Seharusnya, Minggu (18/10) malam adalah hari yang sempurna bagi semua orang ber-KTP Indonesia. Tim beregu putra bulu tangkis Indonesia berhasil mengakhiri dominasi Tiongkok 19 tahun terakhir di kompetisi Piala Thomas terkini. Tim Indonesia menang secara meyakinkan setelah menyapu bersih tiga game awal dari Tiongkok, menandakan regenerasi bulu tangkis dalam negeri berada di jalur yang tepat.
Sayang, kekecewaan muncul pada sesi seremoni. Indonesia tidak boleh mengibarkan bendera merah putih, sebagai dampak sanksi Badan Anti-Doping Dunia (World Anti-Doping Agency, atau WADA). Untuk pertama kalinya dalam sejarah, bendera Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) yang berkibar menggantikan Merah Putih akibat negara gagal memenuhi syarat administrasi.
Videos by VICE
Pengguna medsos geram bukan kepalang. Coba tengok saja komentar-komentar di twit Presiden Joko Widodo di tautan ini. Tapi bisa dibilang, salah satu yang kelihatan paling geram adalah legenda hidup bulu tangkis Indonesia Taufik Hidayat yang pernah ikut memenangkan Piala Thomas pada 2000 dan 2002.
Ketua Umum PBSI Agung Firman Sampurna merespons sanksi dengan berlaku diplomatis tapi tetap sedikit menyindir. “Kami tidak ingin menyalahkan siapa pun dalam hal ini. Saya pikir kita semua sudah tahu apa yang menjadi penyebab hal ini,” kata Agung kepada Tempo.
Nah, sebelum lanjut marah-marah, sebaiknya kita pahami dulu alasan mengapa kita wajib marah sama insiden bendera Merah Putih enggak bisa berkibar di Denmark semalam. Spoiler: penjelasan ini akan bikin kamu tambah marah.
Awalnya pada 15 September 2021, WADA mengirimkan surat ke delapan organisasi—enam negara dan dua federasi—bahwa mereka belum memenuhi syarat uji doping para atlet di institusi masing-masing sesuai dengan The World Anti-Doping Code 2021 yang dideklarasikan dan diperbaharui WADA tiap tahun. Negara dan organisasi tersebut adalah Indonesia, Thailand, Korea Utara, Rumania, German Community of Belgium (GCoB), Montenegro, Federasi Bola Basket Tuli Internasional, dan Federasi Olahraga Gira Internasional. Untuk Indonesia, surat itu dikirimkan ke Lembaga Anti-Doping Indonesia (LADI) karena Indonesia dinilai tak menerapkan program pengujian doping para atlet yang efektif.
Dalam surat putusan itu, WADA memberi tenggat 21 hari kepada kedelapan organisasi tersebut untuk membantah. Lewat batas waktu 7 Oktober, hanya tiga dari delapan organisasi yang bisa menunjukkan klarifikasi valid tentang mengapa program uji doping miliknya belum sesuai aturan. Mereka adalah GCoB, Montenegro, dan Rumania. Sisanya gagal dan divonis sanksi berat, salah satunya dialami Indonesia yang dilarang mengibarkan bendera di Piala Thomas kayak semalam.
Selain tak boleh ngibarin bendera negara di ajang internasional, sikap abai pada teguran WADA juga membuat beberapa hak Indonesia dicabut karena statusnya sebagai non-compliance (anggota tak patuh). Beberapa di antaranya, enggak boleh mengajukan diri jadi tuan rumah turnamen olahraga regional dan internasional, terus WNI juga dilarang jadi pengurus organisasi atau komite olahraga tingkat regional dan internasional.
Untuk menyelesaikan masalah ini, Indonesia akan didampingi Lembaga Anti-Doping milik Jepang sebagai pihak ketiga yang diutus WADA sebagai supervisor, dengan seluruh biaya monitoring harus dibayarkan oleh Indonesia sebagai tervonis.
Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia sesaat setelah mengetahui negaranya kena vonis? Tentu saja berdalih layaknya kayak calon peserta ujian masuk universitas.
“Memang WADA mengirimkan surat dan disampaikan kita tidak patuh. Begini, saat pandemi Covid-19, semua kegiatan olahraga kita berhenti. Tidak ada kompetisi, kejuaraan, bahkan car free day dilarang saat itu,” ujar Menpora Zainudin Amali saat diwawancara Radio Sonora, Rabu (13/10) lalu.
“Sampel [tes doping] itu diambil kalau ada kejuaraan atau kompetisi maupun turnamen. Kalau tidak ada, bagaimana mau ambil sampel begitu ya? Sehingga Indonesia tidak bisa memenuhi sampel itu. Itu yang dianggap tidak patuh. Kemudian, kita berkirim surat menjelaskan situasi yang kita hadapi ini dan akhirnya mereka memahami,” kata Amali, mengindikasikan bila semua ini hanya problem komunikasi semata.
Akan tetapi, berbagai klaim Menpora itu terbukti rontok dengan sendirinya. Pertama, dari pengumuman resmi Kemenpora, pemerintah baru bertindak merespons surat dari WADA pada 8 Oktober. Pada penjelasan resminya, Kemenpora bilang sedang “bertindak cepat” dan mengaku “tidak khawatir” karena Indonesia akan memenuhi syarat dari WADA secepatnya. Padahal, surat sudah dikirimkan sejak 15 September dan vonis sudah dijatuhkan pada 7 Oktober atau 21 hari setelahnya. Ngapain aja selama itu?
Kedua, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap dampak pandemi di dunia: emangnya cuma Indonesia yang kena pandemi? Kenapa negara lain yang juga kena dampak pandemi bisa tetap memenuhi syarat tanpa masalah?
Begitu banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan, namun melihat Menpora sendiri terlihat enggak paham sanksi dan aturan WADA dengan membuat pernyataan keras kepala seperti “BWF mengambil keputusan sendiri padahal Indonesia masih dalam masa klarifikasi” atau “bendera tak diperkenankan tapi lagu kebangsaan boleh karena Indonesia masih masa klarifikasi”, rakyat Indonesia kayak kita ya cuma bisa menyesali nasib terlahir WNI dan berdoa semangat para atlet enggak terganggu karena insiden ini.
“Kapan hukuman ini selesai? Ya terserah Indonesia. Kalau bisa tiga bulan selesai, empat bulan selesai. Kalau sampai satu tahun kita enggak melakukan reformasi terhadap apa yang dilakukan LADI, hukuman dari WADA bisa diperpanjang,” kata jurnalis olahraga senior Jawa Pos Ainur Rohman saat dihubungi VICE.
“LADI sudah klarifikasi di Instagram, tapi yang jadi pertanyaan, dalam fase 21 hari dari 15 September-7 Oktober itu, mereka [pemerintah Indonesia] melakukan melakukan apa? Apa upaya mereka untuk dilakukan agar menghindari sanksi? Ini tidak ada penjelasan.”