Grafitti di New York, Jakarta, Tokyo, Durban, hingga London punya satu sudut yang sama: sudut yang dihiasi coretan pilox bertuliskan ACAB. Empat huruf ini begitu universal, dikenali artinya rata-rata anak muda sekali lihat. ACAB adalah akronim bahasa Inggris ‘All Coppers/cops are Bastards’, alias ‘semua polisi pada dasarnya brengsek’. Istilah ini kembali populer setelah banyak aktivis menggelar unjuk rasa di berbagai negara memprotes kekerasan polisi Amerika Serikat menewaskan warga kulit hitam bernama George Floyd.
Saking populernya, kita sampai tidak kepikiran lagi sejarah munculnya istilah ACAB. Siapa sih pencetusnya? Kenapa bisa mengglobal untuk menggambarkan penolakan terhadap brutalitas polisi?
Videos by VICE
Untuk menjawabnya, mari kita kembali ke istilah awal yang kurang populer, yakni yang menggunakan “coppers” alih-alih cops. Ada satu negara yang warganya masih memakai sebutan tersebut, yakni Inggris. Tidak mengejutkan memang, mengingat Inggris adalah negara pertama di era modern menciptakan sistem kepolisian. Polisi modern, sedikit berbeda dari tentara, adalah sipil yang dipersenjatai, diberi seragam, dan hidup dalam hierarki kepangkatan.
Pada Abad 19, ketika dimunculkan pemerintah Inggris, tugas aparat kepolisian adalah menghadapi warga sipil lainnya. Khususnya untuk menggebuki dan memadamkan unjuk rasa yang digelar petani miskin Irlandia karena kelaparan. Polisi juga diperintahkan mendisiplinkan para pekerja di kota besar seperti London dan Liverpool yang kondisi pabriknya buruk atau menganggur lalu keleleran di jalan.
Karena dirasa lahir untuk menertibkan aspirasi progresif, kelas pekerja Inggris di masa itu akhirnya mencetuskan akronim “all coppers are bastards”. Ketika konsep polisi menyebar ke negeri Eropa lain (dan jajahan mereka), kritik ACAB ikut diadopsi. Penduduk Prancis menerjemahkan ACAB menjadi “Tout le monde déteste la police”, yang secara harfiah artinya “semua orang benci polisi.”
Emang seburuk apa sih polisi? Bukankah di masa sekarang mereka lebih sering menilang pengendara badung dan membantu warga yang kemalingan atau jadi korban kejahatan? Di Indonesia, malah, surat keterangan polisi dibutuhkan untuk cari kerja.
Menurut Victoria Gagliardo-Silver, yang menulis esai mengenai sejarah kemunculan istilah ‘ACAB’ di surat kabar the Independent, menyatakan kebencian terhadap polisi itu harus dilihat akarnya. Di mata penduduk Inggris Abad 19, tidak ada polisi yang baik dan mengayomi masyarakat. Mereka lebih sering menghajar warga dibanding “mengamankan”. Menurut Gagliardo-Silver, sistem polisi bermasalah sejak awal, karena dilahirkan penguasa untuk mengadu sipil lawan sipil. Ingat, polisi tidak berperang, beda dari tentara. Satuan kepolisian modern juga senantiasa lebih mengutamakan perlindungan terhadap orang kaya atau elit suatu negara ketika terjadi kekacauan. “Makanya, ada pihak yang tidak bisa mempercayai pleidoi polisi buruk cuma oknum; satu pohon kesatuan ini sudah busuk luar dalam dan hanya menebarkan racun.”
Uniknya, di Inggris, kebencian terhadap polisi muncul tidak hanya dari kelas pekerja. Joseph Grantham adalah polisi pertama dalam sejarah London yang tewas ditusuk warga. Di pengadilan, pembunuhnya hanya dikenai pasal ‘kekerasan yang menyebabkan kematian”, bukan pembunuhan. Para juri turut menunjukkan ketidaksukaan pada kepolisian London. Dalam bentrok di tahun yang sama antara serikat buruh dan polisi di ibu kota Inggris, tiga aparat ditusuk, satu tewas. Lagi-lagi, ada anggota juri pengadilan menyatakan “pembunuhan ini terjadi karena upaya membela diri.”menyatakan “pembunuhan ini terjadi karena upaya membela diri.”
Sayangnya, kalau kepengin tahu siapa pencetus akronim ACAB, sulit menemukan sosoknya. Kapan persisnya istilah ini muncul juga tak berhasil dilacak. Lexikografer Eric Partridge dalam bukunya A Dictionary of Catch Phrases menyatakan ACAB mulai populer dan menyebar ke berbagai negara di Abad 20. Penggunanya yang paling tua rata-rata kriminal dan anak jalanan, “tapi istilah ini sudah mereka kenal sejak satu generasi sebelumnya.”
Pemakaian ACAb secara tertulis ditemukan Partridge di lirik lagu rakyat Inggris yang muncul era 1920-an. Liriknya berbunyi semacam ini: “I’ll sing you a song, it’s not very long: all coppers are bastards.”
Partridge bilang, kadang ACAB berubah variasi menjadi “[All those in authority] are bastards”, menggambarkan sasaran kemarahan penggunanya bukan cuma polisi tapi juga penguasa. “Khususnya terhadap semua elit-elit yang mementingkan tertib hukum di atas segala-galanya.”
Cuplikan lagu yang dimaksud bisa disimak lewat dokumenter We Are The Lambeth Boys, ketika ada adegan sekelompok buruh remaja dari atas truk menyanyikan ACAB nuntuk seorang polisi yang mereka lihat di jalan. Variasi lain dari istilah hinaan ini, “all coppers are ‘nanas’”, juga muncul di salah satu lagu David Bowie berjudul “Over The Wall We Go“.
Ada teori lain mengatakan ACAB mulai populer di masyarakat berkat gelombang pemogokan pekerja di seantero Inggris pada 1940-an, tapi ahli bahasa menduga ini cuma mitos. Sebagian lagi percaya ACAB massif dipakai di penjara-penjara Inggris, dituliskan oleh para tahanan di dinding.
Kebangkitan kultur punk akhir 70’an jelas berjasa besar mempopulerkan ACAB ke kancah internasional. Pelakunya terutama musisi dan anggota kancah ‘Oi’. Band The 4 Skins dari London, pada 1982, merilis lagu berjudul “A.C.A.B”, yang membuat akronim tersebut makin terkenal di kalangan pendengar musik. ACAB juga jadi lagu band punk Jerman berideologi antifasis Slime. Dimulai oleh punk, ACAB pun lantas populer di genre lain, termasuk rap dan techno.
Ketika polisi makin ketat mengamankan pertandingan sepakbola, suporter Inggris ikut mengadopsi istilah ACAB. Penggunanya rata-rata hooligan yang juga berafiliasi dengan gerakan skinhead, populer pada dasawarsa 70’an.
Suporter di negara lain turut mengadopsi kebencian terhadap polisi tersebut, seperti dicatat penulis sepakbola James Montague di buku 1312 (kode numerik untuk ACAB). Nyaris semua ultras membenci polisi. Suporter Persija Jakarta yang tewas karena kekerasan polisi pada 2016, pernah menuliskan catatan “ACAB” di bukku hariannya. Meski begitu, dari temuan Montague, di internal Jakmania sendiri ada ketidaksetujuan mempopulerkan ACAB karena dianggap “terlalu Eropa.”
Pemakaian slogan ACAB tentu saja tidak disukai polisi. Mana ada polisi bersedia dijuluki brengsek. Karenanya, di Eropa, tercatat makin banyak orang ditangkap karena mengenakan kaos bertuliskan ACAB. Meski demikian, Pengadilan di Jerman pernah menolak menghukum suporter yang ditahan karena menuliskan ACAB di celananya.
Perempuan di Spanyol juga pernah ditangkap polisi pada 2016, karena membawa tas belanjaan bertuliskan ACAB. Setelah diperiksa, ternyata dia menuliskan untuk akronim “All Cats Are Beautiful”. Tindakan polisi Spanyol memicu kritikan keras di media sosial.
ACAB kini bisa ditemui di manapun. Pengaruh slogan ini amat terasa, terutama ketika polisi kembali terlibat kekerasan brutal. Bermula dari jalanan London, ternyata frasa sederhana itu memiliki relevansi global yang tak lekang oleh waktu.
Follow penulis artikel ini di akun @jdpoulter
Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.