperti kasus Safar. Dia masih berharap wedding organizer yang disewa mau menyesuaikan jadwal tanpa meminta biaya lebih. Untungnya undangan belum disebar.

Azka menerima pesan WhatsApp dari KUA Kota Yogyakarta tentang aturan akad yang maksimal dihadiri 10 orang serta peserta dan petugas memakai perlengkapan kayak orang mau touring: harus menggunakan masker dan sarung tangan.

Oke. Jadi perkara biaya ini memang tricky ya. Mungkin itu juga yang membuat sebagian keluarga di beberapa kota Indonesia tetap menggelar pesta pernikahan beramai-ramai walau sudah ada imbauan mengenai penularan Corona.

Siapa sangka, Safar dan Azka sepakat, orang yang ngotot tetap ngadain resepsi di tengah pandemi corona itu egois. “Mungkin mereka dalam posisi kalau diundur malah rugi, jadi mau enggak mau kudu dilanjutkan. Atau mungkin sistem imun mereka terlalu kuat. Sistem imun mentalnya ya, alias ngeyel,” kata Azka.

Menurut Safar, “[Orang seperti itu] sangat mengesalkan, [padahal] ada beberapa warung kopi juga dipaksa bubar. Tadi aku naik motor, mobil Pol PP mengumumkan agar orang-orang kembali ke rumah. Jangan berkerumun.”

Orang Indonesia punya kebiasaan memetik hikmah dari setiap bencana, jadi mungkin ini yang bisa disimpilkan: pandemi inilah yang akhirnya mengubah banyak hal yang kita ingin ganti tradisinya, tapi kayaknya susah banget.

Nikah tanpa resepsi, yang sering diidam-idamkan tapi tak bisa diwujudkan karena desakan keluarga serta adat, adalah satu contohnya. Tentu tidak ada yang bersyukur terjadi pandemi yang memakan sedemikian banyak korban jiwa. Cuma, kalau memang mau melihat sisi terangnya, sekarang lah saat terbaik bagi muda-mudi yang ingin menikah sederhana mewujudkan cita-citanya.