Ketika Daniel Adeyemi menempuh studi di Inggris, hanya satu makanan yang selalu mengingatkannya pada rumah: Indomie. Daniel bukan orang Indonesia. Dia warga negara Nigeria.
“Di negara saya, semua orang pasti kenal Indomie,” kata Adeyemi saat dihubungi VICE Indonesia. “Saya berani bilang kira-kira 80 persen penduduk Nigeria pasti pernah makan Indomie sebelumnya. Banyak orang yang mencintai merek mi instan ini.”
Videos by VICE
Mi instan yang bisa disantap setelah dimasak kurang dari lima menit itu sangat digemari warga Nigeria, negara kaya minyak di jantung Benua Afrika. Produk PT Indofood Sukses Makmur Tbk ini menguasai 74 persen pangsa pasar mi instan di negara dengan perekonomian terbesar kedua di seluruh Afrika tersebut. Angka pangsa pasar itu terhitung sudah anjlok, mengingat 10 tahun lalu Indomie sempat memonopoli pasar mi instan di seantero Nigeria.
“Bagi orang Nigeria, Indomie sudah menjadi kata ganti mi instan,” kata Ademeyi.
Jadi, bagaimana ceritanya Indomie bisa “menjajah” meja makan rumah tangga Nigeria? Cerita bermula ketika pada dekade 80-an, PT Indofood Sukses Makmur mengekspor produk mereka kepada Dufil Prima Foods, produsen pangan Nigeria. Karena permintaan pasar sangat tinggi, kedua pihak meningkatkan kerja sama dengan membangun pabrik lokal hasil joint venture antara Tolaram group Singapura dan Salim Group Indonesia. Kini, pabrik tersebut skalanya terbesar di seluruh Benua Afrika. Indomie laba kotor hingga US$600 juta (setara Rp 7,8 triliun) per tahun di Afrika, masuk dalam jajaran merek urutan ke-8 paling banyak dibeli di seluruh dunia berdasarkan riset Kantar Worldpanel.
Kesuksesan Indomie terbantu ketepatan momen. Ketika mi instan pertama kali diperkenalkan akhir 80-an, sama sekali tidak ada pesaing di Nigeria. Selain itu, orang Nigeria belum punya budaya makan mi sebelumnya, berbeda dari penduduk Asia atau negara-negara Barat. Keterangan itu disampaikan oleh Tope Ashiwaju, juru bicara Dufil Prima Foods.
“Perkembangan bisnis kami awalnya sangat sulit. Tidak ada penduduk Nigeria yang tahu apa itu mi instan,” kata Ashiwaju. “Kami lalu berusaha mati-matian memperkenalkan produk ini dari rumah ke rumah. Kami akan mengatakan pada setiap orang kalau mi instan itu setara dengan beras, gandum, ataupun kacang-kacangan yang lebih populer sebagai makanan pokok.”
Strategi lanjutan kemudian ditempuh oleh Dufil untuk menguasai pasar makanan pokok Nigeria. Perusahaan mengklaim mi instan lebih sehat daripada beras atau roti yang biasa dimakan orang-orang. Untuk meraih simpati anak-anak, Indomie sampai membuat komik ‘the indomitables’, tiruan Fantastic Four yang populer di kalangan anak Nigeria.
Perjudian Dufil akhirnya terbayar ketika Junta Militer Nigeria tumbang pada 1999. Pasar Nigeria menjadi semakin terliberalisasi, membuat Indomie semakin leluasa melebarkan sayap di toko-toko dan supermarket negara tersebut. Perekonomian Nigeria pun membaik sejak 1999, dengan Produk Domestik Bruto melonjak hingga US$431 miliar pada 2014. Artinya, semakin banyak orang mampu menyisihkan uang untuk membeli bahan makanan pokok selain beras. Indomie pun jadi pilihan.
Kesamaan status Nigeria dan Indonesia—sebagai negara mayoritas muslim—turut memudahkan masuknya merek Indomie yang sejak awal memasang label halal. Kini ada sekitar 15-17 produk mi instan serupa di Nigeria. Namun, Indomie masih menjadi primadona
Berkat tak adanya pesaing berarti, Indomie bahkan sukses bertahan dari krisis ekonomi yang melanda Nigeria tiga tahun lalu. Nino Setiawan, warga negara Indonesia adalah saksi matanya. Sejak 2014 dia menetap di Ibu Kota Lagos sebagai utusan pemerintah Indonesia untuk urusan ekspor-impor. “Dari pihak Indomie pas krisis saya tanya mereka malah surplus,” kata Nino. Indomie tidak mudah ditiru, sehingga aman dari penyelundupan yang sempat marak ketika krisis ekonomi melanda Nigeria. “Padahal (usaha lain) collapsed, banyak yang di-black market dan mereka enggak bisa tahan.”
Faktor lain adalah harga jual Indomie yang tetap murah ketika Nigeria mengalami krisis ekonomi. Daniel ingat, sebungkus Indomie lebih mudah dibeli rata-rata rumah tangga dibanding beras satu kilogram. “Nasi kan makanan pokok kami di nigeria. Jadi (selama krisis) nasi memang jadi mahal, harga makanan lain juga jadi mahal. Tentunya, kami butuh opsi yang lebih murah,” ujarnya.
Keterangan senada disampaikan Nino. “Dengan krisis yang sangat berat di Nigeria 2015-2016, mereka itu bingung beli makanan. Makanan khas Nigeria ketika itu cukup mahal, daripada begitu, mendingan beli Indomie,” katanya.
Alasan lain Indomie berjaya di Afrika adalah keberuntungan masuk di pasar Nigeria. Negara ini, walaupun mengalami beberapa masalah keamanan dan ekonomi, punya tingkat pertumbuhan penduduk relatif lebih tinggi dibanding negara Afrika lainnya. Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan Nigeria akan menjadi negara berpenduduk terbanyak ketiga pada 2050, melewati Indonesia. Diperkirakan satu keluarga memiliki rata-rata lima anak. Indomie menjadi alternatif murah dibanding memaksakan diri membeli beras atau roti dalam jumlah besar setiap hari.
Yuswo Hady, yang telah menulis lebih dari 40 buku terkait pemasaran, mendokumentasikan uniknya kesuksesan Indomie di pasar Afrika. Dia menuliskannya khusus di buku Global Chaser, tentang merek Indonesia yang perkasa di pentas dunia. Dia menyebut Indofood lewat Indomie merupakan jenis pemasaran paling sukses yang pernah dia saksikan.
“Saya tulis di buku saya bahwa Indofood itu puncak kalau untuk produk Indonesia, dalam matriks saya. Artinya, pabriknya ada di Nigeria, marketingnya ada di sana, produknya sudah disesuaikan dengan pasar lokal,” kata Yuswo Hady kepada VICE Indonesia.
Iklan-iklan Indomie di Nigeria juga sangat agresif. Banyak pariwara televisi menyasar ibu-ibu, mengingatkan mereka bahwa Indomie merupakan pilihan termudah untuk mencukupi kebutuhan pangan satu keluarga.
Iklan televisi Indomie sangat populer di Nigeria. Sampai-sampai orang Nigeria tidak sadar jika produk ini sebenarnya dari Indonesia. Film dokumenter yang menyoroti kesuksesan Indomie di negara itu, dan beberapa negara Afrika lainnya, sama sekali tidak menyinggung Indonesia atau PT Indofood Sukses Makmur.
Hal ini sempat disinggung Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Dia mengakui banyak orang Nigeria merasa Indomie adalah produk asli negara mereka. “Di Nigeria ada 10 pabrik Indomie. Makanya mereka klaim Indomie itu dari Afrika.”
Adeyemi merasa Dufil pada awal memasarkan Indomie sengaja tak menyinggung status mi instan ini sebagai barang impor. Dia menduga perusahaan khawatir akan ada kesan merek asing menguasai pangsa pasar bahan makanan pokok Nigeria. Tapi kini, seandainya Indonesia ingin mempertegas status sebagai perusahaan asli yang menciptakan Indomie, dia yakin tak akan ada gejolak.
Pasalnya, Indomie sudah kadung dicintai. “Orang Nigeria tidak akan peduli jika akhirnya tahu ini mereka asing. Mereka hanya suka mi instan yang enak. Soal lain-lain itu urusan kesekian,” kata Adeyemi. “Toh, kami terlanjur menyebut mi instan sebagai Indomie.”